Bab 12 Peluang Kerjasama
Bab 12 Peluang Kerjasama
Eva melirik jam tangannya. Masih ada tiga puluh menit lagi sebelum pertemuan selanjutnya. Ia masih belum beranjak dari kursi sofa panjang sejak berbincang dengan klien sebelumnya yang bernama Ibu Kelly yang sangat putus asa karena terjebak dalam pernikahan dengan suami yang sering sekali melakukan kekerasan pada saat hubungan suami istri berlangsung.
Bagi Eva, ini merupakan salah satu kasus tersulit yang ia tangani. Ia sudah mencoba untuk merujuk kliennya pada rekan konselor yang lain tetapi Ibu Kelly tetap tidak mau.
Ia memang tidak punya masalah ekonomi dan terkadang ia datang hanya untuk menangis bahkan bukan untuk bercerita, setelah itu ia pergi lagi.
Beberapa sesi pembicaraan mereka bahkan tidak ada kemajuan tetapi ia tetap memilih untuk menjadikan Eva sebagai tempat untuk menumpahkan rasa frustasinya. Ia bilang kalau Eva adalah temannya untuk berbagi rahasia karena ia tidak mungkin meninggalkan suaminya.
Setelah lima kali pertemuan, mereka belum mendapatkan solusi sekecil apa pun untuk permasalahan Ibu Kelly dan wanita itu juga tidak mau berpikir dan bertekad untuk melakukan perubahan atas situasi yang ia hadapi. Ibu Kelly masih bingung karena saat bersama suaminya, ia juga menikmati perlakuan kasar bahkan terkadang sadis yang ia terima. Setelah mereka tidak bersama baru ia sadari akibatnya pada sekujur tubuhnya yang sakit, lebam, dan bahkan terluka.
Akibat energinya terkuras mendengar penuturan Ibu Kelly, lelah menyerangnya seketika membuatnya ingin menutup matanya beberapa jenak.
Seperti biasa, klien yang datang akan langsung diarahkan oleh resepsionis ke ruang konselor dan suara ketukan pintu terdengar dari dalam ruangan Eva.
Sayangnya, pemilik ruangan terlanjur tertidur.
Ya, awalnya Eva hanya ingin mengistirahatkan tubuhnya sebentar saja namun yang terjadi ia malah ketiduran.
Klien yang sudah mengetuk beberapa kali berakhir membuka pintu sendiri dan mendapati Eva sedang tertidur, sambil duduk menyandar di kursi sofa panjang.
Tamu tersebut melayani diri sendiri dengan duduk pada kursi kosong di depan meja biro.
Ia tak lain adalah Ricky yang sudah membuat janji untuk bertemu Eva beberapa hari yang lalu.
Pria itu sekarang bingung. Ia butuh berdiskusi dengan Eva namun ia juga tak tega membangunkan gadis manis di hadapannya ini.
Untungnya Ricky baru punya janji lain saat makan malam nanti. Masih banyak waktu untuk menunggui Eva bangun.
Tetapi, Ricky tidak tahu agenda Eva seperti apa. Bisa jadi ada klien berikutnya setelah bertemu Ricky.
Sepuluh menit berlalu dalam hening dan Eva tidak juga terjaga membuat Ricky harus melakukan sesuatu.
Pria itu meraih gawainya dan melakukan panggilan pada ponsel Eva.
Parahnya, ponsel Eva dalam mode getar sehingga tidak begitu membantu niat Ricky untuk membuat bising.
Dengan sedikit rasa bersalah karena harus mengusik kenyamanan temannya, Ricky menghampiri kursi sofa.
Ia menatap lekat wajah gadis yang masih membuatnya tak berdaya, sampai sekarang.
Ia mengabaikan perasaannya dan fokus pada tujuan kedatangannya.
Ricky menyentuh perlahan punggung tangan Eva.
“Ibu konselor! Ibu konselor!” ujar Ricky sambil sedikit menggoyang tangan Eva.
Beberapa kali panggilan barulah ada gerakan kelopak mata yang terbuka.
“Heh, kamu sudah datang. Ya, ampun! Apa aku ketiduran?” ucap Eva memperbaiki posisi tubuhnya, mengusap wajahnya dan merapikan rambutnya.
“Syukurlah cuma aku yang menangkap basah kamu tertidur di saat jam kerja,” balas Ricky melangkah kembali ke posisi duduknya semula.
“Maaf, Pak pengacara. Ini pertama kalinya aku ketiduran di ruanganku di saat jam kerja. Apa mungkin karena mau bertemu kamu, jadinya aku lebih santai,” sahut Eva bangun dan menuju meja kerjanya.
“Malah buat alasan. Untung aku bangunkan karena aku sudah menanti hampir tiga puluh menit.”
“Iya, aku kan sudah minta maaf tadi. Sebentar, mau minum air dulu. Kamu mau minum apa?”
“Apa saja yang penting dingin.”
Eva mengambil beberapa minuman dingin untuk ditunjukkan pada Ricky dan dipilih, barulah ia kembali duduk untuk menghadapi tamunya dengan lebih sungguh.
“Terima kasih sudah memilih jasa kami. Ada yang bisa saya bantu Pak Ricky,” ujar Eva melakukan prosedur baku bagi setiap klien yang baru pertama kali datang sambil tersenyum.
Melihat senyum profesional dari Eva membuat hati Ricky berdesir hangat, tapi lagi-lagi ia mengabaikan apa yang ia rasakan.
“Baiklah kita serius. Aku ingin konsultasi tentang peluang kerja sama untuk merujuk klien yang mengalami masalah dalam pernikahan.”
“Aku butuh penjelasan tambahan.”
Ricky merubah cara duduknya untuk lebih tegak sebelum mengeluarkan suaranya.
“Ini juga pertama kali aku berpikir untuk menjalin kerja sama dengan tenaga profesional lainnya dalam menyelesaikan kasus yang aku tangani. Aku berpikir kalau tidak semua masalah rumah tangga harus berakhir di pengadilan dan bercerai. Untuk itulah aku ingin tahu sejauh mana aku bisa mengajakmu kerja sama dalam proses konsultasi yang mungkin bisa berakhir rujuk kembali.”
“Aku sangat senang jika bisa bekerja sama. Aku hanya butuh apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, selain kode etik profesi yang aku sendiri juga sudah punya. Bukankah selalu ada staf khusus yang akan ditunjuk sebagai pendamping untuk setiap kasus?” Eva merubah posisi duduknya untuk lebih santai.
“Iya, tapi dengan mulai meningkatnya jumlah kasus, aku berharap bisa punya jaringan sendiri, yang bisa kujadikan bahan pembicaraan dan negosiasi dengan klienku. Terus terang aku tidak punya keahlian untuk memperbaiki hubungan yang sempat renggang.”
“Jadi, apa yang ingin Pak Ricky ketahui?”
Percakapan mereka berlangsung cukup alot. Ricky menyampaikan kebutuhannya untuk tahu program, administrasi dan biaya yang harus dianggarkan.
Selain itu juga Ricky menekankan tentang tingkat kerahasiaan yang harus diperhatikan dan kerapihan pencatatan apabila semua pernyataan yang ada dari calon klien akan dijadikan bukti di pengadilan.
Eva sendiri mempertanyakan sejauh mana perannya di pengadilan jika ada kasus rujukan seperti itu, khusus untuk dirinya sebagai konselor yang ditunjuk untuk membantu klien dari Ricky.
Akhir dari percakapan mereka belum ada kesimpulan karena Ricky perlu mempercakapkan dengan atasannya. Paling tidak sudah ada informasi dasar yang bisa pengacara muda itu pakai untuk memujudkan idenya.
Ricky sebenarnya tidak begitu suka menangani kasus perceraian karena ia sendiri percaya kalau semua masalah pasti ada solusinya, dan keretakan perkawinan kebanyakan karena salah komunikasi saja sehingga bisa dihindari dan diperbaiki. Juga dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya yang pahit, sebagai anak yang orangtuanya bercerai, sehingga ia tidak begitu suka membantu kasus yang menceraikan pasangan suami dan isteri.
Hanya saja semakin banyak klien yang mendatangi kantor K&Z dengan perkara gugat cerai. Selama ini ada satu orang temannya yang lihai untuk jenis kasus keretakan rumah tangga, namun ia juga kewalahan dan untuk beberapa kasus memang harus dilimpahkan pada rekan pengacara lainnya.
Maka dari itu Ricky berpikir untuk melakukan proses penanganan awal untuk setiap klien yang akan ia tangani, karena bisa jadi apa yang menjadi pemicu masalah gugatan cerai belum selesai dikomunikasikan antar pasangan. Langkah ini belum disetujui oleh atasannya tapi Ricky menyiapkan informasi yang akurat untuk bisa memperjuangkan dan mempertahankan gagasannya.
Sama seperti Ricky yang punya cukup waktu luang, hari itu Eva juga tidak punya klien lainnya di sore hari.
Dugaan awal Eva kalau Ricky menemuinya untuk konsultasi masalah pribadi ternyata keliru. Mereka bersama-sama meninggalkan ruangan Eva pukul lima sore dan berpisah di parkiran mobil.
Saat Eva bertanya tentang pernikahannya, Ricky hanya berkata kalau ia akan segera mengirimkan undangan jika semua persiapan sudah mantap.
Dalam perjalanan pulang, Eva sudah tahu jawaban yang akan ia berikan pada mamanya jika ia bertanya tentang pekerjaan rumah yang harus Eva selesaikan.
… Bersambung