Bab 16 Dugaan Eva
Bab 16 Dugaan Eva
Waktu terus bergulir. Seminggu setelah perjumpaan Eva dan Rara, kejutan baru menanti Eva di kantor.
Pukul delapan pagi seperti biasa, Eva sudah berada di dalam ruang kerjanya.
Ia membuka desktopnya untuk melihat jadwalnya hari ini. Di mengerutkan dahinya lalu menaikkan kedua alisnya hingga bertemu.
Ia mengutak atik layar di hadapannya beberapa saat. Namun tetap tidak ada perubahan.
Tidak ada satu pun klien baru yang dijadwalkan untuk berjumpa dengannya hari ini. Sementara saat ia melihat nama Tommy, hampir tidak ada jeda antara satu jam ke jam lainnya.
Eva menarik nafasnya dalam-dalam dan dihempaskannya. Lalu ia keluar dari ruang kerjanya menuju meja resepsionis.
Bukan Desi yang bertugas tapi temannya. Ada tiga resepsionis yang bertugas dan Eva memang lebih nyaman berinteraksi dengan Desi karena lebih ramah.
Eva menanyakan apakah jadwal yang dikirimkan pagi ini tidak salah. Si resepsionis menjawab kalau tidak ada kesalahan. Setiap klien yang datang memang langsung menyebut nama, ingin berjumpa langsung dengan konselor yang diinginkan.
Tidak jauh dari posisi Ava berada, tepatnya di ruangan kerja Tommy, pria itu sedang berdiri menatap ke luar dan menikmati kemenangannya. Ia senang melihat tampang tidak bersahabat dari Eva ketika berbicara dengan resepsionis yang bertugas. Rencananya ia mulai gulirkan satu per satu. Ia ingin melihat Eva hancur. Dalam benaknya ia memuji diri sendiri.
Rupanya Tommy tidak tinggal diam setelah ditolak oleh Eva. Persis seperti dugaan Eva bahwa, tidak ada seorang pun yang suka ditolak. Dampak untuk setiap orang berbeda-beda. Bagi Tommy, siapa pun yang menolaknya akan menghadapi petakanya sendiri.
Tommy kembali ke kursi kerjanya setelah melihat Eva meninggalkan meja resepsionis.
Sementara Eva mengunci diri di dalam ruang kerjanya. Tidak ada gunanya juga ia menanti klien yang memang tidak akan menemuinya hari itu.
Ia merebahkan tubuhnya di atas sofa di ruangannya, menjauh dari meja kerjanya.
Dadanya sesak karena muak dan kesal tapi ia berusaha mengambil sisi positif dari peristiwa hari ini. Dia sudah menduga siapa dalang di balik semua ini. Bulan yang lalu hanya mengambil satu klien yang jelas-jelas sudah ada dalam daftar roster. Sekarang bahkan tidak ada klien baru sama sekali yang melirik namanya.
Eva mulai menerawang dan memikirkan langkah selanjutnya.
Ia hanya memiliki tujuh klien aktif yang tersisa, jika kejadian seperti hari ini terulang lagi.
Eva tidak tahu dan belum bisa memprediksi apa yang akan terjadi nanti.
Ia meraih ponselnya yang ada di atas meja mencoba menelusuri media sosialnya.
Sepertinya ia memang perlu mengembangkan promo untuk dirinya sendiri.
Ia tidak ingin berharap lagi sepenuhnya pada lembaga di mana ia bernaung sekarang. Masalahnya, ia sudah menyukai lokasi kerjanya itu dan ruang yang ia tempati sekarang akan menjadi hak miliknya. Sayang, kalau ia pindah. Tetapi kalau terpaksa harus dijual lagi karena lingkungan kerja yang tidak begitu kondusif, maka akan ia lakukan.
Eva bangkit dari rebahannya dan mengecek agendanya. Klien langganannya baru ada besok hari. Artinya percuma ia menanti seharian di kantor jika ia sebenarnya bisa beristirahat di rumah.
Memang adakalanya, muncul klien yang langsung mampir di gedung mereka tanpa harus membuat janji. Namun itu jarang sekali terjadi.
Eva menanti enam puluh menit lagi di dalam ruang kerjanya. Ia hanya mencoba peruntungannya dengan terus membuat konten promosi dari biro jasa konselingnya.
Kalau sampai ia punya setidaknya sepuluh orang klien tetap saja, maka ia tidak akan memperpanjang lagi kontrak dengan agennya yang sekarang. Ia ingin berdikari.
Ia akan meminta pendapat dari Leo untuk mencarikan tempat yang baru kalau ia sudah mantap dengan keputusannya.
Kontraknya bersama agen yang sekarang masih tersisa delapan bulan lagi. Masa yang tidak terlalu lama. Tetapi dalam keadaan yang semakin tidak membuat nyaman seperti sekarang ini, waktu yang ada rasanya seperti bertahun-tahun.
Eva selesai dengan satu materi promosi di salah satu akun media sosialnya. Sebelumnya, ia menghapus semua tautan yang berkaitan dengan agen tempat bekerjanya sekarang.
Ia tidak ingin berurusan lagi dengan orang-orang yang picik.
Baginya sangat tidak beretika mencampuradukkan antara pekerjaan dan kepentingan atau dendam pribadi.
Setiap orang punya harapan dan kekhawatiran. Bukan mustahil untuk mencoba saling memahami. Tapi yang ia hadapi sekarang, tempatnya bekerja sudah memojokkannya, karena hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan kinerjanya.
Satu jam telah berlalu dan Eva akhirnya meninggalkan gedung berlantai dua puluh tujuh itu, untuk kembali ke rumahnya.
Tetiba ia rindu dengan masakan mamanya.
Karena jalanan lengang maka Eva tiba dalam tiga puluh menit.
Mamanya sempat kaget mendapati putri sulungnya sudah ada di rumah. Zaini sendiri mengelola Yayasan dari keluarga Morgan tetapi ia bisa mengatur waktunya sendiri selama pekerjaan di Yayasan bisa ia tangani dengan baik.
“Kakak sakit? Jam sepagi ini sudah di rumah?” tanya Zaini saat putrinya mengecup keningnya.
“Mama juga kenapa nggak ke kantor?”
“Besok saja baru sekalian. Mama lagi menanti tante Voni. Dia dalam perjalanan ke sini.”
“Hari ini Eva nggak punya klien. Tidak ada yang mau berkonsultasi dengan Eva,” balas putri Mars sambil mengunyah apel merah yang baru saja ia ambil dari kulkas.
“Ya, sudah. Pakai saja waktunya untuk istirahat. Masih belum rejeki buat kamu.”
“Iya, Ma. Tante Voni ada perlu apa ke sini pagi-pagi?”
“Dia kesepian di apartemen sendirian. Katanya mau nginap di sini. Kebetulan, kamu juga ada, kita ngobrol sama tante Voni.”
“Tapi, Eva nggak bisa lama-lama. Eva mau kerjakan sesuatu di kamar.”
Rasanya perut Eva melilit, mengingat pertemuan tanpa sengaja dengan Om Dean di restoran minggu yang lalu. Tetapi ia juga penasaran, untuk mendengarkan cerita dari tantenya. Ia nanti akan membaca situasi. Intinya, ia tidak ingin memberikan pendapat. Ia hanya ingin menjadi pendengar percakapan antara tante Voni dan mama Zaini.
Tak lama kemudian bunyi bel pintu depan berbunyi. Eva langsung membuka pintu dan berpelukan dengan tantenya.
“Biar Eva langsung bawa ke kamar saja. Mama ada di dapur menanti Tante.”
Dengan sigap Eva menarik koper berukuran sedang yang dibawa tantenya menuju kamar tamu yang biasa mereka tempati.
Setelah itu Eva langsung kembali ke dapur untuk menjadi pendengar yang baik.
“Berapa lama Dean akan ada di kota Tenggara?” tanya Zaini.
“Katanya seminggu. Tetapi ia masih belum yakin karena tergantung atasannya.”
“Mengapa kamu tidak minta ikut?”
“Awalnya Dean juga minta aku ikut. Tetapi, aku tidak ingin membuat pikirannya terganggu karena kehadiranku. Namun, sekarang aku menyesal. Ternyata tanpa Dean, apartemen kami sangat sepi. Seperti kehilangan udara karena tidak ada orang yang bisa diajak bicara.”
“Nanti dia menelepon kamu bisa sampaikan perasaan kamu.”
“Semalam aku sampaikan maka ia minta aku untuk menginap sementara di sini biar tidak kesepian.”
“Dengan siapa Dean ke sana? Tim kecil atau berdua saja dengan bosnya? Laki apa perempuan?”
Eva tersenyum dalam diam mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari mamanya. Semua pertanyaan yang sudah ada dalam benaknya selama ini tapi belum tersalurkan.
‘Berjuta terima kasih, Mamaku yang cantik,’ batin Eva.
“Aku tidak tahu rinci sih. Biasanya, setiap tugas kantor aku tidak pernah bertanya sedalam itu karena aku percaya pada Dean.”
“Kamu boleh percaya pada suamimu, Voni Sayang. Tetapi, pria tetaplah seseorang yang mudah tergoda. Apalagi kalau benar yang ada bersamanya cukup lincah. Tunjukkan kalau itu bentuk dari rasa cemburumu bukan karena kamu ingin menghakiminya.”
Mendengar jawaban Voni atas perkataan Zaini, dengan segera Eva pamit untuk bekerja di kamarnya.
Ia akan berbicara dengan Mamanya nanti. Ia berharap apa yang ia duga salah besar.
Bersambung