Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8

Ada yang berbeda dari Renaldo Adijaya pagi ini. Lelaki itu bangun sangat pagi, dan bahkan sekarang sudah memakai seragam untuk bersiap berangkat sekolah.

Renaldo mengatur rambutnya agar tidak terlalu berantakkan. Penampilan lelaki itu sudah cocok menyandang predikat badboy, dengan seragam dikeluarkan dan kancing dua atas terbuka, ia melangkahkan kaki keluar kamar seraya menyampirkan ransel di bahu kiri.

Tinggal satu buah anak tangga lagi hingga Renaldo bisa berjalan mulus untuk sampai di meja makan, namun tabrakan keras dari belakang membuatnya terdorong dan jatuh ke lantai dengan tubuh seseorang berada di atasnya.

"Aduh, Abang!" Omel seorang gadis berseragam SMP yang terjatuh tepat di atas tubuh Renaldo, "kalau jalan jangan ngerem mendadak, dong!"

"Tere! Kamu yang nabrak abang dari belakang!" Balas Renaldo seraya menyingkirkan tubuh adiknya.

Tere bangkit seraya meraih novelnya yang terjatuh. Gadis itu menepuk-nepuk seragamnya seakan ada kotoran menempel di sana.

"Lo kira abis jatoh di pasir?" cibir Renaldo, "makanya kalau jalan jangan sambil baca novel!"

"Dih, novel aku yang disalahin." Tere memutar kedua bola matanya malas, "aneh, deh. Di novel-novel punya abang itu asik, kenapa di dunia nyata rasanya nyebelin."

"Heh, ngomong apa tadi!" teriak Renaldo saat adiknya tengah melenggang menuju meja makan.

"Abang, Adek, pagi-pagi masa udah berantem?" tegur seorang wanita yang baru saja tiba dari dapur dengan sewadah penuh nasi goreng.

"Abang tuh, Mah. Tiba-tiba berhenti jalan, kan nggak sengaja aku tabrak. Jadi jatuh," keluh Tere pada sang Mama.

"Enak aja," sewot Renaldo yang baru tiba di meja makan. "Tere tuh, Mah. Kebiasaan, baca novel sambil turun tangga. Untung tadi jatohnya di atas Aku, kalo engga? Udah amnesia, kali."

"Hush! Abang," Marina-Mama Renaldo melotot, "omongan adalah doa loh, Bang."

"Tau, nih. Dasar, Abang durhaka!" Tere menjulurkan lidahnya ke arah Renaldo yang dibalas demikian oleh lelaki itu.

"Tere," panggil Marina dengan nada memperingati.

Itu membuat gadis berumur lima belas tahun itu meninggikan novel yang ia baca untuk menutupi keseluruhan wajahnya.

"Mampus," gumam Renaldo seraya terkekeh pelan.

**

Siapa sangka siulan bahagia yang tengah dilakukan oleh Renaldo penyebabnya hanya sebuah kalimat yang dikeluarkan Bella kemarin saat di cafe.

Besok, di cafe ini jam 4 sore.

Itu sudah cukup untuk menjadi alasan Renaldo bangun pagi dan bahagia hari ini. Itu berarti, ia memiliki peluang untuk mendekati Bella.

Walaupun sifat gadis itu seperti batu yang sangat sulit untuk melunakkannya, tetap saja tidak ada yang sulit bagi seorang Renaldo Adijaya.

Renaldo mengibaratkan dirinya seperti air. Sebuah batu apabila ia terus-terusan diserang oleh air, maka batu itu akan hancur. Begitu juga dengan sifat cuek Bella, Renaldo akan menggancurkan itu semua.

"Buset, pantesan tadi pagi gue denger kucing berkokok. Ternyata hari ini Renaldo masuk pagi!" celetuk Bima.

"Lu kira mau kiamat?" Renaldo menoyor kepala Bima.

"Sumpah dah, Nal. Seumur hidup, lo masuk pagi itu jaman kita kelas 10 doang."

"Lebay lu." Renaldo menaruh tasnya di atas meja.

"Elah," Bima turut duduk di samping Renaldo. "Eh, eh, gimana kemaren? Berhasil, nggak?"

Renaldo menampilkan senyumnya. "Udah gue bilang, gue nggak pernah gagal."

"Kok gue nggak yakin, ya?" Bima menatap Renaldo seraya menggelengkan kepala. Lelaki itu kemudian menyikut perut Renaldo, "Nal, Nal. Doi dateng, tuh!"

Mata Renaldo mengarah pada apa yang ditunjuk oleh Bima. Senyumnya makin mengembang ketika melihat Bella datang. Meski gadis itu tidak melirik ke arahnya, namun itu sudah cukup bagi Renaldo.

"Nggak mau lo modusin, tuh?" celetuk Bima yang ikut memperhatikan Bella.

"Belum waktunya," ujar Renaldo.

Bel tanda pelajaran akan segera dimulai berbunyi. Para murid mulai berlarian masuk ke dalam kelas dan duduk di bangku masing-masing ketika Ibu Fatmawati, guru yang mengajar pelajaran Bahasa Indonesia memasuki kelas.

Wanita bertubuh gempal itu menatap seluruh murid dengan teliti, mencari apakah ada bangku yang kosong pertanda tidak mengikuti pelajarannya kali ini.

Melihat seluruh bangku terisi penuh, dahi Ibu Fatmawati mengerut heran. Biasanya, selalu ada satu kursi kosong yang tersisa karena si pemilik tidak pernah hadir saat pelajarannya.

"Hadir semua?" tanya wanita itu.

"Hadir semua, Bu." Sahut Alvaro, Ketua Kelas.

"Tumben," gumam Ibu Fatmawati seraya membuka daftar hadir kelas sosial 1.

Setelah beberapa menit hening karena Ibu Fatmawati mengisi absensi, wanita itu beranjak dari tempat duduknya seraya menimang buku cetak bertuliskan Bahasa Indonesia.

"Melanjutkan tugas kita minggu kemarin, hari ini Ibu akan membagi kalian ke dalam beberapa kelompok untuk melakukan pentas drama modern," ujar Ibu Fatmawati yang membuat murid perempuan bertepuk tangan gembira.

"Yey, gue paling suka kalau tugas praktek gini!" seru Deva seraya menoleh pada Bella, "lo suka teather juga nggak, Bel?"

Bella menoleh seraya menggelengkan kepalanya. Gadis itu hampir tidak memiliki apapun untuk disukai di dunia ini, hampir.

"Naskah harus kalian buat sendiri, boleh mencari inspirasi dari film atau novel. Tapi tidak boleh sama secara keseluruhan, itu plagiat namanya," ujar Ibu Fatmawati.

"Siap, Bu!" celetuk beberapa murid bersamaan.

"Ada yang ingin ditanyakan sebelum Ibu mulai membagi kelompok?"

"Nggak ada, Bu!"

"Kalau begitu, ibu akan membagi kalian ke dalam 5 kelompok. Perhatikan." Ibu Fatmawati mengambil secarik kertas yang berisi nama-nama kelompok yang telah ia bagi.

"Kelompok 1, ketua Alvaro, anggota Indah, Fera, Nadia, Jonathan, Roland, Meisya dan Morgan."

"Kelompok 2, ketua Adrian, anggota Marisa, Shinta, Chintya, Resma, Reza, Dhani ..."

"... Kelompok 5, kelompok terakhir. Ketua Renaldo, Anggota Sarah, Deva, Bima, Aiden, Alana, Damian dan Derano."

"Ada nama yang belum disebutkan?" tanya Ibu Fatmawati.

"Ada, Bu. Murid baru, Rabella Tazqia," celetuk Renaldo.

"Eh? Ibu lupa ada murid baru." wanita itu menaikkan kacamatanya yang merosot kemudian menatap lagi lembaran absensi. "Kalau begitu, Rabella masuk ke kelompok kamu ya, Renaldo. Kelompok 5."

Senyum Renaldo melebar seketika. "Siap, Bu!"

"Sekarang, silakan berkumpul dengan kelompoknya masing-masing untuk membicarakan tentang naskah yang akan kalian buat. Waktu masih ada satu jam untuk kalian berdiskusi," Ibu Fatmawati beranjak dari tempatnya, "jangan ribut, ya. Ibu mau ke ruang guru dulu."

"Baik, Bu," sahut Alvaro.

**

"Jadi, kita mau bikin teather gimana?" tanya Aiden.

"Tanya ketua, noh," sahut Demian seraya menunjuk Renaldo dengan dagunya.

"Yah, gue sih maunya teather simple. Lo semua tau kisah Cinderella, kan?"

"Lo mau bikin naskah kayak gitu?" tanya Deva.

"Yah, ngambil sedikit inspirasi dari cerita itu, sih. Lagian banyak banget versinya, kita nggak tahu yang mana bener-bener asli," ujar Renaldo seraya menatap anggotanya bergantian.

"Boleh juga, sih. Lagian pasti semuanya udah tau gimana ceritanya, tinggal kita ubah jadi versi kita, iyakan?" sambung Sarah.

"Ya, gue sih terserah kalian. Asal dialog gue yang pendek-pendek aja," ujar Bima.

"Gue ada ide. Jadi, ada seorang cewek kaya yang nggak punya tujuan hidup. Ketemu seorang cowok, yang nantinya bakalan jadi pasangan cewek itu. Tapi ...," ucapan Deva menggantung, membuat raut wajah penasaran mereka menatapnya.

"Tapi apaan, Dev? Jangan bikin penasaran, atuh." Sarah menyikut Deva agar gadis itu melanjutkan ucapannya.

"Tapi, si cowok ternyata sakit dan hidupnya nggak lama. Kisahnya berakhir sad karena pada akhirnya cowok itu meninggal," lanjut Deva yang membuat temannya mendesah kecewa.

"Sarah nggak suka sad ending." Sarah mencebikkan bibirnya, "kemaren Sarah beli novel yang sad ending, novelnya Sarah buang. Siapa suruh bikin Sarah mewek seharian."

"Itu mah elo yang lebay, Sar." cibir Derano, "sad ending kan nggak selamanya buruk. Bikin aja si pemeran utama cewek jadi punya semangat hidup karena udah janji sama cowok itu, kan nggak sad, sad amat tuh."

"Gue setuju. Jadi, judulnya apa?" celetuk Alana.

"Gue udah punya judul yang pas," ucap Renaldo yang membuat perhatian tertuju padanya. Namun, mata lelaki itu hanya terfokus pada gadis yang sejak tadi tidak memperhatikannya.

"Cinderbella."

Ada yang berbeda dari Renaldo Adijaya pagi ini. Lelaki itu bangun sangat pagi, dan bahkan sekarang sudah memakai seragam untuk bersiap berangkat sekolah.

Renaldo mengatur rambutnya agar tidak terlalu berantakkan. Penampilan lelaki itu sudah cocok menyandang predikat badboy, dengan seragam dikeluarkan dan kancing dua atas terbuka, ia melangkahkan kaki keluar kamar seraya menyampirkan ransel di bahu kiri.

Tinggal satu buah anak tangga lagi hingga Renaldo bisa berjalan mulus untuk sampai di meja makan, namun tabrakan keras dari belakang membuatnya terdorong dan jatuh ke lantai dengan tubuh seseorang berada di atasnya.

"Aduh, Abang!" Omel seorang gadis berseragam SMP yang terjatuh tepat di atas tubuh Renaldo, "kalau jalan jangan ngerem mendadak, dong!"

"Tere! Kamu yang nabrak abang dari belakang!" Balas Renaldo seraya menyingkirkan tubuh adiknya.

Tere bangkit seraya meraih novelnya yang terjatuh. Gadis itu menepuk-nepuk seragamnya seakan ada kotoran menempel di sana.

"Lo kira abis jatoh di pasir?" cibir Renaldo, "makanya kalau jalan jangan sambil baca novel!"

"Dih, novel aku yang disalahin." Tere memutar kedua bola matanya malas, "aneh, deh. Di novel-novel punya abang itu asik, kenapa di dunia nyata rasanya nyebelin."

"Heh, ngomong apa tadi!" teriak Renaldo saat adiknya tengah melenggang menuju meja makan.

"Abang, Adek, pagi-pagi masa udah berantem?" tegur seorang wanita yang baru saja tiba dari dapur dengan sewadah penuh nasi goreng.

"Abang tuh, Mah. Tiba-tiba berhenti jalan, kan nggak sengaja aku tabrak. Jadi jatuh," keluh Tere pada sang Mama.

"Enak aja," sewot Renaldo yang baru tiba di meja makan. "Tere tuh, Mah. Kebiasaan, baca novel sambil turun tangga. Untung tadi jatohnya di atas Aku, kalo engga? Udah amnesia, kali."

"Hush! Abang," Marina-Mama Renaldo melotot, "omongan adalah doa loh, Bang."

"Tau, nih. Dasar, Abang durhaka!" Tere menjulurkan lidahnya ke arah Renaldo yang dibalas demikian oleh lelaki itu.

"Tere," panggil Marina dengan nada memperingati.

Itu membuat gadis berumur lima belas tahun itu meninggikan novel yang ia baca untuk menutupi keseluruhan wajahnya.

"Mampus," gumam Renaldo seraya terkekeh pelan.

**

Siapa sangka siulan bahagia yang tengah dilakukan oleh Renaldo penyebabnya hanya sebuah kalimat yang dikeluarkan Bella kemarin saat di cafe.

Besok, di cafe ini jam 4 sore.

Itu sudah cukup untuk menjadi alasan Renaldo bangun pagi dan bahagia hari ini. Itu berarti, ia memiliki peluang untuk mendekati Bella.

Walaupun sifat gadis itu seperti batu yang sangat sulit untuk melunakkannya, tetap saja tidak ada yang sulit bagi seorang Renaldo Adijaya.

Renaldo mengibaratkan dirinya seperti air. Sebuah batu apabila ia terus-terusan diserang oleh air, maka batu itu akan hancur. Begitu juga dengan sifat cuek Bella, Renaldo akan menggancurkan itu semua.

"Buset, pantesan tadi pagi gue denger kucing berkokok. Ternyata hari ini Renaldo masuk pagi!" celetuk Bima.

"Lu kira mau kiamat?" Renaldo menoyor kepala Bima.

"Sumpah dah, Nal. Seumur hidup, lo masuk pagi itu jaman kita kelas 10 doang."

"Lebay lu." Renaldo menaruh tasnya di atas meja.

"Elah," Bima turut duduk di samping Renaldo. "Eh, eh, gimana kemaren? Berhasil, nggak?"

Renaldo menampilkan senyumnya. "Udah gue bilang, gue nggak pernah gagal."

"Kok gue nggak yakin, ya?" Bima menatap Renaldo seraya menggelengkan kepala. Lelaki itu kemudian menyikut perut Renaldo, "Nal, Nal. Doi dateng, tuh!"

Mata Renaldo mengarah pada apa yang ditunjuk oleh Bima. Senyumnya makin mengembang ketika melihat Bella datang. Meski gadis itu tidak melirik ke arahnya, namun itu sudah cukup bagi Renaldo.

"Nggak mau lo modusin, tuh?" celetuk Bima yang ikut memperhatikan Bella.

"Belum waktunya," ujar Renaldo.

Bel tanda pelajaran akan segera dimulai berbunyi. Para murid mulai berlarian masuk ke dalam kelas dan duduk di bangku masing-masing ketika Ibu Fatmawati, guru yang mengajar pelajaran Bahasa Indonesia memasuki kelas.

Wanita bertubuh gempal itu menatap seluruh murid dengan teliti, mencari apakah ada bangku yang kosong pertanda tidak mengikuti pelajarannya kali ini.

Melihat seluruh bangku terisi penuh, dahi Ibu Fatmawati mengerut heran. Biasanya, selalu ada satu kursi kosong yang tersisa karena si pemilik tidak pernah hadir saat pelajarannya.

"Hadir semua?" tanya wanita itu.

"Hadir semua, Bu." Sahut Alvaro, Ketua Kelas.

"Tumben," gumam Ibu Fatmawati seraya membuka daftar hadir kelas sosial 1.

Setelah beberapa menit hening karena Ibu Fatmawati mengisi absensi, wanita itu beranjak dari tempat duduknya seraya menimang buku cetak bertuliskan Bahasa Indonesia.

"Melanjutkan tugas kita minggu kemarin, hari ini Ibu akan membagi kalian ke dalam beberapa kelompok untuk melakukan pentas drama modern," ujar Ibu Fatmawati yang membuat murid perempuan bertepuk tangan gembira.

"Yey, gue paling suka kalau tugas praktek gini!" seru Deva seraya menoleh pada Bella, "lo suka teather juga nggak, Bel?"

Bella menoleh seraya menggelengkan kepalanya. Gadis itu hampir tidak memiliki apapun untuk disukai di dunia ini, hampir.

"Naskah harus kalian buat sendiri, boleh mencari inspirasi dari film atau novel. Tapi tidak boleh sama secara keseluruhan, itu plagiat namanya," ujar Ibu Fatmawati.

"Siap, Bu!" celetuk beberapa murid bersamaan.

"Ada yang ingin ditanyakan sebelum Ibu mulai membagi kelompok?"

"Nggak ada, Bu!"

"Kalau begitu, ibu akan membagi kalian ke dalam 5 kelompok. Perhatikan." Ibu Fatmawati mengambil secarik kertas yang berisi nama-nama kelompok yang telah ia bagi.

"Kelompok 1, ketua Alvaro, anggota Indah, Fera, Nadia, Jonathan, Roland, Meisya dan Morgan."

"Kelompok 2, ketua Adrian, anggota Marisa, Shinta, Chintya, Resma, Reza, Dhani ..."

"... Kelompok 5, kelompok terakhir. Ketua Renaldo, Anggota Sarah, Deva, Bima, Aiden, Alana, Damian dan Derano."

"Ada nama yang belum disebutkan?" tanya Ibu Fatmawati.

"Ada, Bu. Murid baru, Rabella Tazqia," celetuk Renaldo.

"Eh? Ibu lupa ada murid baru." wanita itu menaikkan kacamatanya yang merosot kemudian menatap lagi lembaran absensi. "Kalau begitu, Rabella masuk ke kelompok kamu ya, Renaldo. Kelompok 5."

Senyum Renaldo melebar seketika. "Siap, Bu!"

"Sekarang, silakan berkumpul dengan kelompoknya masing-masing untuk membicarakan tentang naskah yang akan kalian buat. Waktu masih ada satu jam untuk kalian berdiskusi," Ibu Fatmawati beranjak dari tempatnya, "jangan ribut, ya. Ibu mau ke ruang guru dulu."

"Baik, Bu," sahut Alvaro.

**

"Jadi, kita mau bikin teather gimana?" tanya Aiden.

"Tanya ketua, noh," sahut Demian seraya menunjuk Renaldo dengan dagunya.

"Yah, gue sih maunya teather simple. Lo semua tau kisah Cinderella, kan?"

"Lo mau bikin naskah kayak gitu?" tanya Deva.

"Yah, ngambil sedikit inspirasi dari cerita itu, sih. Lagian banyak banget versinya, kita nggak tahu yang mana bener-bener asli," ujar Renaldo seraya menatap anggotanya bergantian.

"Boleh juga, sih. Lagian pasti semuanya udah tau gimana ceritanya, tinggal kita ubah jadi versi kita, iyakan?" sambung Sarah.

"Ya, gue sih terserah kalian. Asal dialog gue yang pendek-pendek aja," ujar Bima.

"Gue ada ide. Jadi, ada seorang cewek kaya yang nggak punya tujuan hidup. Ketemu seorang cowok, yang nantinya bakalan jadi pasangan cewek itu. Tapi ...," ucapan Deva menggantung, membuat raut wajah penasaran mereka menatapnya.

"Tapi apaan, Dev? Jangan bikin penasaran, atuh." Sarah menyikut Deva agar gadis itu melanjutkan ucapannya.

"Tapi, si cowok ternyata sakit dan hidupnya nggak lama. Kisahnya berakhir sad karena pada akhirnya cowok itu meninggal," lanjut Deva yang membuat temannya mendesah kecewa.

"Sarah nggak suka sad ending." Sarah mencebikkan bibirnya, "kemaren Sarah beli novel yang sad ending, novelnya Sarah buang. Siapa suruh bikin Sarah mewek seharian."

"Itu mah elo yang lebay, Sar." cibir Derano, "sad ending kan nggak selamanya buruk. Bikin aja si pemeran utama cewek jadi punya semangat hidup karena udah janji sama cowok itu, kan nggak sad, sad amat tuh."

"Gue setuju. Jadi, judulnya apa?" celetuk Alana.

"Gue udah punya judul yang pas," ucap Renaldo yang membuat perhatian tertuju padanya. Namun, mata lelaki itu hanya terfokus pada gadis yang sejak tadi tidak memperhatikannya.

"Cinderbella."

*CINDERBELLA*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel