Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8

Tet! Tet! Tet!

Bel tanda masuk udah bunyi.

"Wooii! Man, teman, kita kelapangan sekarang." teriak Pandu si ketua kelas.

Semua anak pun ngikuti perintahnya. Termasuk gue dan ketiga temen gue. Kita semua kumpul di tengah lapangan. Gabung sama anak kelas 12 IPS3.

"Kebetulan Pak Edi nggak masuk hari ini, jadi kalian olahraganya barengan aja." Ini pak Joni guru olahraga di kelas gue.

"Untuk pemanasan, kalian lari keliling lapangan ini lima kali saja. Setelah itu kita bagi kelompok dan main volly. Pprriiiiitt!!! Ayo mulai dari kanan!" Tutur pak Joni lagi.

"Wooii! buruan lari, wooii!" Teriak semua anak, dan ternyata mereka neriakin gue.

"Iya, iya, nggak usah teriak juga gue ngerti. Bangsad! Pagi-pagi udah di semprot aja." kesel gue.

"Emang lo budeg sih!" Sahut salah satu teman gue.

Gue pun lari dan di susul teman-teman yang lainnya. Huuufftt ... memang sih cuma lima kali putaran. Tapi ini lapangannya luas banget, kaya' lapangan sepak bola. Beneran bikin capek maksimal.

Setelah bercapek-capek ria, akhirnya finis juga. Gue duduk dipinggir lapangan. Neduh dibawah pohon beringin bareng sama Dira, Yuni dan Wuri.

"Tumben, Lir, hari ini lo lemes banget." Tanya si Dira.

"Iya tuh, nggak kaya' biasanya."

"Mirip orang awal bunting. Lemes." Lanjut Wuri.

"Kaya' pernah ngalami aja lo, Wur." Yuni nabok lengan Wuri.

"Iya, nggak tau juga, rasanya kok capek banget." Gue juga bingung, ini badan rasanya kok sakit semua.

"Nih." Suara yang akhir-akhir ini sering gue dengar dan sangat hafal.

Gue ngangkat kepala. Bener aja, Remon udah ada di samping gue ngasih sebotol air mineral dan handuk kecil.

Ini orang ngapain sih? Gue jadi pusat perhatian semua orang. Termasuk ketiga teman gue yang mulutnya menganga nggak percaya sama yang mereka liat.

Apa lagi cewek-cewek yang lainnya, mereka langsung natap sinis banget. Bikin gue malu aja ni anak!

"Lo apaan sih! Gue nggak butuh itu!" tolak gue.

"Yaudah, gue lapin keringat elo, ya." Tangannya udah maju mau ngelap keringat di pelipis.

Buru-buru gue ngejauh dari dia. "Pergi lo! Dasar Setan! Gue nggak mau jadi pusat perhatian orang-orang!"

"Terima dulu, baru gue pergi, sayang."

"Hah?!" Ketiga teman gue histeris denger Remon manggil gue ‘sayang’.

"Bacot lo emang asal ceplos, ya! Nyebelin!" Gue langsung ambil minum dan handuk itu. Lalu gue dorong bahunya. "Udah sana pergi!"

Dia malah senyum dengan manisnya. "Istirahat, kita ke kantin bareng, ya."

"Nggak mau! Gue nggak pernah ke kantin." Tolak gue lagi.

"Bohong banget lo, Lir, tiap bolos juga kan kekantin." Ini Wuri beneran nusuk dari belakang ya.

Remon ketawa kecil. "Yaudah, ntar gue jemput. Gue balik ke kelas lagi. Olahraganya hati-hati ya, sayang."

"Merinding banget gue. Nggak usah sayang-sayang deh! Anjir! Ngeselin!"

Akhirnya Remon menjauh sambil ketawa kecil karna berhasil bikin gue kena masalah. Iya jelas gue kena masalah sesudah ini.

"Njir, Lira jahat deh!" Yuni yang dari kemarin heboh ngomongin anak baru yang ganteng, mulai kan.

"Nggak nyangka ya, lo muna banget, Lir. Sok nggak tau tentang siswa baru. Nggak taunya udah duluan ngembat dia." Dira ikutan nimpali.

"Wooii! utang penjelasan lo, ya!!" Wuri nabok lengan gue.

"Elo ada hubungan apa sama Remon??"

"Kapan lo kenalan sama dia?"

"Kok dia panggil elo sayang sih?"

"Kalian pacaran?"

"Anjir, nanyanya satu-satu, wooii!"

Priit! Priit!

Pak Joni udah bunyiin peluit. Gue bebas, jadi nggak perlu ngejelasin apapun. Iya bebasnya buat saat ini aja.

Setelah pelajaran usai, kita berempat melangkah kekantin.

"Lir, jujur deh. Ada hubungan apa sebenernya?" Wuri mulai ngomongin ini lagi.

"Wooi, dengerin nih, biar kalian bertiga nggak salah paham." Mereka fokus natap gue. "Remon itu tetangga baru gue. Jadi gue sama dia nggak ada hubungan apapun. Kita dekat karna rumah kita juga dekat."

"Terus, kenapa dia panggil elo sayang?" Yuni masih kepo.

"Itu ... tanya dia sendiri. Gue nggak tau."

"Yaudah, makan dulu, yuk. Kasian nih, baksonya dianggurin."

Baru aja masukin sebutir bakso bulat ke mulut, ada yang nepuk pundak gue dari belakang.

"Uhuk ... Uhuk ... Uhuk." Gue keselek. Dira ngambilin minum. "Anjir, untung umur gue masih panjang."

Gue dongakin kepala. Itu si Sarah, berdiri di samping gue dengan ngelipat kedua tangannya didepan dada. Ada kedua temannya juga berdiri disana. Gue langsung berdiri ngehadap mereka.

"Ada hubungan apa lo sama Remon??" Tanyanya kemudian.

"Apa urusan elo sih! kepo banget!"

"Dari dulu elo tu emang adek kelas yang paling belagu, ya." temannya si Sarah nimpali.

"Serah, ya. Gue lagi mau makan. jangan gangguin orang makan." Gue kembali duduk, tiba-tiba ....

"Aduuh, sepatu gue basah." Rengek si Sarah. "Siapa yang berani numpahin minum ke--" Kata-katanya keputus karna dia liat Linxi berdiri di sampingnya.

"Sorry, kak Sarah, gue nggak sengaja numpahin es jeruknya. Tadi kesandung, jadi tumpah deh." Linxi pasang tampang serba salah. Jelek banget sumpah!

Gue senyum liat Linxi ngebelain saudaranya ini. Emang saudara ter the best. Walau kita sering berantem, tapi dia aslinya peduli.

"Iya nggak papa, Lin." Sarah balik badan. "gue mau ngeringin sepatu dulu." Dia pun pergi.

"Makasih saudaraku teeerrrrr sayangg." gue senyum manis.

"Jangan suka cari masalah." Dia pergi nyari tempat duduk.

"Wwaahh, Linxi belainnya keren." Dira kegirangan.

"Hampir aja sarah ngejambak rambut lo." lanjut Wuri.

Oo jadi tadi Linxi numpahin minumnya karna itu.

Tet! Tet! Tet!

"Aelah, udah masuk aja sih." Wuri kesel.

"Yaudah, yuk balik kelas."

Kita bayar makanan, dan jalan bareng balik ke kelas. Tapi, gue hentiin langkah.

"Kalian nggak jenuh, ya?"

"Maksudnya, elo ngajakin bolos?"

Gue nyengir. "Keatap, yuuk."

"Ngapain Lir?" Dira nanya.

"Benerin genteng!"

"Jadi tukang dong."

Kita berempat pergi ke atap sekolah. Tempat biasa buat bolos anak-anak. Tapi sampai disana, kita udah dengar ada suara di sana. Pintunya juga dikunci. Kita ngintip dari celah kecil di pintu. Disana ada delapan lelaki yang sedang membully seseorang.

"Gila, itu ada pembully an gaes." Seru gue.

"Masa' sih, Lir?" Dira ngintip. "Eh, iya tuh."

"Kita bantuin nggak?"

"Sebagai murid telandan yang baik, kita harus bantuin dong." Si wuri ngasih saran.

"Anjaay! Teladan baik apaan. Kita aja lagi bolos, kuy." Timpal Yuni.

"Yaudah, gih. Kita dobrak pintunya bareng-bareng."

Wuri ngitungin pake isyarat tangannya.

Bbraak!

Pintu terbuka secara paksa, delapan cowok itu liat kearah kita.

"Eeh, kok gue belom pernah liat orang-orang ini, ya?" gue heran.

"Gue juga belom sih."

"Liat tuh seragamnya. Mereka adik kelas kita."

"Oo, pantesan belom pernah liat."

"Kalian ngapain disini?? main bully, ya?" Wuri mulai basa basi.

"ini udah bel masuk. kenapa kalian bolos?" Gue ikutan komen.

"Eh, kita juga bolos, bego!" Sahut Yuni

"Jaga image, njeerr!"

"kalian sendiri kenapa disini? kalian juga bolos, ya?" tanya salah satu dari mereka.

"Kita lagi nertipin anak-anak yang bolos kaya' kalian ini."

"Halah kalian bohong. Gue kenal. Elo Lira, kan." sahut salah satu dari mereka.

"Lha, kok tau sih?" gue heran.

"Eh, lo terkenal, Lir."

"Jadi artis tuh."

"Iya dia Lira, murid yang selalu bikin ulah itu kan, ya." sahut yang satunya lagi.

"Wah ... Wah ... wah .... bacotnya bagus juga tuh."

"Tapi emang elo kan sering bikin masalah di kelas 10 dulu, Lir." ini Yuni bukannya belain, eh malah ngomong bener.

"Nggak usah di omongin, bego." bisik gue.

"Mending kalian pergi deh. ini urusan kita. kalian nggak usah ikut campur." mereka ngusir.

"Heh, ngusir lo?! ini daerah kekuasaan gue. mending kalian pergi sana!!" gue mulai nge gas.

"Jjiirr, daerah kekuasaan. Mirip penjajah." Wuri ketawa kecil.

"Kita adu jotos dulu deh. kata nya lo bisa adu jotos, kan." si adik kelas nantangin.

"Ok, kalo kalah nggak usah nangis lho, ya."

"Eh, lepasin dulu itu temennya." Yuni nimpali.

"Iya, udah jelek gitu masih aja di bully. Kasian."

Salah satunya nendang punggung yang dibully hingga tersungkur. "Balik kelas sono!"

"Ngomong baik-baik kan bisa. Kenapa harus ditendang sih?"

"Sini maju." Mereka mulai nantangin.

Gue dan Dira maju karna emang Yuni sama Wuri nggak bisa adu otot.

"Lo yakin, Dir, 8 lawan 2 nih." bisik gue.

"ini elo lagi takut?"

"Nggak sih. gue nggak punya rasa takut."

"Yaudah, yook mulai."

Bhukk! Bbhuk! Bhukk!

Gue berhasil bikin salah satunya jatoh. Yang lainnya pun mulai nyerang.

Bhukk! Bhukk! Bhukk!

Tinggal dua anak yang masih stay berdiri belum kena pukul.

"Cih, segitu doang kemampuan kalian?"

"Kalo belom jago, jangan nantangin dong." Seru Dira.

Dua anak itu maju dan gue juga maju.

"Ini elo aja ya, Lir." Dira nepuk pundak gue.

"Mereka kecil." gue sentik jari kelingking.

"Ngeremehin lo, ya!"

"BERHENTIII!!!" teriakan dari ambang pintu.

bersambung......

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel