Bab 5
pov Lira
Kaget bukan main saat buka pintu balkon, ada seorang cowok yang berdiri disana. Cowok yang tubuhnya atletis, rambutnya sedikit panjang dikucir dibelakang. Dengan kaos oblong warna hitam dan celana pendek serta sendal jepit. Siapa coba berani banget nembus kamar gue.
"Heh, siapa lo?" tanya gue dengan kasar
Takut? Nggak akan! Nggak ada sejarahnya gue takut sama orang. Kecuali Papa.
"Calon suami elo." Jawab si cowok tanpa menoleh.
Mendengar jawaban itu, kedua mata membulat sempurna. “Eh, setan! Ngapain lo disini?!”
Menarik bahunya kasar, tapi dia gantian narik tangan gue, mendekap, memeluk dari belakang dengan erat. Bertopang dagu dibahu, deru nafasnya hangat menyapu wajah dari samping.
“Jan galak-galak dong. Elo tu cantik.” Ucapnya tepat disamping telinga, membuat begidik geli. Wanginya yang maskulin tercium sangat jelas dan menenangkan.
Nggak peduliin apa yang dia katakan. Gue tetap berusaha melepaskan diri, tapi dia makin eratkan genggamannya. Nggak kehabisan akal, gue injak kakinya sekuat tenaga, lalu menendang pahanya sampai dia melepaskan kedua tangan.
“Aduuh! Galak banget sih, lo!” keluhnya, mengelus paha yang terkena tendangan.
“Jan pernah sentuh gue lagi, ya! Pergi sono!” gue berkacak pinggang, memasang wajah yang paling menyeramkan.
Enek banget lihat mukanya!
Sebenarnya ya, dia itu sangat tampan. Rambutnya yang warna coklat dan sedikit panjang dengan kuncirnya itu, ada pesonanya tersendiri.
Bukannya pergi, Remon malah nyengir.
“Cengar-cengir! Ngapain?” sembur gue lagi.
Tanpa menjawab, Remon nyelonong masuk ke kamar. Karna jarak gue yang agak jauh dari pintu, gue nggak sempet menghalangnya. Remon langsung duduk ditepi ranjang. Dengan tanpa dosa ia rebahin tubuhnya keatas ranjang.
“Wah, empuk, ya. Sama kek kasur yang di kamar gue.”
“Apaan sih lo! Bangun cepet!” gue tendang kakinya yang masih menggantung dilantai.
“Besok kalau kita udah nikah, gue betah kok tidur disini.”
Duueer!
Ada petasan yang meledak dikepala.
“Eh, bacot! Lo ngomong apa, hum!? Ngebet banget pen nikahin gue. Gue aja ogah!”
Heran ya sama setan yang werwujud Remon ini. Nguji sabar banget. Gue lirik wajahnya, dia merem. Shit! Dia sangatlah tamvan.
“Gue nggak peduli! Meskipun lo nolak, gue akan tetep nikahin elo.” Ngomong tanpa membuka mata.
“Gue bakalan bikin lo berubah pikiran. Udah sono! Pulang lo! Gue ngantuk, pen bobok.” Gue tendang lagi kakinya.
Dia langsung bangun. “Tidur kamar gue lagi, yuk, Lir.” Ajaknya.
“Dasar sinting! Nggak! Gue nggak mau!” gue bersedekap, sedangkan dia senyum nggak jelas sambil terus liatin gue. “Ngapain sih lo! Senyam-senyum nggak jelas! Dasar mesum!”
“Elo cantik, Lir. Apa lagi kalau marah-marah gini. Bikin betah.”
“Dasar sinting!” makin gemes pen nimpuk!
Gue tarik tangannya biar Remon cepat keluar dari sini. Sialnya, dia gantian narik tangan sampai gue jatuh dipangkuannya, lalu melingkarkan kedua tangan keperut. Kedua kakinya mengapit kaki hingga gue nggak bisa gerak sedikitpun.
Sekarang jarak kami cukup dekat. Bisa gue lihat wajah putih mulusnya, wangi shampoo yang menguar di indra penciuman. Kita bertatapan untuk sepersekian detik. Segera mengalihkan pandangan, mencoba menggerakkan kedua tangan yang ia genggang erat. Jantung mulai berdebar nggak karuan. Untuk pertama kali gue rasakan debaran yang seperti ini.
“Remon, lepasin! Jan gila deh.” Suara sedikit melunak. Jujur, gue grogi.
Remon menyunggingkan senyum. “Lira, tidur kamar gue, ya. Gue janji, nggak bakalan apa-apain elo.” Rayunya, lalu tersenyum manis.
“Lo kenapa sih? Jadi orang mesum banget. Gue mau tidur dikamar gue sendiri. Pulang sono!”
"Itu Mama sama saudara ipar masih berantem, kan? Nanti kalo lo nggak bisa tidur, bisa bangun kesiangan."
What! Dengan pedenya dia panggil Mama sama saudara ipar. Dasar gila!
“Eh, setan! Sejak kapan lo punya saudara ipar? Jan asal bacot deh! Lepasin, dan lo pulang sono! Gue beneran ngantuk.” Berusaha menarik tangan yang ia genggam erat, dan tetap nggak bisa.
"Kalo gitu, gue tidur disini, ya." Ngomongnya dengan santai tanpa dosa. Membuat mata gue makin melotot.
“Mesum banget sih lo! Gue nggak ijinin, SETAAN!” karna ngomong baik-baik pun dia nggak mau hubris, akhirnya gue teriak karna kesal. “Gue teriak kalo sampai lo nggak juga lepasin!” gue mengancamnya.
Remon terkekeh. “Teriak aja. Biar kita ke gep lagi sama mama, dan pasti orang sekomplek akan kesini buat nikahin kita rame-rame. Mau lo? Ayo cepet, teriak.”
Mengurungkan niat untuk teriak, mulut yang udah mangap langsung tertutup rapat dan manyun. Benar juga sih, pasti kita bakal cepet dinikahin.
"Yaudah, lepasin dong. Mau lo apaan sih?! Sebel gue!" manyun karna kesal.
"Tidur dikamar gue, ya. Pliiss, Lir. Gue nggak bisa tidur, dari tadi udah merem lama, tapi tetep nggak bisa tidur."
Gue tatap wajahnya, hingga kita saling tatap. Nggak ada kebohongan dimatanya, tapi nggak tau juga. Karna gue belum benar-benar mengenalnya.
“Nggak mau! Gue nggak mau dipeluk-peluk.”
“Gue janji, nggak akan peluk elo. Kita boboknya sebelahan aja.”
"Bener nih?"
"Ya, bener. Gue nggak akan bohong." Dia kembali senyum dengan manisnya. Beneran tampan deh, ini setan.
"Iya deh. Tapi awas aja kalo sampe ingkar. Gue cekik lo!"
Terukir senyum di bibirnya lagi. "Iya, janji."
"Yaudah, lepasin, gue siap-siap dulu."
Remon mengendurkan pelukan, segera gue berdiri dan pergi dari pangkuannya.
Terdengar music rock dari lantai bawah, tepatnya dari kamarnya Linxi.
"Tiap malam, saudara ipar selalu gitu, ya?"
Kok geli banget sih ya denger dia ngomong saudara ipar. Pengen ketawa.
"Ya, gitu. Makanya gue sering tidur di kamar elo. Elo sih, pake beli rumah itu. Gue jadi nggak bisa pindah kamar."
"Lha, ini mau pindah, kan."
"Tapi kan, sekarang ada elo. Gue nggak sendirian lagi."
"Besok kalo kita udah nikah juga tidur bareng, kan?”
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamar diketuk.
"Lir, Lira.” Suara Mama diluar kamar.
Mampus!
Panik banget anying! Gue bakal ke gep lagi pasti. Nggak ada cara lain selain ngumpetin Remon di ruang ganti.
“Iya, Ma. Bentar.” Mengatur nafas agar stabil dan kelihatan biasa aja. Duduk ditepi ranjang, dan berlagak pura-pura siap tidur.
“Mama masuk, ya.”
Cekleek!
Pintu terbuka, Mama melangkah masuk. Jalan terus, buka pintu balkon yang sialnya nggak gue tutup. Detik kemudian Mama masuk menenteng tangga yang biasa gue pakai kekamar Remon.
“Lho, itu tangganya mau dibawa kemana?” kepanikan tambah lagi.
“Mau Mama simpan digudang. Jangan sampai kamu di gep lagi sama warga. Sekarang tidur!” mama keluar dengan membawa tangga itu.
Shit!!
Hilang, kan, si tangga.
Remon keluar dari persembunyian, duduk disamping gue. “Sekarang, gue nggak bisa pulang, kan?” lalu merebahkan tubuhnya kekasur.
“Mana gue tau, kalau Mama bakalan masuk. Untung aja tadi belom pergi. Kalau udah pergi, sama aja ke gep lagi. Huufft ....” hembusin nafas resah.
Mutar otak, mikirin gimana caranya si Remon keluar dari kamar. Jalan satu-satunya Cuma lewat pintu depan, dan itu bisa kita lakukan kalau pagi. Terpaksa, kan, nampung setan dikamar.