Bab 8: Cahaya dan Bayangan
Bab 8: Cahaya dan Bayangan
Nathan mengira badai telah berlalu setelah berhasil menyelamatkan Anindya dari Reno. Namun, hidup punya cara untuk memberikan ujian yang lebih berat. Ketika ia mulai menata ulang hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghampiri, kali ini lebih gelap dan penuh intrik.
---
Awal yang Rapuh
Pagi itu, Nathan duduk di teras bengkel Rio dengan segelas kopi di tangannya. Luka-luka di tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, tetapi pikirannya jauh lebih berat dibandingkan rasa sakit fisik yang ia rasakan.
Anindya telah memintanya untuk berhati-hati. Gadis itu berulang kali menekankan bahwa ia tidak ingin Nathan menghadapi semua ini sendirian. Namun, Nathan tetap merasa bahwa ini adalah tanggung jawabnya.
Pikirannya terus melayang pada masa lalu, terutama hubungannya dengan ayahnya, Arman Arsyad. Meski ia tidak pernah menyebut nama pria itu lagi setelah bertahun-tahun, Nathan tahu bahwa banyak dari konflik yang ia hadapi sekarang bermula dari keputusan-keputusan Arman di masa lalu.
“Nat, lo kelihatan kacau,” suara Rio memotong lamunannya.
Nathan mengangkat kepala, melihat sahabatnya membawa beberapa alat perbaikan. “Gue cuma mikir. Ada banyak hal yang harus gue urusin.”
Rio menatapnya serius. “Lo udah ambil langkah besar buat keluar dari dunia lama lo, Nat. Jangan biarin masa lalu ngerebut itu lagi. Kalau ada yang masih ngeganggu, lo harus hadapin.”
Nathan mengangguk perlahan, meskipun ia tidak yakin apakah ia siap untuk menghadapi apa yang Rio maksud.
---
Surat yang Mengejutkan
Beberapa hari kemudian, Nathan menerima sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Sebuah surat tiba di bengkel, tanpa nama pengirim. Surat itu hanya terdiri dari beberapa kalimat singkat:
“Nathan, aku tahu kau mencoba meninggalkan masa lalu. Tapi ada sesuatu yang perlu kau ketahui tentang ayahmu. Jika kau ingin jawaban, temui aku di alamat ini. Jangan bawa siapa pun.”
Nathan membaca surat itu berulang kali, mencoba mencari petunjuk tentang siapa yang mengirimnya. Alamat yang tertera adalah sebuah rumah tua di pinggir kota.
Rio memergoki Nathan yang tengah termenung dengan surat itu di tangannya. “Apa itu, Nat?”
“Surat dari seseorang. Katanya dia punya informasi tentang bokap gue,” jawab Nathan pelan.
“Lo mau pergi?”
Nathan mengangguk. “Gue harus tahu apa yang mereka tahu. Kalau ini ada hubungannya sama bokap gue, berarti ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.”
Rio menghela napas panjang. “Kalau gitu gue ikut. Lo nggak boleh pergi sendirian.”
“Dia bilang jangan bawa siapa pun,” jawab Nathan.
“Dan lo percaya sama omongan itu? Nat, lo tau ini bisa jadi jebakan, kan?”
Nathan terdiam, tapi akhirnya berkata, “Gue nggak punya pilihan, Rio. Gue harus tahu kebenarannya.”
---
Pertemuan yang Menguak Luka Lama
Nathan tiba di alamat yang tertera di surat itu menjelang malam. Rumah itu tampak terbengkalai, dengan cat yang sudah mengelupas dan jendela yang retak. Ia merasa waspada, tetapi rasa penasarannya mengalahkan ketakutannya.
Ketika ia masuk, ia mendapati seorang pria paruh baya duduk di ruang tamu, menyalakan rokok dengan tangan gemetar. Wajahnya kasar, penuh garis-garis kelelahan hidup.
“Lo Nathan Arsyad?” tanya pria itu tanpa basa-basi.
Nathan mengangguk. “Siapa lo? Apa yang lo tau tentang bokap gue?”
Pria itu menghela napas panjang sebelum menjawab. “Nama gue Hendra. Gue dulu kerja buat bokap lo.”
Nathan merasa tubuhnya menegang. “Lo kerja di bisnis ilegalnya?”
Hendra mengangguk. “Iya. Gue salah satu anak buahnya yang setia, sampai gue tau siapa dia sebenarnya. Arman nggak cuma pengusaha. Dia juga... monster.”
Nathan memandang pria itu dengan curiga. “Apa maksud lo? Semua orang tahu bokap gue orang yang keras, tapi lo bilang dia monster?”
Hendra tertawa kecil, tapi tawanya dipenuhi kepahitan. “Lo pikir bokap lo cuma pebisnis biasa yang punya bisnis gelap? Arman adalah dalang dari jaringan perdagangan manusia di kota ini. Dia manipulatif, licik, dan nggak punya rasa belas kasihan. Banyak nyawa yang hancur karena dia.”
Nathan merasa darahnya mendidih. Ia tahu ayahnya adalah pria yang keras dan kejam, tetapi ia tidak pernah membayangkan bahwa ayahnya bisa terlibat dalam sesuatu yang sekeji itu.
“Kenapa lo bilang ini sekarang?” Nathan bertanya tajam.
“Karena gue nggak bisa hidup dengan rahasia ini lagi,” jawab Hendra. “Dan karena gue tau, lo anaknya. Lo punya hak untuk tau kebenarannya.”
---
Konflik Batin yang Menghantui
Setelah mendengar pengakuan Hendra, Nathan pulang dengan kepala penuh pikiran. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya mungkin bertanggung jawab atas kejahatan yang begitu keji.
Ketika ia tiba di rumah, Anindya sudah menunggunya. Gadis itu langsung tahu ada sesuatu yang salah ketika melihat ekspresi Nathan.
“Ada apa, Nathan?” tanyanya lembut.
Nathan terdiam sejenak sebelum akhirnya menceritakan semuanya. Anindya mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela sedikit pun.
“Aku nggak tahu harus percaya atau nggak,” kata Nathan akhirnya, suaranya penuh emosi. “Tapi kalau itu benar, itu berarti darah gue sama kotor kayak dia.”
Anindya menggenggam tangannya erat. “Nathan, darahmu tidak menentukan siapa kamu. Keputusanmu yang menentukan. Kamu sudah membuktikan bahwa kamu bisa memilih jalanmu sendiri.”
“Tapi gimana kalau gue nggak cukup kuat?” Nathan bertanya, suaranya bergetar. “Gimana kalau gue tetap jadi bagian dari kegelapan itu?”
Anindya menatapnya dalam-dalam. “Kamu nggak sendirian, Nathan. Kamu punya aku. Kamu punya Rio. Kita akan melawan ini bersama.”
---
Langkah Menuju Kebenaran
Keesokan harinya, Nathan memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh tentang bisnis ayahnya. Ia kembali menemui Hendra, meminta informasi lebih rinci tentang jaringan yang dikendalikan Arman.
Hendra memberinya beberapa dokumen yang menunjukkan bukti-bukti transaksi gelap yang melibatkan perusahaan ayahnya. Dokumen itu terlalu rinci untuk diabaikan.
Nathan merasa hatinya hancur ketika membaca dokumen itu. Nama ayahnya tercatat di setiap halaman, membuktikan bahwa pria itu memang terlibat dalam jaringan kejahatan yang selama ini ia hindari.
Namun, alih-alih merasa putus asa, Nathan merasakan sesuatu yang baru tumbuh dalam dirinya: tekad.
“Aku nggak akan biarin ini terus terjadi,” katanya kepada Anindya dan Rio. “Kalau gue harus melawan bokap gue sendiri untuk menghentikan ini, gue akan lakukan.”
---
Badai yang Kembali
Namun, keputusan Nathan untuk melawan ayahnya membawa konsekuensi berat. Beberapa hari setelah ia mulai menyelidiki, seseorang mencoba menyerang Rio di bengkel. Untungnya, Rio berhasil selamat, tetapi kejadian itu menjadi peringatan bagi Nathan bahwa ia sedang menghadapi musuh yang jauh lebih besar dari Reno atau Doni.
Nathan tahu ia harus bergerak cepat. Dengan bantuan Anindya dan Rio, ia mulai mengumpulkan bukti untuk mengungkap kejahatan ayahnya. Ia tahu ini adalah langkah berbahaya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.
“Gue nggak bisa biarin ini terus terjadi,” kata Nathan suatu malam, saat ia dan Anindya duduk di bawah bintang-bintang. “Kalau gue harus ngorbanin segalanya buat menghentikan ini, gue rela.”
Anindya menggenggam tangannya erat. “Kamu nggak sendirian, Nathan. Aku ada di sini. Kita akan hadapi ini bersama.”
---
Babak baru telah dimulai dalam hidup Nathan. Ia tahu pertempuran ini akan sulit dan penuh risiko, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa lari lagi. Dengan dukungan Anindya dan Rio, Nathan bersiap menghadapi badai yang lebih besar, bertekad untuk mengubah takdirnya dan menghentikan bayang-bayang gelap yang diwariskan oleh ayahnya.