BAB. 2 Para Cowok Ganteng
Obrolan Zera, Mary, dan Jasmine terhenti ketika terdengar suara riuh dari arah gerbang sekolah. Kerumunan siswa-siswi yang tadinya tersebar di berbagai sudut lapangan kini mulai berkumpul dan bergerak ke satu arah. Penasaran, Zera, Mary, dan Jasmine menjadi saling pandang satu sama lain.
"Ada apa sih? Kok tiba-tiba pada ramai gitu?" tanya Zera sambil berdiri.
"Nggak tahu, yuk kita lihat ke sana!" ajak Mary sambil menarik tangan Jasmine.
Dengan rasa ingin tahu yang besar, ketiga gadis itu berjalan mendekati kerumunan. Mereka melihat para siswa dan siswi berlari-lari kecil menuju gerbang, berusaha mendekat ke pusat kerumunan.
Di tengah kerumunan itu, tiga orang pria tampan, Joseph Mikuel, Farez Keil, dan Arnold Zafazel, melangkah dengan percaya diri. Mereka adalah siswa senior yang sangat populer di SMA Cipta Nusantara. Ketampanan para pria itu yang sudah menjadi buah bibir di sekolah, membuat kehadiran mereka selalu dinanti-nanti.
Joseph, dengan rambut hitam yang selalu tertata rapi dan senyuman menawan, memimpin langkah. Di sebelahnya, Farez yang berambut ikal dengan mata hitam tajam, melangkah dengan penuh percaya diri. Sedangkan Arnold, dengan tubuh atletis dan kulit kecoklatan yang eksotis, melengkapi trio tersebut.
Mereka adalah simbol ketampanan dan popularitas di SMA Cipta Nusantara.
Para siswi yang melihat ketiganya segera berusaha mendekat dan mencari perhatian dari mereka.
"Joseph! Sini dong, foto bareng!" seru seorang siswi sambil melambaikan tangan.
"Farez, kamu ganteng banget hari ini!" puji siswi lain dengan wajah memerah.
"Arnold, boleh minta tanda tangan nggak?" pinta yang lain penuh harap.
Namun, Joseph, Farez, dan Arnold tetap berjalan dengan cuek. Mereka sudah terbiasa dengan perhatian seperti itu dan memilih untuk tidak terlalu menggubrisnya.
Zera, Mary, dan Jasmine yang masih baru di SMA itu, tidak tahu siapa ketiga pria tampan itu. Mereka hanya bisa melongo melihat kerumunan siswa-siswi yang berlari ke satu arah.
"Kalian tahu mereka siapa?" tanya Zera dengan nada penasaran.
"Nggak tahu. Mungkin mereka siswa senior yang populer," jawab Mary sambil berusaha melihat lebih jelas dari kejauhan.
"Masa orientasi hari pertama udah kayak gini, ya? Heboh banget," komentar Jasmine sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Sementara itu, di sisi lain lapangan, Thalia, Lena, dan Kezia, yang merupakan kakak senior di SMA itu, juga ikut berlari saat melihat tiga cowok primadona sekolah mereka.
Mereka bertiga sangat mengagumi Joseph, Farez, dan Arnold, meskipun sudah berada di kelas yang lebih tinggi.
"Thalia, cepat! Kita harus dapat tempat bagus di dekat mereka!" seru Lena sambil menarik tangan Thalia.
"Iya, iya! Aku juga mau foto bareng Arnold!" balas Kezia dengan semangat.
Di tengah suasana yang semakin riuh, Joseph, Farez, dan Arnold akhirnya tiba di kafetaria. Ketiganya lalu duduk di meja yang biasa mereka tempati, sementara para penggemar-penggemarnya berdiri di sekeliling, berharap bisa mendekat.
"Joseph, kamu ganteng banget hari ini!" puji seorang siswi dengan wajah memerah.
"Farez, boleh foto bareng nggak?" pinta siswi lain dengan ponsel di tangan.
Arnold hanya tersenyum tipis sambil melambaikan tangan, membuat para siswi semakin histeris. Namun, mereka tetap menjaga jarak sesuai aturan sekolah.
Di meja lain, Thalia, Lena, dan Kezia akhirnya berhasil mendekat. Mereka duduk tak jauh dari tempat Joseph, Farez, dan Arnold, berusaha untuk terlihat tenang meskipun jantung mereka berdebar kencang.
"Astaga, mereka ganteng banget ya kalau dilihat dari dekat. Aku suka Farez!" bisik Thalia penuh kagum.
"Iya, apalagi Arnold. Dia kelihatan lebih keren dari yang di foto," sahut Kezia sambil tersenyum lebar.
"Kalau gitu, kita harus sering-sering ke kantin pas istirahat, siapa tahu bisa ngobrol sama mereka," usul Lena dengan penuh semangat ingin melihat lebih lama wajah Joseph, Si penguasa lapangan basket.
Sementara itu, di taman sekolah, Zera, Mary, dan Jasmine akhirnya memutuskan untuk kembali ke kelas mereka. Ketiga gadis itu merasa sudah cukup melihat keramaian dan memilih untuk melanjutkan obrolan mereka di tempat yang lebih tenang.
"Yuk, kita balik aja. Di sini berisik banget," ajak Zera sambil berdiri.
"Setuju," jawab Mary.
"Lagipula, kita nggak ada urusan juga sama mereka."
Jasmine mengangguk dan mengikuti langkah teman-temannya. Mereka bertiga berjalan menjauh dari kerumunan, meninggalkan kehebohan para penggemar Joseph, Farez, dan Arnold.
Hari itu, SMA Cipta Nusantara kembali membuktikan betapa besarnya pengaruh ketiga pria tampan tersebut. Dengan kehadiran mereka, suasana sekolah yang tadinya biasa saja bisa berubah menjadi lautan kegembiraan dan kekaguman. Sementara Zera, Mary, dan Jasmine tetap menikmati hari-hari mereka dengan cara yang sederhana, tanpa terlalu terpengaruh oleh hingar bingar popularitas para seniornya.
Masih di dalam kafetaria yang luas dan penuh sesak,
Para siswa dan siswi berbaur menikmati hidangan mereka, berbincang tentang berbagai topik mulai dari tugas sekolah hingga gosip terkini. Namun, ada satu sudut di kafetaria yang lebih ramai daripada yang lain, menciptakan pusat perhatian yang seolah-olah magnet yang sedang menarik besi.
Di tengah kerumunan siswa-siswi yang antusias itu, duduklah tiga sosok yang paling populer di sekolah yaitu Farez, Arnold, dan Joseph. Ketiga cowok ini memang selalu menarik perhatian, bukan hanya karena ketampanan mereka, akan tetapi juga karena bakat dan karisma yang mereka miliki.
Joseph, dengan wajah blasteran dan gaya santainya, terkenal sebagai bintang basket sekolah. Arnold, si tinggi besar dengan gaya rambutnya yang selalu tampak acak-acakan, adalah ketua OSIS yang sangat disegani juga mahir dalam olahraga Muay Thai. Sedangkan Farez, si tampan berdarah campuran bule dengan senyum memikat, merupakan juara debat yang sering memenangkan lomba antar sekolah. Pemuda itu juga bintang pada lapangan futsal.
Ketiganya sedang asyik menikmati makan siang mereka. Farez terlihat sedang menggigit burger dengan santai, Arnold menyeruput jus jeruknya, dan Joseph mencicipi salad buah di depannya.
Sekeliling mereka, para siswa dan siswi berdesakan, berbisik-bisik, dan sesekali memberanikan diri untuk meminta tanda tangan atau sekadar mengucapkan salam.
"Ha-ha-ha! Bro, lihat deh, mereka kayak semut yang sedang mengerubungi gula," celetuk Farez sambil tertawa kecil, menunjuk ke arah kerumunan siswa yang semakin mendekat.
"Ya ampun, Farez. Emang kita seheboh itu ya?" sahut Arnold, mengangkat alisnya dengan ekspresi heran namun geli.
Joseph tertawa, menyisihkan rambutnya yang agak panjang dari wajahnya.
"He-he-he! Yah, terima saja. Kalau kita ini memang pusat perhatian. Biasa aja."
Di tengah keramaian itu, ada seorang siswi bernama Siska yang berusaha mendekat. Dia membawa buku catatan yang terlihat lusuh, dengan tatapan ragu-ragu namun penuh tekad. Gadis berjalan pelan menuju meja trio populer tersebut, jantungnya berdegup kencang saat ini.
"Permisi, Kak. Apa boleh minta tanda tangan kalian?" tanya Siska dengan suara hampir berbisik, namun cukup terdengar di antara keramaian.
Joseph yang pertama kali merespons. Dengan senyuman hangat, dia mengambil buku catatan itu dan menandatanganinya.
“Tentu saja, Siska. Kamu selalu mendukung tim basket, kan? Terima kasih banyak."
Siska mengangguk dengan wajah merah padam.
"I-iya, aku selalu nonton tiap pertandingan, Kak."
“Kakak sangat jago di lapangan basket!” puji Siska.
Arnold kemudian mengambil alih, menandatangani buku tersebut sambil tersenyum lebar.
"Kamu memang siswi yang hebat, Siska. Terus semangat ya!"
Terakhir, Farez memberikan tanda tangannya dan mengucapkan,
"Semoga sukses dengan pelajaranmu, Siska."
Siska tersenyum lebar, merasa seolah-olah sedang melayang. "Terima kasih banyak, Kak! Kalian semua keren!"
Setelah Siska berlalu, Arnold melirik ke arah Farez dan Joseph. Lalu berkata,
"Terkadang aku merasa, kita ini selebriti dadakan di sekolah ini."
Farez tertawa.
"Ha-ha-ha! Ya, tapi itu juga berarti kita punya tanggung jawab lebih, Bro. Kita harus jadi contoh yang baik."
Joseph mengangguk setuju. "Benar. Tapi kadang aku juga pengin ada waktu di mana kita bisa santai tanpa dikerubungi orang."
Sementara mereka berbincang, seorang siswa laki-laki mendekat dengan sedikit canggung. Namanya Budi, salah satu anggota tim basket junior. Dia menggaruk-garuk kepalanya dengan gugup sebelum berbicara.
"Kak Joseph, aku ingin tanya soal strategi pertandingan berikutnya. Bisa kasi tips?" tanyanya dengan nada penuh harap.
Joseph menyambut pertanyaan itu dengan antusias.
"Tentu, Budi! Kamu harus fokus pada defense dulu. Kalau bisa tahan lawan, kita punya banyak kesempatan buat serang balik."
Budi mengangguk dengan penuh perhatian, mendengarkan setiap kata yang diucapkan Josep. Setelah beberapa saat, dia berterima kasih dan kembali ke meja teman-temannya, pemuda itu terlihat lebih percaya diri.
Kafetaria semakin ramai, dan situasi di sekitar meja Farez, Arnold, dan Joseph semakin riuh. Namun, mereka tetap tenang dan ramah menghadapi setiap siswa yang mendekat. Seorang guru BK yang kebetulan melintas, Bu Hana, tersenyum melihat interaksi tersebut. Sang guru lalu mendekat dan berbicara kepada ketiganya.
"Kalian bertiga selalu jadi panutan di sekolah ini. Teruskan sikap baik kalian ya," ucap Bu Hana dengan nada mengayomi.
"Tentu, Bu. Terima kasih," jawab Arnold dengan sopan.
Joseph menambahkan,
"Kami akan berusaha sebaik mungkin, Bu."
Setelah Bu Hana berlalu, Farez berbisik kepada teman-temannya.
"Terkadang aku merasa, kita ini seperti pahlawan super di sekolah ini."
"Kalau begitu, kamu pahlawan super yang mana, Arnold?" canda Farez.
Arnold berpikir sejenak,
lalu menjawab sambil tertawa, "Aku sih petarung Muay Thai!"
Joseph dan Farez tertawa mendengar jawaban Arnold.
“Ha-ha-ha!”
"Kalau gitu aku adalah penguasa lapangan futsal," sahut Farez.
Joseph mengangguk setuju. "Dan aku mungkin Singa basketball."
Percakapan mereka terhenti sejenak ketika mereka melihat seorang siswi yang tampak cemas di sudut kafetaria. Namanya Kezia, salah satu anggota OSIS yang bertugas mengurus kegiatan sekolah. Dia terlihat kewalahan dengan setumpuk dokumen di tangannya.
Arnold, sebagai ketua OSIS, langsung peka dengan situasi tersebut.
"Kezia, ada apa? Butuh bantuan?"
Kezia lalu mendekat dengan wajah lega.
"Iya, Arnold. Aku butuh bantuanmu untuk memeriksa proposal kegiatan ini. Aku takut ada yang terlewat."
"Tenang saja, Kezia. Kita periksa bareng-bareng," jawab Arnold sambil mengajak Kezia duduk di sebelahnya.
Joseph dan Farez juga ikut membantu memeriksa dokumen tersebut, memberikan masukan dan memastikan semuanya beres. Dalam waktu singkat, mereka berhasil menyelesaikan tugas itu dengan baik.
"Terima kasih banyak, kalian benar-benar penyelamatku," ucap Kezia dengan penuh syukur.
"Tidak masalah, Kezia. Kita kan tim," jawab Arnold sambil tersenyum.
Saat jam makan siang hampir berakhir, kafetaria perlahan mulai sepi. Para siswa kembali ke kelas masing-masing, meninggalkan Farez, Arnold, dan Joseph yang masih duduk di meja mereka.
"Aku rasa kita harus siap-siap untuk pelajaran berikutnya," ucap Joseph sambil merapikan barang-barangnya.
"Benar, mari kita berangkat," tambah Farez.
Arnold mengangguk setuju. "Yuk, kita lanjutkan hari ini dengan semangat."
Sementara dua teman Kezia lainnya yaitu Lea dan thalia menatap sinis ke arah gadis itu.
“Kezia! Kamu kok nggak ngajak-ngajak kami, sih! Jika kamu mau bertemu dengan primadona sekolah kita?” kesal Thalita.
“Iya! Parah banget Lo, Kezia! Gak setia kawan!” kesal Lena.
“Idih! Gue ada perlu dengan Arnold ini terkait urusan OSIS. Kalian ini reseh banget! Ayo kita urusin anak-anak baru dulu!” sergah Kezia.