Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7. Maafkan aku, ayah.

Setelah sarapan, Amel mengajak Kirana meninggalkan hotel. Berjalan kaki menghirup udara segar kota kembang. Rumah ayahnya tak seberapa jauh dari hotel tempat Amel menginap. Menyusuri jalanan setapak melewati beberapa rumah warga.

Hatinya diliputi keresahan. Empat tahun menikah, tak sekalipun dia bertemu ayahnya. Bagaimana keadaan ayahnya sekarang. Apakah ayahnya dalam keadaan sehat? Apakah ayahnya akan menerimanya dan juga menerima Kirana? Rasa bersalah itu menjadikan Amel tidak memiliki keberanian untuk bertemu ayahnya.

Selama empat tahun itu juga, ayahnya pun berusaha mengunjunginya beberapa kali, tetapi tidak pernah bertemu satu sama lain. Namun akhirnya,sang ayah memilih untuk berhenti mencoba menemui Amel.

Langkah kaki mereka berhenti di depan sebuah rumah berukuran luas dengan halaman yang tak kalah luasnya.

"Kenapa rumahku tampak tak terawat? Setahuku, ayah sangat menyukai kebersihan," gumam Amel. "Assalamualaikum," sapanya setengah berteriak karena jarak pintu rumah dengan ruangan lain di dalam lumayan jauh.

Baru saja hendak melangkah ke teras rumah setelah memberi salam, langkahnya terhenti karena sebuah baskom terbang keluar, mendarat di samping kakinya.

Jika Amel tidak bergerak cepat dan menarik Kirana tepat waktu, mungkin baskom itu akan mengenai si kecil.

Setelah itu seorang wanita keluar. Raut tak ramah terlukis di wajahnya.

Kirana terkejut, sontak memeluk Amel. Amel segera menggendong Kirana dan menatap wanita yang ada di depannya.

"Siapa kalian? Kenapa berada di rumahku?" Tanya wanita itu.

"Budhe Yanti?" Amel mengenali wanita itu.

Ketika wanita yang dipanggil Yanti mendengar wanita cantik di depannya memanggilnya dengan sebutan yang akrab, Yanti pun memperhatikan Amel.

"Aku Amy, budhe," Amel memperkenalkan diri.

Yanti langsung mengingatnya. Dia lalu menghentakkan kakinya dan menepuk kedua tangannya di pa-hanya. "Ya Allah, Amy. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali aku melihatmu. Kau semakin cantik sekarang, aku hampir tidak bisa mengenalimu dan kau pikir kau seorang selebritis entah dari mana."

Amel tersenyum malu.

Yanti melanjutkan, "Maaf barusan. Aku pikir anakku kembali, jadi itu sebabnya aku melempar baskom. Kalian tidak terluka, kan?"

"Tidak." Amel tidak peduli tentang itu dia mendongak dan menatap rumah di belakang Yanti. "Di mana ayahku? Apakah dia tidak lagi tinggal di sini? Atau-?"

Ketakutan yang luar biasa tiba-tiba menyerbu hati Amel dan bahkan suaranya bergetar.

"Ayahmu baik-baik saja," melihat wajah pucat Amel, l Yanti menduga bahwa Amel terlalu banyak berpikir, jadi dia buru-buru menjelaskan. "Ayahmu mengeluh tentang bagaimana rumah ini terlalu besar untuk satu orang. Jadi dia pindah ke rumah yang lebih kecil di ujung jalan. Keluarga kami sangat banyak, jadi aku membicarakannya dengan ayahmu dan dia setuju untuk menyewakan tempat ini kepada kami."

Yanti tersenyum dengan ekspresi bersalah terlintas di wajahnya.

Meskipun dia menyebutnya "sewa", dia tidak pernah membayar satu rupiah pun selama ini.

Pak Asep Rahman pun tidak pernah menyuruhnya untuk membayar atau menagih uang sewa, jadi dia berpura-pura itu tidak pernah terjadi.

Amel sedang tidak ingin memikirkan hal lain dan dia pun bertanya, "Bisakah budhe mengantarku menemui ayahku?"

Tentu saja Yanti berpikir karena dia tinggal di rumah mereka, setidaknya dia harus membantu mereka dengan permintaan kecil ini.

"Tentu saja bisa, Amy. Ayo budhe antar ke rumah ayahmu. Oh ya, si kecil cantik ini siapa? Putrimu?"

"Oh iya, sampai lupa memperkenalkan. Ini putriku, namanya Kirana. Ayo sayang, kasih salim sama nenek," Amel memperkenalkan putrinya. Kirana pun menyalami Yanti.

"Ayo kita pergi sekarang," ajak Yanti.

Ketiganya melangkah, berjalan menuju ujung gang. Amel segera menemukan sebuah toko kecil yang menghadap ke jalan. Toko itu kumuh dan lusuh.

"Ayahmu ada di dalam," Yanti menunjuk ke toko itu.

Amel melihat ke arah toko itu.

Tokoh itu tidak hanya usang, tapi juga sangat kecil. Beberapa barang ditumpuk di luar toko dan sebagian besar adalah mainan yang biasa dia mainkan selama masa kecilnya. Ada sepeda kecil, ada dakon atau congklak dan beberapa mainan lagi.

Melihat barang-barang yang memiliki begitu banyak kenangan itu, Amel tidak bisa menghentikan air mata yang mengalir di wajahnya.

Yanti hendak berteriak agar Pak Asep keluar, tapi Amel menghentikannya. "Aku akan masuk sendiri. Terima kasih sudah membantuku, budhe."

Sambil menggandeng tangan Kirana, Amel melangkah dengan hati-hati ke dalam. Dia berhasil melewati ruangan yang gelap dan akhirnya mencapai bagian dalam.

Interiornya tidak seberapa luas dari bagian depan toko dan dipenuhi dengan pola sepatu. Pola sepatu yang beragam dan indah. Ketika Kirana melihat sepatu warna-warni dalam gaya yang beragam, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuhnya.

Amel tidak melihat ayahnya di manapun, jadi dia hanya bisa melangkah lebih jauh lagi ke dalam untuk mencarinya. Sebuah halaman kecil terletak di belakang rumah di halaman itu. Ada seseorang yang memunggunginya dan sedang duduk di depan mesin sepatu antik. Punggung laki-laki tua itu membungkuk dan anggota tubuhnya bergerak untuk mengoperasikan mesin. Gerakannya lambat. Sedangkan rambutnya sudah berwarna dua, putih dan abu-abu. Amel menatapnya dalam diam.

"Ayah…" Amel tidak dapat menahan kesedihan di hatinya. Dia hanya bisa memanggilnya dengan suara pelan.

Laki-laki yang sedang sibuk itu pun berhenti dari kegiatannya. Kemudian perlahan berbalik. Saat laki-laki itu berbalik, Amel memperhatikan wajahnya yang sudah tua dan keriput.

Wajah laki-laki itu terlihat tenang meskipun bertahun-tahun waktunya dihabiskan untuk menekuni pekerjaan yang rumit. Kacamata besar berbingkai hitam menutupi wajahnya, menambahkan sedikit kesan seperti seorang yang kutu buku. Laki-laki itu perlahan melepaskan kacamatanya dan akhirnya mengenali orang yang ada di hadapannya. "A-my?"

"Iya ayah, ini aku, Amy," Amel hendak mengambil melangkah untuk menghampiri Asep dengan terisak. Dengan segala rasa yang berkecamuk di da-danya, Amel ingin memeluk ayahnya. Tapi Amel tidak bisa mengangkat langkah kakinya. Amel hanya bisa berdiri di tempatnya dengan berderai air mata.

Pak Asep buru-buru menghampiri Amel dan meraih tangannya. "Ini benar-benar kamu, nak? Kamu sudah kembali. Pantas saja burung murai bernyanyi begitu gembira pagi ini."

Amel mencium tangan yang sudah keriput itu dengan takzim. Kemudian memeluk ayahnya.

Pak Asep memperhatikan Amel dari ujung jilbab sampai ujung kaos kakinya sambil menyeka air mata di wajahnya. "Nak, kenapa kamu sangat kurus?"

"Ayah, maafkan Amy. Maafkan Amy." Isak Amel.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Amy. Semua sudah jalan hidup yang harus kita lalui. Ayo, duduk."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel