Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6. Sebagai kepala keluarga, kamu tak hanya gagal sebagai seorang ayah, tapi juga gagal sebagai suami.

Sandi melanjutkan perjalanannya. Bingung hendak ke mana. Akhirnya Sandi memutuskan untuk ke rumah Ihza, sahabatnya yang selalu membuatnya tenang.

Kakak perempuan Ihza yang baru melahirkan, kebetulan di hari itu mengadakan aqiqah.

Sandi duduk di sofa ketika melihat Rama Pamungkas, ipar Ihza, tengah menggendong bayinya dan memamerkannya kepada segenap keluarga. Bahkan saat bayinya merasa tak nyaman karena popoknya basah, dengan telaten Rama mengganti popok meski dengan sedikit gugup. Dan hal ini membuat Sandi teringat Kirana.

'Seingatku, aku tidak pernah mengganti popok Kirana ketika bayi. Hatiku dipenuhi amarah dan kebencian terhadap ibunya, karena sudah menjebakku. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk bekerja daripada memperhatikan putriku. Dan tidak sepeser rupiah pun aku berikan kepada Amel sejak kami menikah. Dapat uang dari mana dia untuk kesemuanya?' Sandi tercenung dengan pertanyaannya sendiri.

"Apakah aku sudah gagal menjadi seorang ayah?" Sandi bertanya kepada Ihza dengan suara pelan.

Ihza yang sedang meneguk kopinya, menghentikan kegiatannya, menatap Sandi. "Kau juga gagal sebagai seorang suami."

Sandi terkejut sejenak. Kemudian dia membalas dengan sedikit gusar, "Tapi aku tidak pernah meminta dia untuk menjadi istriku. Dia menjebakku. Aku benci cara hina yang dia lakukan."

"Terlepas tuduhanmu benar atau tidak, dan Amel juga menolak mentah-mentah tuduhanmu itu, tapi kamu tetap suami Amel dan ayah dari bayi yang dilahirkannya. Tapi aku yakin kamu akan membantu orang asing yang sedang dalam kesulitan, kan? Dulu, Amel kehabisan darah saat melahirkan Kirana. Belum lagi, Kirana menghadapi masalah dengan darahnya. Dokter memvonis Kirana mengalami komplikasi tepat ketika Kirana dilahirkan. Aku tahu semua karena saat itu aku sedang berada di rumah sakit, mengantar ibuku berobat. Aku melihat Amel memeluk putrinya, meski dirinya masih dalam keadaan lemah dan pucat wajahnya. Dia sedang memohon kepada dokter untuk mengambil darahnya dan menyelamatkan Kirana. Dokter menolak, namun Amel tetap bersikukuh."

"Apa? Hal seperti itu pernah terjadi… sebelumnya?" Sandi menatap Ihza tak percaya.

Ihza menghela nafas. "Ya. Karena Kirana menderita infeksi darah, dia membutuhkan transfusi darah secepatnya. Namun, pihak rumah sakit kehabisan stok darah untuk golongan AB positif. Pihak rumah sakit berusaha menghubungi PMI, namun sama saja hasilnya. Karena kita tahu sendiri, golongan darah ini memang sangat langka di Indonesia. Tidak banyak orang Indonesia yang memiliki golongan darah AB positif. Dan kondisi Kirana saat itu semakin kritis. Amel sangat gelisah melihat kondisi Kirana yang semakin memburuk. Kata dokter kemungkinan besar tidak bisa bertahan jika tidak ada pendonor darah yang muncul dalam beberapa menit ke depan."

Sandi membeku mendengar apa yang diceritakan oleh Ihza. Dia ingat Amel pernah menghubunginya berkali-kali saat itu, namun tak dihiraukannya. Rupanya saat itu Amel dan bayinya dalam keadaan tidak baik-baik saja dan hendak meminta bantuannya. Saat itu, Sandi berpikir kalau Amel hanya pembawa sial dan sumber masalah baginya.

Terngiang kembali pertanyaan Amel sebelum Sandi menuju kediaman Ihza. 'Apakah mas Sandi tahu kapan waktu aku melahirkan Kirana? Apakah Kirana lahir di pagi, siang, sore atau malam hari? Dan cuaca saat dia dilahirkan, apakah cerah atau mendung? Dan apa mas juga tahu tentang apa yang kami alami pasca melahirkan?'

Jantung dan hatinya tiba-tiba merasa sakit. Tanpa berpamitan, Sandi keluar dari kediaman Ihza. Tepat saat di pintu gerbang, Sandi berpapasan dengan Melisa yang datang bersama Teddy.

"Mas Sandi," panggil Melisa.

Namun yang dipanggil bahkan tak menoleh sedikitpun kepada Melisa dan Teddy.

"Kenapa dengan dia? Apa yang terjadi? Apa yang sudah kamu katakan kepadanya?" Cecar Teddy.

"Aku hanya menceritakan apa yang Amel alami ketika melahirkan," jawab Ihza santai.

"Kau!" Geram Teddy. "Kamu jelas-jelas tahu kalau Melisa kembali ke kota ini hanya untuk Sandi. Kenapa kamu malah memberitahu Sandi semua masa lalu yang dialami Amel?"

"Aku hanya tidak ingin Sandi salah dalam menilai mantan istrinya. Aku percaya Amel tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya selama ini. Jangan sampai Sandi melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya," Ihza menatap Melisa sejenak, kemudian melangkah keluar tanpa berkata apa-apa lagi.

Melisa menatap kursi kosong yang tadi diduduki oleh Sandi. Terlihat wajahnya menahan emosi.

Di sisi lain, Sandi yang tiba di kediaman keluarga Arifin, segera masuk ke kamarnya. Hening. Sepi. Hampa. Ketika Amel masih berstatus sebagai istrinya, Amel dengan setia akan menunggu Sandi pulang meski tidak tahu jam berapa Sandi akan pulang. Mengulurkan tangannya, hendak menyalami takzim suaminya, namun selalu ditepis oleh Sandi.

Diambilnya benda pipih yang ada di saku celananya. Kembali Sandi menghubungi nomor yang tadi sempat dihubungi olehnya.

"Assalamualaikum. Kenapa kamu tidak pernah bercerita kalau kamu mengalami pendarahan hebat dan Kirana mengalami infeksi darah dan membutuhkan darah saat dia dilahirkan?"

Hening sejenak. Lalu, 'Waalaikumussalam warahmatullah. Jujur, aku terkejut mas Sandi bertanya tentang hal ini dan seolah menyalahkan aku tak mengabari mas. Seingat aku, aku sudah berkali-kali mencoba menghubungi mas Sandi saat itu, namun selalu di reject. Mas tidak datang saat kami membutuhkan mas, jadi apa gunanya aku bercerita?'

"Kirimkan aku nomor rekening kamu. Anggap ini kompensasi untukmu," cicit Sandi.

'Maaf, mas. Kami tidak membutuhkan uangmu. Terima kasih. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri atas apa yang terjadi di masa lalu. Karena bagaimanapun juga, aku sudah menghabiskan waktumu yang berharga. Anggap saja itu adalah kompensasi untukmu. Mulai sekarang, kita tidak memiliki hutang apapun, tidak ada ikatan apapun satu sama lain. Lakukan apa yang mas mau lakukan, akupun akan melakukan apa yang harus kulakukan. Assalamualaikum,' di seberang, Amel menutup selulernya.

Sejenak Sandi tertegun atas jawaban Amelia.

"Sombong. Lihatlah, suatu saat kamu pasti akan datang untuk memohon agar bersatu kembali. Jangan terlalu berharap," desis Sandi.

****

Amel yang sudah beberapa saat istirahat di sebuah hotel, berdiri di sisi jendela, memandang luar suasana hotel. Rencananya besok pagi akan menemui ayahnya.

Tangannya masih menggenggam seluler. Senyum miris bercampur sedih, terukir di bibirnya.

'Sungguh dermawan dia, ingin mengirimkan uang sebagai kompensasi di masa lalu. Terkadang aku membayangkan seperti apa reaksinya setelah mengetahui hal tersebut. Kupikir dia akan meminta maaf kepadaku dan Kirana. Ternyata tidak. Malah uang yang mau dibuat bicara untuk menyembunyikan fakta masa lalu. Ckckckckck.'

Kemudian Amel pun berangkat tidur, menggeletakkan tubuh letihnya di samping Kirana yang tertidur pulas.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel