Bab 5. Sebagai seorang suami kala itu, apa mas tahu kapan aku melahirkan?
"Ihza, tolonglah, kenapa kamu selalu menganggap semua wanita adalah Amel?" Dengkus Teddy. Meski tidak menunjukkan secara langsung, namun dari sikapnya selama ini, terlihat sekali kalau Teddy sangat tidak menyukai Amelia.
Ihza memilih diam. Melanjutkan menonton acara siaran langsung Suara Langit FM yang dipandu oleh Kiswatun Aswad, melalui tabletnya.
*****
Akhirnya siaran langsung yang berdurasi selama satu jam itupun berakhir. Banyak penonton yang mengirimkan hadiah kepada Amel selama siaran. Hal ini tentunya menjadikan pemasukan untuk Suara Langit FM semakin meningkat.
Safitri tahu, daya tarik seorang Kiswatun Aswad adalah magnet bagi radio ini. Segalanya menurun meski tidak secara drastis, ketika Amel tiba-tiba memutuskan untuk berhenti siaran dan tidak berpamitan kepada fansnya. Banyak spekulasi terjadi kala itu. Namun yang fansnya tidak ketahui adalah markas Suara Langit FM tersebut adalah milik Amelia Rahman. Dan kini sang bintang radio sudah kembali.
"Alhamdulillah siaran kita sukses, sayang. Terima kasih sudah membantu bunda," Amelia tersenyum bahagia, lalu mencium pipi putrinya setelah sebelumnya mereka membuka penutup wajah yang mereka pakai.
"Bunda, ini pertama kalinya Rana melihat bunda tersenyum bahagia. Bunda terlihat sangat cantik," puji Kirana.
Amelia tertegun sejenak mendengar ucapan putrinya. 'Ya. Setelah empat tahun menikah, aku hampir lupa bagaimana caranya tersenyum dengan tulus dan ikhlas.'
"Rana juga Masha Allah luar biasa, sayang. Bunda tidak pernah tahu kalau Rana bisa bernyanyi dengan bagus seperti itu," puji Amel.
"Rana suka menyanyi, bunda. Tapi Rana hanya bisa melakukannya diam-diam karena takut nenek dan Tante Yunita terganggu dan mereka akan memarahi bunda. Jadi-," raut wajah Kirana langsung berubah sedih.
Air mata menggenang di kelopak mata Amelia dan Safitri serta beberapa karyawan yang tak sengaja mendengar percakapan mereka.
Amelia mengingat beberapa momen ketika mereka masih berada di kediaman Sandi. Sering dilihatnya Kirana ketika berusia satu setengah tahun sampai sebelum akhirnya Amelia memasukkannya ke pesantren, berdiri di depan cermin, mulutnya kecilnya bergerak seperti orang sedang menyanyi namun tidak mengeluarkan suaranya. 'Jadi itu sebabnya putriku kadang bertingkah aneh seperti itu?'
Benak Amelia diliputi rasa bersalah kepada putrinya. Kembali dia memeluk Kirana dengan erat. "Rana jangan khawatir lagi ya, sayang. Sekarang Rana sudah bebas untuk melakukan apapun yang Rana suka. Kita sudah tidak tinggal di rumah nenek. Ayah dan bunda sudah bercerai. Kita tidak akan kembali ke rumah neraka itu lagi. A-apa Rana bersedia untuk ikut bunda dan tidak berkumpul bersama mereka lagi?"
Wajah kecil itu tertegun sejenak. Pikirannya mencerna kalimat yang dilontarkan oleh Amelia. Seketika kegembiraan tergambar di wajahnya. "Horeeee alhamdulillah Yaa Allah. Do'a Rana Allah kabulkan," kedua tangan mungilnya menengadah ke langit.
"Kirana, kamu juga tidak mau… tinggal di sana?" Amelia bertanya, terkejut dengan respon putri kecilnya.
"Rana tidak suka tinggal di sana, bunda. Nenek dan Tante Yunita tidak menyukai kita. Rana tidak mau melihat bunda menangis lagi," tangan mungil Kirana mengusap air mata yang menganak sungai di pipi Amelia.
"Fitri, tolong bilangkan kepada mereka untuk merahasiakan siapa Kiswatun Aswad juga Kiswatun Aswad kecil. Aku tidak mau kami terekspos media. Sekarang belum waktunya untuk menunjukkan siapa diri," pinta Amel.
"Tentu saja, Mel. Aku akan mengumpulkan mereka sekarang." Safitri segera memanggil para karyawan untuk berkumpul di ruang rapat. Kemudian Safitri menjelaskan dan meminta mereka untuk merahasiakan tentang Kiswatun Aswad dan putrinya.
Safitri tak sengaja membuka ponselnya. Sebuah postingan di halaman aplikasi biru Melisa, membuat indera penglihatannya menghentikan aksi menscroll berada akunnya.
Ada sebuah foto terlampir. Di dalam foto itu, wajah Melisa berbinar saat jarinya terjalin dengan jari orang lain. Dia menunjukkan postingan tersebut kepada Amelia. Meski wajah orang lain di postingan Melisa itu tidak terlihat, namun Amelia tahu itu adalah tangan Sandi. Dia hafal sebuah tanda hitam di jari telunjuk Sandi. Caption di postingan tersebut juga menggelitik, "Sebentar lagi adalah hari Valentine. Hari yang pas untuk meresmikan hubungan."
Amelia tersenyum melihat postingan Melisa. "Mereka hanya masa lalu buatku. Aku tidak perduli lagi dengan apa yang akan mereka lakukan. Itu sudah bukan urusanku lagi "
Amelia segera mengemasi tas tangannya, bersiap pulang untuk mengambil beberapa pakaiannya dan milik Kirana. Mereka hendak menuju Bandung, di mana ayahnya tinggal. Ayah Amel adalah pengusaha sepatu kelas ecek-ecek. Itulah salah satu yang menjadi sebab keluarga Sandi tak menyetujui pernikahan Sandi dan Amel, kecuali kakek Arifin.
"Mereka hanya ingin menunjukkan kalau cinta mereka bisa bersatu tanpa ada penghalang, yakni aku dan kakek Arifin. Kamu tahu sendiri kan, bagaimana kakek sangat tidak menyukai Melisa," imbuh Amelia.
"Mel, putusan cerai baru hari ini lho hakim ketok palu. Apakah etis? Sandi terlalu buta, menurutku. Dia membuang berlian demi beling kaca. Suatu saat aku yakin dia akan menyesal," Safitri menyerocos kesal.
"Sudah ah, gak usah bahas mereka. Tolong antar aku pulang. Aku belum mengambil pakaian milikku dan milik Kirana. Aku mau menyetir sendiri menuju Bandung." Kemudian Amelia menggendong putrinya. Ada yang sakit di dalam dirinya. Namun Amelia berusaha menekannya.
"Rana bisa berjalan sendiri, bunda," protes Kirana.
"Hahaha maaf, sayang. Bunda lupa kalau kamu sudah bukan baby lagi. Biarkan bunda menggendongmu, ya," bujuk Amel.
"Kak Fahira saja yang gendong Kirana, ya. Duh mbak Amel, putrinya gemesin banget sih," seru karyawati bernama Fahira.
"Tuh, mau nggak digendong kak Fahira?" Tanya Amel.
Si kecil meronta ingin turun. "Mau."
"Hahahaha ayo, sini kak Fahira gendong Kirana sampai mobil ya?!" Fahira membungkukkan badannya, meraih Kirana lalu menggendongnya. Keduanya bercanda layaknya sudah lama kenal.
Fahira melangkah mengikuti Amel dan Safitri menuju parkiran.
"Makasih ya, Fahira. Maaf, ngerepotin."
"Kapan datang lagi, mbak, membawa Kirana?"
"Belum tahu kapan pastinya. Aku mau mengunjungi ayahku setelah ini. Mungkin agak lama di sana. Sekalian aku siaran dari sana pas jadwalku. Sudah dulu ya, Fahira. Keburu sore. Takutnya kemalaman tiba di Bandung. Assalamualaikum," Amelia segera berpamitan.
"Waalaikumussalam. Hati-hati di perjalanan, mbak. Fii amanillah," sahut Fahira.
Safitri lalu membawa kedua ibu dan anak tersebut membelah ibukota, menuju kediaman Amelia.
*****
Di kediaman keluarga Arifin. Sandi merasa suasana di rumahnya sedikit asing. Amelia yang biasa menyambutnya sepulang dari kantor, mencium takzim tangannya namun sering ditepisnya, kini terasa hambar. Ada yang hilang.
"Ah, tidak! Wanita itu munafik! Penipu! Dia yang sudah menjebakku. Kenapa aku harus mengingatnya lagi, huh!" Sandi mendengkus.
Sandi bergegas keluar rumah. Dikemudikannya roda empat kesayangannya, menuju luar Jakarta. Kawasan Mega Mendung.
"Mohon maaf, bapak. Adik Kirana sudah dijemput bundanya tadi siang. Dan sudah bukan anggota pesantren lagi terhitung sejak hari ini," seorang santri memberi tahu Sandi.
Sandi mengernyit. "Baiklah. Terima kasih. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam warahmatullahi," sahut sang santri.
Sandi segera pergi dengan menyimpan kesal. 'Kemana wanita itu membawa putriku?! Jangan sampai putriku jadi gelandangan dan terlantar.'
Sandi menghentikan laju mobilnya dan kemudian menepi. Dirogohnya saku kemejanya, mengambil benda pipih yang ada di dalam kantong bajunya. Mencari sebuah nama.
Amelia yang sedang mengemudi dan hampir tiba di kawasan Bandung, menepikan kendaraannya ketika ada nada panggilan masuk. ' Mas Sandi?'
"Assalamualaikum. Iya, ada apa?" Sapa Amelia.
"Tak perlu basa-basi. Kemana kamu membawa putriku? Kembalikan atau aku laporkan kamu kepada yang berwajib," ancam Sandi.
Amelia hanya tersenyum mengejek.
"Mas mau laporkan aku karena membawa Kirana? Apa mas lupa kalau hak perwalian Kirana ada padaku? Apa mas lupa kalau nasab Kirana adalah ibunya? Mas kini mengaku Kirana putri mas, setelah dia berusia tiga tahun dan setelah kita bercerai. Aku ingin tanya deh. Apakah mas Sandi tahu waktu aku melahirkan Kirana? Apakah Kirana lahir di pagi, siang, sore atau malam hari? Dan cuaca saat dia dilahirkan apakah cerah atau mendung? Dan kau apa juga tahu tentang apa yang kami alami pasca melahirkan?"
Sunyi. Lima menit Amelia menunggu jawaban dari Sandi. Karena tak ada jawaban, Amelia menutup selulernya. Menoleh pada Kirana yang tertidur di bangku belakang, kemudian melanjutkan perjalanan mereka yang terhenti sejenak.