Bab 4. Suara ini seperti suara mantan istrimu.
Bertiga menjemput Kirana di pesantren yang berada di kawasan Mega Mendung. Setelah prosedur untuk masuk kawasan pesantren dilaksanakan, mereka diizinkan masuk ke kawasan pesantren.
Tak lama kemudian Kirana datang menemui mereka. Gadis kecil itu menyalami takzim bundanya juga dua orang yang sudah sangat dikenalnya.
"Assalamualaikum, kesayangan bunda. Gimana kabarnya? Sehat?" Sapa Amel.
"Wa'alaikumussalam, bunda, ibu Safitri dan ayah Thariq. Alhamdulillah, Kirana sehat, bunda." Gadis kecil itu kemudian duduk di pangkuan Amel.
"Sayang, bunda datang ke sini mau meminta pertimbangan Kirana," berhati-hati Amel memulai pembicaraan.
Si kecil yang ada di pangkuannya menengadahkan wajahnya menatap bundanya. Seakan menunggu kelanjutan pembicaraan Amel.
"Kirana ingin tetap di pesantren atau pulang ke rumah? Bunda sekarang sudah tidak tinggal di rumah nenek."
Mata kecil yang berada di pangkuannya berbinar. "Benarkah, bunda?"
Amelia mengangguk.
"Rana ingin tinggal di pesantren sebenarnya. Tapi-," Kirana menggantung kalimatnya takut-takut.
"Tapi kenapa, sayang?" Tanya Safitri.
"Rana ingin juga bersama bunda, ibu Fit. Nanti Rana kembali lagi ke pesantren sini, gak mau pesantren lain," tutur si kecil.
"Sarankan, baiknya Rana diasuh kamu dulu, Mel. Setelah lulus TK nanti, bisa masukkan pesantren. Lagipula, kamu seorang hafidzah. Aku yakin kamu bisa mendidik Rana dengan baik untuk menjadi penghafal Al Qur'an. Jadi, sebelum Rana masuk pesantren, kamu siapkan Rana terlebih dahulu. Sedangkan pesantren adalah tempat untuk menambah ilmu dan pengetahuan dia, baik ilmu dunia maupun ilmu untuk akhirat," Thariq berkata dengan bijak.
"Berarti menunggu dua atau tiga tahun lagi, baru Rana masuk pesantren lagi, bang?" Tanya Safitri.
"Betul. Karena aku rasa, dia dalam masa butuh-butuhnya kasih sayang orang tuanya."
"Aku setuju dengan saran bang Thariq. Biarkan Rana menikmati dulu masa kanak-kanaknya."
Kirana menatap bundanya.
"Baiklah. Aku rasa saran kalian ada benarnya. Bagaimana, Rana? Rana pulang ke rumah bunda, setelah umur Rana mau tujuh tahun, baru nyantri lagi, sayang."
"Beneran, bunda? Tapi bunda beneran tidak kembali ke rumah nenek?"
"Sepertinya kamu sangat ketakutan kembali ke rumah ayahmu, nak. Kenapa?" Tanya Safitri.
"Rana dimarahi nenek kalau belajar ngaji. Rana suka dijewer oleh nenek atau Tante. Dibilang berisik," tutur si kecil sedih.
Tiga orang dewasa yang berada di dekat Kirana kaget. Mereka tak pernah mengetahui hal tersebut karena Kirana tak pernah menceritakan apapun, terutama kepada Amelia.
"Astaghfirullahaladzim," seru Amelia. "Kenapa Rana gak pernah cerita sama bunda?"
"Rana takut, bunda. Nenek suka ancam Rana, tidak boleh kasih tahu bunda," adu si kecil.
Amelia memeluk erat tubuh mungil putrinya. Ada sedih merasuk di hatinya. "Maafkan bunda, nak."
"Kita temui pemilik pesantren untuk meminta ijin Kirana keluar sementara dari sini, Mel," ajak Safitri.
"Ya sudah kalau begitu. Tapi janji ya, sayang. Setelah lulus TK nanti, Rana kembali lagi ke pesantren."
Kirana mengangguk, mengiyakan.
Ketiganya segera menemui pemilik pesantren untuk mengurus prosedur Kirana keluar dari pesantren. Bu Nyai tampak sangat berat hati karena mengingat Kirana termasuk salah satu santriwati terbaik meski baru berusia tiga tahun dan merupakan santriwati paling kecil.
"Tolong antarkan aku ke rumah untuk mengambil pakaianku, Fitri. Sekalian aku mau bawa kendaraan sendiri ke rumah ayahku."
"Biar kami mengantar kalian, Mel," bujuk Thariq.
"Tak perlu, bang. Abang nanti malam juga ada jadwal nge-MC. Besok-besok kalian bisa datang menemui kami di rumah ayahku."
"Ya sudah kalau begitu." Safitri mengarahkan mobilnya ke arah kediaman Amelia. "Tapi menurutku, baiknya kamu jenguk terlebih dahulu keadaan kantormu, Mel. Atau bisa melakukan siaran hari ini untuk menyapa penggemarmu, sebelum pergi ke rumah bapak. Kirana bisa kamu ajak sekalian ajari dia melakukan siaran langsung."
"Ide bagus tuh," sambut Thariq.
"Begitukah? Tapi pakaian serta penutup wajahku masih ada, kan?"
" Tenang saja kalau soal itu, Mel. Semua barang pribadimu kami simpan dengan baik. Kita putar arah nih," Safitri memutar arah menuju markas Suara Langit FM.
"Baiklah, kita akan lakukan siaran langsung untuk acara hari ini. Ohya, aku minta saluran untuk bisa live nantinya di kediaman bapak. Bukannya apa, pemandangan di sana keren-keren. Bisa kita promosikan kepada pemirsa sekalian," cetus Amel.
"Ide bagus tuh. Sekalian kamu promosikan sepatu bikinan bapak, Mel," Thariq menambahkan ide.
"Jangan lah. Kalau nanti banyak yang pesan, kasihan ayahku akan kelelahan. Sudah bukan waktunya bagi beliau untuk bekerja, namun sudah waktuku untuk membuat beliau bahagia."
"Alhamdulillah, kita sudah sampai. Ada beberapa karyawan kita, Mel. Apakah aku akan perkenalkan mereka kepadamu sesuai statusmu, pemilik radio ini?"
"Tak perlu lah, Fitri. Cukup sebagai pembawa acara senior. Yuk, turun." Amel segera turun setelah Safitri membuka pintu mobil. Dengan menggandeng Kirana, keempatnya memasuki gedung yang terdiri dari empat lantai tersebut.
***
"Semua orang pasti akan senang mengetahui kau sudah kembali. Ini baju khasmu serta penutup wajahnya. Pakailah!" Safitri menyerahkan sebuah kotak besi. Kemudian menyerahkannya kepada Amel.
Tanpa banyak kata, Amel segera membawa kotak tersebut ke kamar mandi. Tak lama kemudian ia keluar dengan berganti kostum.
"Baju sama penutup wajah yang menarik, ibu Fitri. Rana juga mau, ibu."
"Sebentar ya, sayang. Sepertinya di sini ada yang ukurannya lebih kecil. Ibu ambilkan dulu buatmu ya."
Setelah mendapat kostum yang sama seperti milik ibunya, Kirana mengikuti langkah bundanya ke ruang siaran.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuhu pemirsa semua. Kembali lagi bersama saya, Kiswatun Aswad, datang menyapa anda semua setelah empat tahun lamanya tidak menyapa kalian. Bagaimana kabar kalian semua baik yang berada di rumah ataupun di mana saja? Semoga Allah melindungi kalian dalam berakativitas. Aamiin. Baiklah, untuk siaran kali ini, saya ditemani putri saya, Kiswatun Aswad kecil…." Ameli melakukan live di media manapun, sontak kehadirannya membuat Suara Langit FM bertambah penggemar dan subscribers. Media yang awalnya hanya biasa ditonton puluhan ribu orang, kini melonjak menjadi jutaan.
Beragam komentar dari netizen terbaca di kolom komentar pada semua platform.
"Masha Allah, aku gak salah lihat, kan? Ini beneran mbak Kiswatun Aswad? Kiswatun Aswad sudah kembali siaran?"
"Apa mungkin ada orang lain yang menyamar dan menipu kita karena dia tahu kita merindukan penyiar favorit kita?"
"Mungkin saja. Kak Kiswatun Aswad itu penyiar yang memiliki sertifikasi penyiaran lho. Lulusan salah satu universitas ternama di dunia lho. Penggemarnya juga jutaan. Tak mungkin kalau ini adalah beliau."
"Kamu benar. Gak seru ah kalau ini bukan yang asli."
Suasana di ruang siaran berubah menjadi riuh. Beragam komentar diam-diam dibaca oleh Amel. Dari balik penutup wajah, dia tersenyum. Untuk mengembalikan kepercayaan fansnya, Amelia menyanyikan beberapa lagu religi yang dulu sering dibawakannya di sela-sela siaran. Debut profesi yang dimulai Amelia saat masih baru kuliah. Popularitasnya melejit sebagai penyiar radio. Dan ketika menikah dengan Sandi, ia merahasiakan semuanya.
Melihat beragam komentar yang tiba-tiba melonjak jumlahnya, membuat Amel semakin bersemangat untuk siaran.
Kirana yang semula agak malu-malu, begitu melihat bundanya yang bersemangat melakukan siaran, akhirnya ikut bergabung. Menyanyikan lagu religi yang dihafalnya.
***
Di sisi lain, Sandi yang tengah berkumpul dengan teman-temannya. Membahas rencana untuk mengajak perusahaan kelas wahid dalam kerja sama dengan proyek mereka. Target mereka adalah untuk bisa menembus pasar Eropa dan Amerika.
" Tidak mungkin! Kiswatun Aswad kembali siaran?" Ihza tiba-tiba berteriak. Kemudian ia mendorong tabletnya ke depan Sandi dengan bersemangat. "Sandi, sepertinya ada harapan untuk rencana kita mengajak Ghiffari group guna memasuki pasaran internasional."
"Kamu tindak lanjuti masalah ini terlebih dahulu," jawab Sandi.
"Oke," sahut Ihza singkat. "Tidakkah Kiswatun Aswad ini mirip dengan mantan istrimu, San?"