Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Hal licik apalagi yang direncanakannya?

Tiga bulan sudah berlalu. Meski hakim memberikan mereka waktu untuk islah selama satu bulan sebelum jatuh putusan, namun tak mengubah niat Amelia untuk lepas dari suaminya. Palu diketok setelah membaca putusan. Artinya, perceraian mereka sudah sah. Namun untuk Amelia, ia harus menunggu masa iddah lewat. Nafas lega dan senyum bahagia terukir di bibir Amelia. Tak ada penyesalan di raut wajahnya.

'Alhamdulillah, Yaa Rabb. Hamba tahu perceraian adalah hal yang paling Engkau benci dan itu cara syaitan menghasut manusia. Maafkan hamba yang telah memilih jalan ini. Namun aku tak mungkin bertahan selamanya tanpa nafkah lahir dan batin sama sekali selama pernikahan,' syukur Amel.

Ada raut kesal di wajah Sandi, ketika melihat Amelia tersenyum bahagia. Senyum yang tak pernah dilihatnya selama mereka menikah.

"Mbak Amel kalau mau pulang, silakan duluan. Biar akta cerainya nanti saya ke tempat anda," tutur pak Bagas sopan.

"Apakah membutuhkan waktu yang lama, pak?" Tanya Safitri.

"Tidak juga, mbak Fitri. Mungkin satu jam lah."

"Kita tunggu di kantin pengadilan saja yuk, pak Bagas," ajak Amel. "Sekalian ada yang ingin saya konsultasikan."

"Baik, mbak Amel. Mari."

Ketiganya berjalan menuju kantin pengadilan agama. Memilih tempat duduk paling pojok, sambil menghadap jendela setelah masing-masing memesan makanan dan minuman yang mereka inginkan.

Sambil menunggu pesanan diantar pramusaji, ketiganya berbincang.

"Wah wah wah, ternyata ada di sini juga. Jangan bilang kamu masih mengikuti Sandi, Amel," sebuah suara menghentikan obrolan ketiganya.

Amelia menoleh. Ternyata Sandi, Melisa dan asistennya. Dan suara tersebut adalah suara asisten Melisa, Risa Fauzi.

Amel mengernyitkan kening. "Aku? Mengikuti mas Sandi? Hahaha lelucon apa yang kalian lontarkan terhadapku?"

"Risa, jaga ucapanmu! Aku yakin Amel tidak sedang mengikuti Sandi," sergah Melisa kepada asistennya. "Bukankah begitu, Amel?"

Amelia hanya tersenyum santai. "Tak perlu berakting di depanku. Mari pak Bagas dan Fitri, kita lanjutkan pembicaraan tadi."

"Amel, kalau kamu butuh pekerjaan untuk masa depanmu dan anakmu, silakan hubungi aku atau asistenku," tawar Melisa dengan kepura-puraan.

"Amel tak butuh belas kasih dari kalian yang penuh kepura-puraan. Gajiku sangat cukup untuk membiayai Amel dan Kirana, bahkan untuk membeli studio musik milikmu," damprat Safitri. "Dan untuk anda, saudara Sandi Arifin! Semoga anda suatu saat tidak menyesal atas apa yang sudah anda lakukan selama menikah dengan Amel. Sepandai apapun bangkai busuk disimpan, suatu saat akan tercium juga," imbuhnya sambil melirik Melisa.

Mulut Sandi mengerucut. Lalu, "Ayo, pergi."

Tiga orang di depan mereka terdiam, kemudian pergi dengan kesal.

"Assalamualaikum, maaf aku terlambat. Gimana? Hasil sidangnya sesuai dengan harapan, Mel?" Thoriq Hisyam menyapa Amelia dan yang lainnya.

Suara lantangnya membuat Sandi dan dua orang yang bersamanya menoleh.

"Bukankah itu Thoriq Hisyam? Seorang presenter yang sedang naik daun dan akhir-akhir ini sering diundang di beberapa stasiun televisi? Kenapa dia bisa kenal dengan mantan istrimu sih, sayang?" Ada raut ketidak sukaan di wajah Melisa.

Thoriq Hisyam adalah kakak dari Safitri Hisyam. Seorang presenter yang sedang naik daun. Awal karirnya sebagai presenter di stasiun radio Suara Langit FM, di mana stasiun radio ini berdedikasi dalam penyiaran dakwah Islam.

Sandi memandang empat orang yang berada tak jauh darinya dengan tatapan tidak senang. "Selama ini aku tidak pernah tahu semua urusannya," jawab acuh Sandi. Kemudian segera keluar dari kantin pengadilan agama.

"Setahuku dia awalnya presenter di radio Suara Langit. Bukankah Safitri juga bekerja di sana? Atau mereka pemilik stasiun radio besar tersebut?" Melisa masih tak berhenti berceloteh.

"Bisakah kamu diam? Aku pusing mendengar ocehanmu," dengkus Sandi.

Melisa langsung diam seribu bahasa, mengekor di belakang Sandi.

*****

Sementara itu, di dalam kantin, obrolan hangat dari empat orang tampak menguasai suasana. Ditambah pesanan mereka sudah diantar oleh pramusaji.

"Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma barik lana fima razaqtana waqina adzabannar," pak Bagas memimpin doa sebelum makan.

"Untuk hari ini, aku yang traktir," ujar Thariq.

"Biar Mel saja, bang. Anggap saja ini merayakan hari kebebasan Mel," celoteh Amel.

"Biar Abang saja, Mel. Kapanlagi Abang punya kesempatan untuk mentraktir kamu kalau tidak sekarang? Soalnya nih orang susah banget untuk ditraktir, pak Bagas. Biasa kaum hawa kan suka banget kalau ditraktir, dia beda, pak Bagas," keluh Thariq, yang mendapat tanggapan tertawa dari pak Bagas dan Safitri.

"Mbak Amel, gak baik lho menolak rejeki. Menolak rejeki katanya itu sama saja menolak jodoh," pak Bagas berkata dengan lugas.

"Mmm bukan begitu, pak. Mel hanya sungkan kalau ditraktir oleh siapapun, meski oleh Safitri sekalipun," ungkap lugu Amelia.

"What?! Hei, nona! Aku ini sahabatmu lho. Kita sudah seperti saudara. Apa-apaan pakai sungkan-sungkan segala?" Cecar Safitri tidak suka.

"Sudah sudah, jangan berdebat hehe. Ohya, saya akan ke ruang administrasi sekarang untuk mengambil surat akta cerai mbak Amelia. Teman saya mengirim pesan, memberitahukan kalau akta surat cerainya sudah ready," pak Bagas lalu bangkit dari duduknya.

"Silakan, pak Bagas. Terima kasih sudah membantu sampai hal terkecilnya," sahut Amel.

Pak Bagas keluar dari kantin, tiga orang yang tersisa di dalam kantin melanjutkan obrolan.

"Kamu sudah bisa bernafas lega sekarang, Mel. Sudah tak ada yang akan membuat pikiranmu terbebani. Mulai sekarang fokus lah untuk mengurus Kirana," ucap Thariq.

"Iya, bang. Itu sudah pasti," jawab Amel.

"Setelah ini kita mau langsung pulang atau gimana, Mel?" Tanya Safitri.

Amelia mendesah sejenak. Tampak berpikir. Lalu, "Aku mau menjemput Kirana, Fit. Insha Allah akan aku didik sendiri karena itu sudah kewajibanku. Tapi, mungkin kami tidak kembali terlebih dahulu ke rumah. Aku ingin mengunjungi ayahku. Sudah lama sekali tidak bertemu beliau semenjak aku menikah. Aku sangat merindukan beliau." Ada raut menyesal di wajah cantik Amelia.

"Aku temani, Mel," tawar Safitri.

"Aku juga ikut," Thoriq mengusulkan dirinya.

"Abang nggak sibuk? Gak ada jadwal nge-MC?" Tanya Safitri.

"Ada. Tapi malam. Di stasiun televisi Panorama. Diminta jadi presenter acara pencarian bakat penyaringan da'i yang baru akan dimulai hari ini."

"Alhamdulillah bang Thoriq banyak job."

Sebuah lembar kertas disodorkan kepada Amel oleh pak Bagas yang sudah entah kapan duduk di kursinya kembali. Tampaknya urusannya sudah selesai dalam pengambilan akta cerai milik Amel.

"Ini akta cerainya, mbak Amel. Disimpan baik-baik agar tidak hilang."

" Terima kasih banyak, pak Bagas." Amelia menyimpan akta cerai yang sudah di tangannya dengan senyum lega.

"Urusan di pengadilan agama sudah selesai, kan? Ayo kita pergi. Pak Bagas mungkin juga masih banyak pekerjaan atau ditunggu klien beliau," ajak Thariq.

"Baiklah kalau begitu. Saya pun pamit undur diri karena satu jam lagi ada janji ketemu klien di kawasan Slipi.Kalau memerlukan bantuan, hubungi saja langsung ke nomor saya, mbak Amel. Karena saya yakin, setelah ini akan banyak masalah yang akan diperbuat orang lain terhadap anda. Bukan bersu'udzon, tapi melihat gelagat tadi ketika mereka datang mengganggu, saya yakin mereka akan mengulanginya lagi di lain kesempatan. Assalamualaikum," pamit pak Bagas yang keluar terlebih dahulu dari kantin.

"Sekali lagi terima kasih atas bantuannya, pak Bagas. Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," balas Amel.

Ketiganya juga keluar dari kantin setelah membayar makanan.

"Tampaknya terburu-buru sekali kamu ingin bercerai dariku, mantan istri. Rupanya sudah akan ada penggantiku. Tapi aku yakin, suatu saat kamu akan mengiba padaku. Wanita desa sepertimu yang tak memiliki pendidikan tinggi, wajah pun standard, bukan dari kalangan keluarga terhormat, bukan keturunan orang berada serta punya otak yang licik untuk menguasai harta orang, siapapun akan menjauh dari wanita seperti itu. Untungnya aku sudah waspada sejak awal. Kakekku saja yang tertipu oleh wanita sok polos ditambah berbungkus jilbab yang hanya dijadikan kedok untuk menutupi kebusukannya," sebuah ucapan sinis nan pedas terdengar dari arah belakang mereka.

Sandi Arifin. 'Ngapain dia masih berada di sini?!' Amelia bertanya dalam hati.

"Sudah cukup?" Tanya Amel santai. "Kalau belum, silakan dilanjut. Antara saya dan kamu sudah tidak ada hubungan apa-apa. Kita sekarang adalah orang lain. Jangan saling mengusik."

Amel segera berlalu. Thariq dan Safitri mengikuti langkah Amel setelah sebelumnya mereka menatap tajam ke arah Sandi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel