PART 09
Yasmin mengangkat wajahnya. Entah mengapa ia sama sekali tak lagi merasa takut kepada laki-laki yang disebutnya paman itu. Dan dengan tegas pula ia berkata, “Maaf, paman! Sekali saya bilang tidak, maka selamanya tidak! Saya tidak ingin menikah laki-laki itu. Dan paman tidak boleh memaksa saya seperti itu, karena paman bukan papa saya!”
“Apa? Papa? Sejak kapan kaumemiliki papa!”
Farid Rukmana langsung menggebrak meja di depannya sehingga isinya terhempas ke mana-mana. Yasmin sering melihat pamannya marah dan sangat egois, namun kemarahannya kali ini benar-benar lebih dari yang pernah ia lihat. Wajah itu sampai memerah, sehingga membuat nyalinya ciut seketika. Ia menjadi sangat ketakutan.
“Ingat, Yasmin! Jangan kausebut-sebut papa lagi di hadapan paman!” geram Farid Rukmana lagi. “Laki-laki bajingan itu telah mempermalukan adik perempuanku! Mendiang Mamamu! Dia memecat mamamu begitu saja setelah ia tahu mamamu hamil. Sejak saat itu, paman yang menjamin hidup mamamu dan kamu, hingga kamu sebesar dan secantik ini! Jika paman ingin mencelakakanmu, tentu sejak bayi kausudah paman pendam hidup-hidup!”
Yasmin kaget. Namun ia berani berkata apa-apa. Hanya bulir-bulir bening yang terus berjatuhan dari kedua sudut matanya, jatuh satu demi satu. Ia menggeleng-geleng. Ia menolak semua pernyataan pamannya itu.
Setahunya, sejak dulu dia dan mendiang mamanya tak pernah disantuni oleh laki-laki di depannya dalam hal ekonomi. Ataukah mendiang mamanya yang tak bercerita kepadanya jika Paman Farid suka memberinya uang? Yang diketahuinya adalah, pamannya itu hanya membayar biaya rumah sakit mendiang mamanya yang berjumlah puluhan juta. Tapi itu pun setelah mendiang mamanya setuju tanah sawah warisan dari ayahnya yang bagianya yang berjumlah dua hektar dibeli oleh pamannya itu.
Setahunya pula, pamannya memang seorang yang sangat angkuh, egois, dan keras, tetapi tak pernah diketahuinya juga suka berbohong. Memang, sejak ia dibawa ke rumah ini lima tahun yang lalu, hidupnya selalu dijamin dalam hal keuangan. Saldo di rekening banknya selalu diisikan oleh pamannya itu nyaris tiap minggu, dan uang pemberiannya itu selalu tak sempat ia ambil di ATM untuk sekedar belanja, karena pamannya itu juga selalu memberinya uang tunai. Apakah itu cicilan buat harga tanah mendiang mamanya yang mencapai puluhan milyar itu? Jika misal uang di saldo rekeningnya ditambah dengan biaya kuliahnya yang baru semester empat dikalkulasi, maka belum dapat seperempat dari harga tanah mendiang mamanya. Ah, Yasmin menjadi bingung.
Lalu, ketika sang pamannya itu tiba-tiba ingin menikahkannya dengan laki-laki yang justru membuatnya mual-mual jika melihatnya, apakah itu sebuah niat baik ataukah hendak mencelakan hidup dan masa depannya?
Perihal rencana gila dan egois pamannya itu, Yasmin menceritakannya kepada Kirana. Gadis cantik berdarah campuran Bugis-Turki sampai kaget mendengar cerita Yasmin itu, sampai-sampai ia nyaris tersedak. Dengan cepat ia melegakan tenggorokannya dengan menyedot lemonade ice-nya. Saat itu keduanya ada di kantin kampus.
“Kok bisa, sih, paman elo maen jodoh-jodohin seperti itu? Jika levelnya sudah mengarah ke pemaksaan, itu sudah masuk pelanggaran, lho!”
“Mana peduli manusia arogan seperti paman gue itu masalah hukum dalam hal begituan, Na,” sahut Yasmin. “Ya mungkin maksudnya baik, menurut dia, karena menurutnya hidup gue akan terjamin ke depannya, karena yang gue nikahi adalah seorang laki-laki yang sudah mapan dalam segala hal, orang kaya raya.”
“Bentar, bentar...! Siapa nama laki-laki itu tadi?”
“Norman Angkasa. Kenapa?”
“Nama itu seperti pernah gue dengar. Tapi di mana, ya?”
“Pemilik nama seperti kan banyak, Na. Bisa jadi mungkin lo teringat dengan briptu Norman Kamaru kale, Na?”
“Ikh, masih sempat bercanda lo, Yas. Gue ini lagi serius. Norman Angkasa seperti pernah saya dengar namanya. Di manaaa, gitu.”
Tapi malamnya tiba-tiba Kirana meneleponnya.
“Napa, Na...?”
“Gue sudah dapat, Yas. Laki-laki yang bernama Norman Angkasa itu. Mendiang istrinya dulu adalah adik dari temannya mama gue.”
“Oh...! Terus, terus...?”
“Memang tiga tahun yang lalu istrinya meninggal karena pendarahan. Menurut mama gue, diduga laki-laki itu telah melakukan KDRT terhadap mendiang istrinya, walaupun ada bukti yang mengarah ke kabar itu. Tetapi menurut kabar yang, sih, memang dasarnya dia laki-laki yang sangat kasar pada mendiang istrinya. Sifat buruknya yang lain adalah ia dikenal sebagai laki-laki yang kemaruk wanita. Ups, sorry, Yas sampai berghibah. Tapi ya menurut gue, tak ada asap tanpa api.”
Kalau laki-laki itu kemaruk wanita, gue sudah menyaksikannya sendiri. Dengan istri orang pun ia embat! Ikh, amit-amit. Ya Tuhan, jauhkanlah aku dari laki-laki yang seperti itu!
“Terima kasih, Na, atas infornya. Gue beryukur banget punya teman seperti lo...!”
“Sama-sama, Yas. Lu nggak perlu terlalu kepikiran. Jodoh bukan manusia yang menentukan, tapi oleh Allah yang menciptakan jodoh bagi segenap mahluknya. Lu kudu berharaplah padaNya serta perlindungaNya. Lu sholatlah, Yas. Gue lihat lu gak pernah sholat, kan? Sholatlah. Bagaimana lu bisa berharap pada pertolongaNya jika lu gak pernah mendekatkan diri padaNya?”
“Iya, Na. Gue tau. Gue memang lama gak pernah mencium sajadah, sejak gue pindah ke rumah paman gue ini. Tapi insha Allah, Na, gue akan melaksanakan kewajiban itu. Terima kasih, Na, sudah ingetin gue.”
“Sama-sama, Yas.”
Baru saja Yasmin hendak meletakkan ponselnya di meja lampu di dekat tempat tidurnya, ada panggilan masuk lagi yang masuk. Ia kira Kirana. Tetapi tak ada nama pemanggil di situ.
Dengan perasaan degdegan, ia mengangkat dan menerima panggilan itu.
“Lagi apa lu?”
Itu suara Edwin. Perasaan Yasmin lumayan kaget.
“Ini lu...nomor baru?”
“Iya, ini nomor baru yang khusus buat kontakan dengan elo. Gimana lo sekarang?”
“Gimana apanya, A?”
“Dengan keinginan papa gue itu?”
“Ya sudah sangat jelas, A, gue gak mau sampai kapan pun.”
“Maaf, nih, kalo gue boleh tahu, alasan lu gak mau menikah dengan Pak Norman itu? Menurut gue, gak ada salahnya. Dia masih muda, ganteng, dan tajir. Cowok yang...”
“Iya, semua yang lu bilang benar, A,” potong Yasmin. “Tapi sayang semua itu gak masuk dalam kriteria utama gue, A.”
“Lantas kriteria utama lu apa, Yas?”
“Ya pokoknya sama sekali nggak ada sama tuh orang, A.” Ah, A, andaikata lu tau siapa laki-laki itu dan apa yang dilakukannya ama mama lu, tentu lu akan muntab. Tapi maaf, A, gue gak akan memberitahu lu soal itu. Biar lu sendiri yang kelak yang menyaksikannya dengan mata kepala lu. Sebab gue sangat percaya, bahwa sepandai apa pun bangkai disembunyikan, tetap tercium juga bau dan wujudnya.
“Iya, Yas, gue paham. Dan gue juga gak berhak untuk memaksa lu pada sesuatu yang gak lu suka.”
“Terima kasih, A, atas pengertianya.”
“Sama-sama, Yas.”
