Bab 4 Terlalu Mahal
Keesokan harinya, seorang pria dengan tubuh tegap berjalan cepat memasuki rumah indah nan megah. Langkah lebarnya langsung tertuju ke ruang keluarga di mana biasanya dia berkumpul. Dia pun segera mendekat pada seorang pria yang sedang duduk di man aada handphone tergeletak di meja.
"Elken!" seru pria itu dan segera Elken menoleh ke arahnya.
"Vin!" Pria bernama Marvin bisa melihat raut cemas di wajah Elken seraya duduk di sampingnya. Tengah malam dia mendapat kabar dari Elken bahwa Elle telah diculik sehingga dia memutuskan untuk pulang dari Thailand mengambil penerbangan dini hari dan langsung mendatangi rumah Elken.
"Apa mereka sudah menghubungimu lagi?" tanya Marvin yang sudah dijelaskan secara detail oleh Elken mengenai uang tebusan.
"Belum dan telponnya mati," sahut Elken yang tampak kacau, tapi berusaha agar tetap bersikap waras, meski kecemasan melanda hati. Pikiran negatif sudah mengisi benaknya di mana keselamatan Elle adalah segalanya.
"Apakah Om dan Tante sudah tahu?" tanya Marvin memastikan dengan tatapan serius pada Elken yang memijit pelipisnya. Namun, gelengan diberikan pertanda kedua orang tua Elken belum tahu kalau putri bungsunya jadi korban penculikan.
"Aku jamin Mama jantungan jika tahu Elle diculik, Vin," sahut Elken dengan tatapan lesu di mana hatinya dilanda bimbang sekiranya mengabarkan apa yang sedang terjadi atau tidak. Marvin sangat mengerti kegundahan yang dialami Elken, tapi dia harus tetap menjernihkan pikirannya dalam mengambil keputusan.
"Tapi ini kejadian serius, El, dan mereka harus tahu. Setidaknya Om!" pungkas Marvin coba menasehati dan jangan menyimpan fakta dari mereka. Elken yang sedang galau menatap saksama Marvin ketika memberi saran barusan. Dia coba mempertimbangkan untuk mengabarkan hal itu pada Frans. Namun, dia memilih menggeleng di mana matanya menetap tajam ke depan diikuti ujaran.
"Kau benar, tali tidak sekarang!"
"Lantas kapan?" tanya Marvin memastikan karena keputusan sudah diambil.
"Aku akan memastikan negosiasi yang sudah disepakati benar-benar terlaksana." Itulah keputusan Elken dan terlihat amat serius tanpa bisa dibantah lagi. Marvin harus mendukung apapun keputusan Elken karena apa yang dilakukan tetaplah demi kebaikan semua, terutama Elle.
Berita hilangnya Elle ternyata didengar seorang wanita yang sedang menikmati sarapan seorang diri. Dia baru saja menerima panggilan telpon dan cukup terkejut. Namun, hal tersebut berlangsung sesaat saja karena dia segera bangun dari duduknya menuju kamar yang ada di lantai dua. Dalam waktu singkat, wanita itu telah rapi dengan busananya dan keluar kamar sambil membawa sebuah handbag. Tak sampai satu jam, wanita itu tiba di sebuah rumah dan melenggang masuk hingga melihat dua tiga orang pria sedang berbincang.
"Sayang!" serunya sambil berjalan cepat di mana semua mata tertuju ke arahnya. Marvin menatap datar ke arah wanita itu dan segera bangun dari duduk seolah memberi ruang baginya untuk mendekat pada Elken. Dia meletakkan tas ke sofa dan menunjukkan perhatian pada pria yang murung.
"Bagaimana kabar Elle, Sayang? Kenapa dia bisa diculik?" Pertanyaan dilayangkan dengan nada serius dan menunjukkan keperdulian.
"Entahlah karena mereka belum mengabarkan lagi. Aku masih menunggunya!" jawab Elken lesu dan menatap datar pada Soraya. Dia cukup terkejut melihat kondisi Elken yang tak karuan dan tampak sekali kalau dia tak tidur. Dia menggenggam tangan Elken untuk menguatkan dan setidaknya kelahiran Soraya yang merupakan kekasihnya membuat perasaannya sedikit membaik.
"Apa kau sudah lapor polisi?" sambung Soraya dan dibalas gelengan.
"Belum."
"Kenapa belum, Sayang? Cepat laporkan!" kata Soraya dengan suara kencang serta raut tak percaya kalau Elken belum melaporkan hilangnya Elle dan tak perlu menunggu lagi.
"Kami sengaja tak melaporkannya pada polisi karena akan bernegosiasi di mana sindikat itu meminta uang tebusan." Suara barusan bukanlah milik Elken, melainkan Marvin yang ada di seberang meja dan berdampingan dengan Baron. Soraya tercengang mendengar penjelasan itu di mana rencana negosiasi digaungkan.
"A—pa? Jadi mereka mau bernegosiasi?" tanya Soraya dan dibalas anggukan.
"Iya. Tepatnya 50 Milyar."
'Glek'
Soraya menelan ludah sendiri mendengar jumlah uang tebusan yang sangat fantastis. Dia termenung beberapa saat dengan mulut bergumam tanpa menimbulkan suara.
"Apa? 50 Milyar?" Rasa kaget luar biasa dirasakan Soraya. Namun, uang yang terbilang fantastis sebagai tebusan tentu perkara kecil bagi Elken yang memiliki kekayaan luar biasa. Bahkan, dengan kekayaan yang dimiliki bisa menghidupi keluarga hingga tujuh turunan.
"Sebenarnya siapa penjahat itu dan kejam sekali meminta tebusan begitu banyak? Apa mereka aji mumpung dan sengaja memerasmu?" cerocos Soraya yang penasaran juga kesal mendengar perkara uang tebusan dan justru membuat Elken pusing.
"Apapun akan kuberikan termasuk nyawa, asalkan Elle bisa selamat." Soraya bungkam dan tak mampu menimpali. Begitu nyata kecintaan Elken pada Elle karena dia adalah satu-satunya adik yang dimiliki. Bahkan, kepentingan Elle selalu jadi keutamaan bagi Elken dibandingkan perkara lain. Tak ada yang bicara kecuali tatapan tajam dari Marvin pada Soraya yang kini terlihat serba salah karena kalimat Elken kerap mematahkan pernyataannya. Soraya menghela nafas dan menyandang kekasih Elken membuat dia harus selalu menemaninya dalam suka dan duka seraya mendukung keputusannya. Tak berapa lama, handphone yang diletakkan di meja berdering. Dengan cepat, Elken meraihnya dan menemukan panggilan berasal dari nomor Elle. Segera dia mengangkat panggilan itu dan berharap mendengar suara adik tercinta.
"Hallo .... hallo!"
"Apa kau sudah siapkan uangnya?"
"Sudah."
"Bagus. Bawa uang itu pukul 20.00 di alamat yang kuberikan. Tanpa pengawal, apalagi polisi."
"Baik, tapi mana adikku?"
"Bicaralah!"
"Kakak ... tolong aku. Aku takut, hiks ...."
"Tunggu, Dek! Kakak pasti akan datang. Kakak janji."
"Cepatlah!"
Tut. Sambungan diputus sepihak tanpa permisi. Sontak, Elken berteriak dan menendang meja dengan kuat hingga Soraya terkejut dengan sikapnya yang amat berbeda. Adapun Marvin menatap saksama pada Elken yang tak tahan dengan hal tersebut di mana rasa cemas lebih dominan di hatinya.
"Ron, atur orang untuk mengecek alamat itu dan pastikan orang kita berada di sekitar saja sebelum Elken datang," seru Marvin pada Baron yang dibalas anggukan. Dia pun segera meninggalkan ruangan itu untuk mengerjakan perintah dan sempat mengentikan langkah, lalu menoleh ke arah Elken. Tatapan datar itu hanya bertahan sebentar karena Baron kembali melanjutkan langkahnya untuk mengatur anak buah sesuai arahan Marvin.
Sedangkan Soraya memutuskan tetap bertahan. Bahkan, dia sengaja menyiapkan makanan untuk Elken karena Marvin mengatakan bahwa dia belum makan. Dengan sabar, Soraya menyuapi Elken karena sudah jam membiarkan apa yang dimasak berubah dingin. Berkat bantuan Soraya, akhirnya perut Elken terisi makanan, meski sedikit saja. Upaya membuat Elken tidur tetap tak berhasil karena pikiran yang kacau dan cemas menguasai diri. Padahal keadaan Elken sudah tidak baik dan memaksakan diri untuk terjaga hingga dia pun membaringkan tubuh di sofa sambil memijit pelipis. Marvin tak meninggalkan Elken dan memutuskan bertahan di sana untuk mengatur rencana. Tak berapa lama Soraya datang dari dapur membawa nampan berisi teh dan diletakkan ke meja. Ketika dia sedang mengisi gelas dengan teh yang masih mengepul, hampir saja dia menumpahkannya tatkala Elken mengatakan sesuatu.
"Jika terjadi sesuatu pada Elle, akan kuhabisi siapapun yang terlibat!"