Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Berusaha Untuk Terus Mendekati

Setelah beberapa jam menghabiskan waktu di area permainan, perut Diandra mulai keroncongan. Dia melirik jam tangannya, lalu menatap Sebastian yang sedang sibuk membawakan boneka beruang besar yang dimenangkan tadi.

“Bas, kamu lapar nggak?” tanya Diandra sambil mengelus perutnya pelan.

Sebastian tertawa pelan.

“He-he-he. Akhirnya kamu ngaku juga. Aku nunggu kamu ngomong dari tadi.”

“Memangnya kamu sudah lapar juga?”

“Dari jam kita habis main tembak-tembakan zombie,” balas Sebastian sambil terkekeh.

“Yuk, makan. Tapi jangan yang terlalu fancy ya. Aku pengin yang santai, tapi enak,” seru Diandra.

“Tenang. Aku tahu tempat yang pas buat kita.”

Sebastian lalu menggiring Diandra keluar dari pusat perbelanjaan dan menuju parkiran basement. Setelah masuk ke mobil, mereka meluncur ke sebuah restoran Jepang yang cukup terkenal di kawasan Blok M, bernuansa cozy dengan interior kayu dan lampu remang kuning keemasan.

Begitu tiba dan masuk ke dalam restoran, pelayan langsung mengenali Sebastian.

“Selamat malam, Tuan Sebastian. Silakan, meja biasa Anda sudah kami siapkan.”

Diandra melirik Sebastian curiga.

“Kamu sering ke sini, ya?”

“Iya. Biasanya kalau lagi suntuk, aku makan sendiri di sini. Tempatnya tenang, makanannya enak, dan nggak banyak yang kenal aku.”

“Cerdas juga kamu sembunyi dari dunia luar,” komentar Diandra sambil duduk di kursi kayu berlapis bantalan abu-abu.

Buku menu datang, dan mereka memesan beberapa hidangan ringan, salmon sashimi, chicken katsu, gyoza, serta dua mangkuk ramen hangat.

Sambil menunggu pesanan datang, suasana antara mereka terasa jauh lebih cair dibanding pagi tadi. Diandra menyandarkan punggung ke kursi, lalu menatap Sebastian sambil tersenyum tipis.

“Sebastian .…”

“Hmm?”

“Makasih ya, udah bikin hari ini menyenangkan.”

Sebastian terdiam sejenak, lalu tersenyum hangat.

“Aku justru yang harus berterima kasih karena kamu mau diajak muter-muter. Awalnya aku pikir kamu bakal kabur dari arcade.”

“Ya awalnya aku memang males banget, tapi … ternyata seru juga. Kamu bukan orang yang menyebalkan seperti yang aku pikir.”

“Boleh aku tahu, dulu kamu pikir aku ini kayak bagaimana?”

Diandra tersenyum geli. “Kaku. Seriusan banget. Terlalu sempurna dan sok dewasa.”

“Wah, lengkap banget ya daftar tuduhan terhadap saya,” balas Sebastian sambil pura-pura terkejut.

“Tapi ternyata kamu, bisa juga konyol dan menyenangkan,” ujar Diandra lirih, nyaris seperti gumaman.

Sebastian menatapnya, lalu menjawab pelan, “Aku hanya berusaha jadi diriku sendiri di depan kamu. Nggak ada yang dibuat-buat.”

Pelayan datang membawa makanan mereka. Aroma ramen yang mengepul membuat Diandra segera mengambil sumpit.

“Wah, ini kelihatan enak banget.”

“Coba aja dulu, baru nilai,” ujar Sebastian sambil menyeruput kaldunya.

Mereka pun makan sambil tertawa dan ngobrol ringan. Tidak ada pembicaraan berat tentang keluarga atau masa depan malam itu. Hanya dua orang yang sedang menikmati makan malam setelah hari yang panjang.

Saat mereka selesai makan dan keluar dari restoran, udara malam Jakarta cukup sejuk dengan angin tipis menyapa kulit.

Di dalam mobil, Diandra bersandar sambil memeluk boneka beruangnya. Jalanan sedikit macet, tapi tidak mengganggu suasana nyaman di antara mereka.

“Kamu capek?” tanya Sebastian, memecah keheningan.

“Nggak juga. Cuma, tenang aja rasanya. Nyaman.”

Sebastian melirik gadis itu sejenak.

“Kalau nyaman, berarti aku berhasil bikin kamu merasa aman, ya?”

“Mungkin,” jawab Diandra sambil menahan senyum.

Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di rumah Keluarga Pratama. Mobil berhenti tepat di depan gerbang besar yang otomatis terbuka perlahan.

“Sudah sampai,” ujar Sebastian pelan.

Diandra mengangguk, tapi belum buru-buru keluar. Dia masih diam beberapa detik, seperti enggan mengakhiri hari.

“Mau aku temani sampai ke teras?” tanya Sebastian.

“Nggak usah. Nanti Mami pikir kita udah jadian,” jawab Diandra sambil tersenyum dingin.

Sebastian ikut tersenyum.

“Kalau iya pun, aku sih nggak keberatan.”

Diandra terdiam sejenak. Lalu, dia menoleh dan menatap Sebastian dengan serius.

“Sebastian … kalau nanti kita ternyata nggak cocok, kamu akan tetap mau berteman denganku?”

Sebastian terkejut mendengar pertanyaan itu.

“Tentu saja. Tapi kalau boleh jujur ….” Pria menatap mata Diandra.

“Aku nggak pengin cuma jadi teman kamu. Aku ingin memilikimu seutuhnya. Tolong jangan halangi niat baikku, untuk lebih mengenalmu.”

Wajah Diandra memerah. Dia buru-buru membuka pintu mobil, tapi sebelum keluar, gadis itu menoleh lagi ke arah Sebastian.

“Makasih untuk hari ini. Aku sangat senang.

Dan …” Gadis itu terlihat ragu sebentar, lalu melanjutkan,

*Aku juga nggak keberatan kalau nanti akhirnya … ya, kita .…”

“Kita …?” goda Sebastian sambil menaikkan alis.

“Ya, kamu pasti tahu maksudku, ih nyebelin!” jawab Diandra lalu cepat-cepat turun dari mobil, meninggalkan Sebastian yang tertawa di balik kemudi.

Dari balik pagar, Mami Sekar muncul sambil tersenyum melihat putrinya pulang membawa boneka beruang besar.

“Kalian habis dari mana, Di?”

“Main, Mi,” jawab Diandra sambil tersipu.

Mami Sekar menahan senyum, lalu mengusap kepala putrinya pelan.

“Kamu kelihatan bahagia.”

“Sedikit,” gumam Diandra, lalu berlari masuk ke rumah.

Sementara itu, di dalam mobil, Sebastian masih duduk sejenak sebelum menyalakan mesin. Dia menatap ke arah rumah Diandra dan tersenyum puas.

Hari itu, Sebastian merasa lebih dekat dari sebelumnya dengan gadis itu. Meskipun belum ada jawaban pasti tentang masa depan mereka, namun Sebastian tahu satu hal, dia telah menapakkan satu langkah besar dalam hati Diandra.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak pertemuan keluarga yang membahas perjodohan, Diandra benar-benar tersenyum tulus setelah bertemu Sebastian.

Minggu pagi menyambut hangat keluarga Pratama. Cahaya matahari menembus jendela ruang makan yang megah, menyinari meja sarapan yang telah disiapkan Mami Sekar sendiri pagi itu. Aroma roti panggang, telur orak-arik, dan kopi memenuhi udara.

Diandra turun dari tangga dengan wajah segar, rambut dikuncir setengah, dan mengenakan kaus santai berwarna hijau pastel. Mami Sekar langsung tersenyum melihat anak gadisnya tampak cerah.

“Pagi, Sayang. Tumben ceria banget?” sapa Mami Sekar sambil menuangkan jus jeruk ke gelas.

Papi Pratama menoleh dari koran yang sedang dibacanya.

“Pagi, Nak. Bagaimana kemarin? Sebastian ngajak ke mana aja?”

Diandra berhenti sejenak, agak malu. “Cuma lihat pameran lukisan, terus main di arcade, terus … makan malam.”

“Main di arcade?” tanya Papi sambil menaikkan alis, sedikit terkejut.

“Iya, Pi. Seru banget. Aku pikir Sebastian itu orangnya membosankan, tapi ternyata dia malah jago banget main basket mesin itu. Dan dia ngasih boneka itu.” Diandra menunjuk ke arah sofa, di mana boneka beruang besar dari Sebastian duduk manis.

Mami Sekar terkekeh. “He-he-he. Lucu sekali. Mami nggak pernah lihat kamu serajin ini bercerita soal seorang pria. Biasanya kamu langsung masuk kamar, kunci pintu.”

Diandra meringis.

“Ya ... nggak tahu kenapa, aku jadi nyaman sama dia. Nggak seseram yang kubayangin waktu dijodohin.”

Papi Pratama meletakkan korannya. Dia pun menatap sang istri, lalu menatap putrinya.

“Nak, kalau kamu memang mulai membuka hati kepada Sebastian, Papi dan Mami akan sangat bahagia.”

“Aku nggak bilang jatuh cinta sama dia ya, Pi. Cuma … ya, aku nggak nolak buat kenal Sebastian lebih dalam.”

Mami Sekar menggenggam tangan putrinya.

“Itu lebih dari cukup, Sayang. Kami hanya ingin kamu bahagia. Dan melihat kamu kemarin pulang dengan senyum lebar seperti itu, Mami yakin kamu berada di jalan yang tepat.”

Sementara itu, di kediaman keluarga Ganendra, Sebastian baru saja pulang setelah jogging ringan. Dia masih mengenakan hoodie dan celana training ketika masuk ke ruang keluarga.

Papi Ganendra sedang duduk di sofa membaca laporan keuangan dari perusahaannya, sementara Mami Rasmi menyiram tanaman hias di dalam rumah.

“Sebastian! Kemari sebentar, Nak,” panggil Mami Rasmi.

“Ya, Mi?” jawab Sebastian sambil menghampiri.

“Bagaimana kemarin sama Diandra?” tanya Papi tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen.

Sebastian tersenyum. “Diandra mulai bisa tersenyum padaku, Pi. Kami menghabiskan waktu seharian. Dan sepertinya dia mulai melihat aku sebagai seseorang, bukan sekadar calon suami yang akan dijodohkan dengannya.”

Mami Rasmi menepuk bahu putranya penuh semangat.

“Mami senang sekali dengarnya. Sejak awal Mami yakin, kamu dan Diandra sangat cocok.”

“Aku juga merasa sesuatu yang berbeda, Mi. Dulu aku pikir ini akan terasa dipaksakan. Tapi Diandra itu, unik. Dia keras kepala, tapi orangnya jujur. Lucu juga kalau sudah rileks.”

Papi Ganendra akhirnya menutup dokumennya dan menatap Sebastian.

“Kalau kalian memang mulai cocok dan nyaman satu sama lain, Papi rasa … tak perlu terlalu lama menunda. Kita bisa mulai bicarakan langkah selanjutnya.”

Sebastian terkejut. “Maksud Papi mempercepat rencana pernikahan?”

“Kenapa tidak? Bukankah semakin cepat, semakin baik? Toh Keluarga Pratama juga sudah menyetujui.”

Mami Rasmi menambahkan, “Lagipula ini bukan pernikahan dadakan. Kalian sudah saling kenal sejak kecil, dan sekarang mulai tumbuh rasa. Bukankah ini waktu yang baik?”

Sebastian mengangguk pelan.

“Aku akan bicara dulu dengan Diandra. Aku ingin pastikan dia benar-benar siap.”

Hari itu juga, kedua keluarga mengatur makan malam bersama, sebagai bentuk pertemuan resmi untuk membicarakan perkembangan hubungan anak-anak mereka.

Di ruang makan megah di rumah Keluarga Ganendra, dua keluarga besar duduk berhadapan. Diandra duduk di sebelah Sebastian, tampak sedikit gugup, namun tetap tersenyum.

Papi Pratama membuka pembicaraan.

“Kami sangat senang melihat Diandra kembali dari jalan-jalan kemarin dengan wajah berseri. Sepertinya Sebastian berhasil mencairkan kebekuan di antara mereka.”

Papi Ganendra tersenyum puas. “Sebastian pun mengatakan hal yang sama. Kami percaya bahwa ketika dua hati mulai saling membuka, tidak ada alasan untuk menunda niat baik.”

“Kami pun berpikir demikian,” sambung Mami Sekar.

“Jika kalian berdua merasa nyaman, kami ingin mempercepat prosesi lamaran.”

Diandra terkejut, menoleh pada Sebastian. Pria itu hanya menatapnya dengan lembut dan berbisik pelan,

“Kalau kamu belum siap, aku bisa bilang ke mereka. Aku ikut kamu.”

Namun, Diandra mengangguk kecil.

“Aku nggak apa-apa. Selama kamu sabar dan nggak buru-buru, aku akan coba jalani.”

Papi Ganendra melihat ekspresi mereka berdua dan mengangguk puas. “Baiklah. Kalau begitu, bagaimana kalau lamaran dilakukan bulan depan? Kita bisa mulai mempersiapkan semuanya.”

Semua orang di meja makan menyambut dengan hangat. Tawa dan canda mengisi ruangan, membicarakan dekorasi, undangan, bahkan soal katering.

Sementara itu, Diandra dan Sebastian bertukar pandang sesekali, mata mereka saling menguatkan, menyampaikan satu keyakinan diam-diam.

Mereka tidak memulai dari cinta yang menggebu-gebu, akan tetapi dari niat yang baik dan hati yang perlahan terbuka. Dan bagi mereka berdua, itu adalah awal yang indah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel