
Ringkasan
Sebastian Ronaldo, seorang CEO muda sukses, tidak pernah menyangka akan dijodohkan dengan seorang perempuan cantik bernama Diandra Areta yang merupakan cinta terpendam nya sejak remaja. Sebastian langsung setuju dengan perjodohan itu. Yang berbanding terbalik dengan sikap Diandra yang terkesan dingin kepada sang pria. Apalagi, Sebastian banyak digandrungi oleh para perempuan lain yang berlomba-lomba ingin menjadi miliknya. Mampukah Sebastian meraih hati Diandra untuk menjadi istrinya? Ataukah dia akan mengalami patah hati? Bagaimana juga dengan Diandra yang menilai usaha Sebastian untuk mendekatinya terkesan plin-plan? Simak kisah romantis dua sejoli ini sampai tamat. Plagiarisme melanggar undang-undang hak cipta nomor 28 tahun 2014.
1. Harus Mau Dijodohkan
Suatu sore di ruang Keluarga Tuan Ganendra, Kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Langit jingga merekah di balik jendela besar ruang keluarga. Hembusan AC berpadu aroma teh melati memenuhi ruangan klasik berlapis kayu jati. Di atas meja, tersaji camilan favorit keluarga. Diantaranya pastel goreng, bolu kukus pandan, dan potongan buah semangka manis.
Di tengah ruangan, Sebastian Ronaldo duduk bersandar di sofa kulit cokelat tua. Jasnya sudah dilepas, hanya mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku.
Sebastian menghela napas sambil menyesap teh dari cangkir porselen. Di hadapannya, Papi Ganendra, pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih rapi dan kacamata emas, duduk dengan tenang, sesekali membolak-balik koran bisnis. Di sampingnya, Mami Rasmi, wanita anggun dan cantik, sibuk menyusun pastel ke piring sambil sesekali melirik putranya.
Mami Rasmi lalu berkata,
"Sebastian anakku, kamu kerja terus, kapan kamu punya waktu buat hidup kamu sendiri?"
Sebastian tersenyum lelah. Sudah bukan pertama kalinya pertanyaan itu muncul dari ibu maupun ayahnya.
Sebastian lalu menjawab,
"Mami, aku sangat sibuk. Tiap hari aku di kantor. Mengikuti rapat, dan banyak presentasi bisnis."
Papi Ganendra meletakkan koran.
Itu bukan hidup, Bas. Itu rutinitas. Kamu umurnya berapa sekarang?"
Sebastian menghela napas.
"Tiga puluh bulan depan, Pi."
Mami Rasmi dengan nada dramatis, berkata lagi,
"Nah, itu poinnya! Kamu hampir mencapai umur tiga puluh tahun, Nak! Waktu Mami seumur kamu, kamu udah umur dua tahun. Papi kamu udah jadi ayah!"
Sebastian hanya bisa menunduk, menatap pastel yang belum disentuh.
"Aku tahu. Tapi, Mami, Papi, aku belum nemu perempuan yang cocok. Belum ada yang bisa nyambung denganku, apalagi tahan sama gaya hidupku,” serunya.
Papi Ganendra angkat bicara,
"Makanya Papi dan Mami akan bantuin kamu."
Sebastian langsung menoleh ke arah ayahnya.
"Bantuin bagaimana, Pi?"
Mami Rasmi tersenyum penuh arti.
"Kita punya kenalan, anak kolega Papi kamu. Namanya Diandra Areta. Lulusan luar negeri, sopan, dari keluarga baik-baik. Umurnya pas, dua puluh Lima tahun. Cantik pula."
Sebastian langsung mengernyit.
"Mami, jangan bilang ini perjodohan."
Papi Ganendra dengan sikap tenang namun tegas, menjawab,
"Sebastian. Ini bukan zamannya pemaksaan, Papi dan Mami tidak akan memaksamu. Tapi kami memberi jalan. Diandra itu anak dari Tuan Pratama, kolega bisnis Papi. Kamu tahu reputasinya. Kalau kamu cocok, ya lanjut. Kalau nggak, ya tidak apa-apa. Tapi ... tolong coba dulu."
Sebastian lalu menjawab,
"Aku bukan anti-pernikahan, Papi. Tapi dijodohkan itu bukan solusi."
Mami Rasmi memotong lembut,
"Tapi kamu juga tidak berusaha cari sendiri."
Sebastian terdiam. Itu benar. Hidupnya nyaris sepenuhnya dicurahkan ke SR Corp. Bangun sebelum matahari terbit, pulang ketika bintang pun malas menyapa. Teman-temannya banyak, tapi semuanya rekan bisnis. Hubungan pribadi? Nol besar.
Sebastian berkata pelan,
"Aku takut gagal, Mami. Aku terlalu sibuk. Bagaimana kalau perempuan itu malah terluka karena aku tidak punya banyak waktu dengannya?"
Papi Ganendra lalu menatap putranya dalam-dalam.
"Sebastian, kamu terlalu keras pada diri sendiri. Tidak ada manusia yang sempurna. Tapi pernikahan bukan soal waktu luang, melainkan komitmen."
Mami Rasmi ikut menambahkan.
"Kami bukan menekan kamu, Nak. Papi dan Mami hanya, ingin melihatmu bahagia. Ada yang temani kamu. Papi dan Mami juga ingin menimang cucu sebelum rambut kami habis semua."
Suasana menjadi hening sejenak. Sebastian menyandarkan kepala ke belakang sofa, menatap langit-langit rumahnya.
Sebastian pun berjalan lirih,
"Apa aku terlihat kesepian sampai segitunya?"
Mami Rasmi tersenyum sendu.
"Bukan begitu juga, Bas. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu."
Papi Ganendra melanjutkan,
"Bukan cuma kamu yang memikul beban sebagai CEO, Bas. Papi juga dulu juga pernah muda. Pernah berpikir karier adalah segalanya. Tapi waktu terus berjalan. Ketika kamu hadir, Papi akhirnya sadar, rumah bukan hanya sekedar bangunan. Tapi tentang siapa yang menunggu kita di dalamnya."
Sebastian menunduk. Kata-kata ayahnya menyentuh hati.
"Kapan aku harus ketemu dengan gadis itu?"
Mami Rasmi dengan antusias menjawab,
"Akhir minggu ini, makan malam di rumah kolega bisnis Papi itu. Bukan pertemuan formal kok. Kalian bisa ngobrol berdua, orang tua cukup saling menyapa saja. Bagaimana?"
Sebastian terdiam, menimbang-nimbang. Jiwanya memberontak, tapi logikanya menyetujui. Umurnya nyaris tiga puluh tahun, tak ada satupun hubungannya yang berjalan lebih dari tiga bulan. Mungkin memang saatnya mencoba jalur berbeda.
Sebastian lalu mengangguk perlahan, "Baiklah. Tapi aku nggak janji apa-apa."
Papi Ganendra tersenyum puas,
"Itu sudah cukup."
Mami Rasmi mengusap tangan putranya, Sebastian.
"Terima kasih, Nak. Siapa tahu ini awal dari sesuatu yang indah untukmu."
Sebastian tersenyum tipis.
"Atau awal dari bencana diplomatik."
*Ha-ha-ha.”
Semua tertawa.
Ketegangan pun mencair, meski di hati Sebastian masih ada keresahan. Namun satu yang hal pasti, malam itu, dia sadar bahwa hidup bukan hanya tentang saham, merger, dan rapat dewan. Ada ruang yang selama ini kosong dalam hatinya dan mungkin, hanya perjodohan ini yang akan mengisinya.
Senja di Kediaman Keluarga Pratama, Kawasan Elit Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Angin sore mengayun pelan tirai linen putih di ruang keluarga yang luas. Dinding krem dipadu lukisan-lukisan batik modern menghiasi interior rumah yang rapi dan berkelas. Diandra Areta duduk bersila di sofa empuk berwarna salem, masih mengenakan blus putih dan celana jeans. Rambut panjangnya tergerai alami, wajahnya tampak resah. Tangannya memeluk bantal kecil, pandangannya mengarah tajam ke arah kedua orang tuanya yang duduk di depannya.
"Jadi ... ini maksudnya apa, Pi?" tanya Diandra dengan wajah kebingungan.
Papi Pratama dengan nada tenang tapi tegas, berkata,
"Kami sudah putuskan. Keluarga Tuan Ganendra akan datang ke rumah kita di akhir minggu. Untuk berkunjung sekaligus perkenalan."
Diandra dengan suara meninggi, menjawab,
"Perkenalan? Berkunjung? Apa ini perjodohan, Papi? Aku baru seminggu pulang lho dari Belanda!"
Mami Sekar dengan senyum kalem, berkata,
"Justru karena kamu sudah pulang, Sayang. Ini adalah waktu yang tepat. Umur kamu sudah dua puluh lima tahun, Diandra. Usia yang sudah cukup matang untuk berumah tangga."
Diandra berdiri, panik. "Matang? Aku baru lulus S2, Mami! Aku belum punya pekerjaan dan pengalaman apapun, aku belum siap menikah!"
Papi Pratama melipat tangannya di dada. "Kamu pikir pernikahan bisa ditunda sampai kamu siap? Kesiapan bukan datang dari waktu, tapi dari sebuah keputusan."
Diandra mengerutkan dahi, menatap ibunya memohon.
"Mami, please. Mami ngerti aku, kan? Aku belum pernah ketemu orang itu. Bahkan namanya aja aku baru dengar sekarang."
Mami Sekar berkata dengan lembut tapi mantap.
“Namanya Sebastian Ronaldo. CEO muda, sopan, dari keluarga terhormat. Papi dan Mami kenal dekat dengan keluarganya. Kalian pasti cocok."
Diandra berkata, suaranya gemetar. "Cocok? Dari mana Mami tahu? Aku bahkan belum lihat wajahnya."
Papi Pratama dengan nada datar namun penuh tekanan. Bersuara,
"Kamu akan bertemu dengannya akhir minggu ini. Tidak ada diskusi lagi. Kamu anak kami, Diandra. Sudah cukup kamu hidup bebas selama di Eropa. Sekarang saatnya kamu kembali ke keluarga."
Diandra marah. Suaranya meninggi.
"Bebas? Aku ke Belanda belajar, Pi! Aku nggak ngabisin waktu untuk bersenang-senang!"
"Kami tahu kamu pintar, Sayang. Tapi kecerdasan juga perlu diarahkan. Kami cuma ingin kamu punya masa depan yang stabil. Kamu perempuan. Dunia tidak selalu ramah pada perempuan mandiri," celetuk sang ibu.
Diandra tersentak, air matanya mulai menggenang.
"Jadi ini semua tentang kontrol kah? Aku harus tunduk demi stabilitas keluarga?"
Papi Pratama dengan tajam berkata,
"Ini tentang kehormatan keluarga, Diandra. Kamu anak tunggal. Papi tidak akan membiarkanmu berjalan sembarangan. Kalau kamu masih menganggap kami orang tuamu, kamu akan menerima perkenalan itu."
Suasana menjadi tegang. Diandra berdiri, melangkah cepat ke arah jendela, menatap halaman depan yang mulai temaram. Suaranya lirih saat dia berkata,
"Selama di Belanda, aku selalu bangga bilang orang tuaku memiliki wawasan modern. Berpikiran terbuka. Tapi sekarang kalian seperti orang tua dari zaman Siti Nurbaya dulu!"
Mami Sekar perlahan bangkit, mendekat dan memegang bahu Diandra,
"Ini bukan soal zaman dulu atau sekarang, Sayang. Ini tentang cinta yang lahir dari restu orang tua. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu."
Diandra menoleh, menatap ibunya dengan kecewa.
"Tapi kalau aku sendiri merasa ini bukan yang terbaik untukku, kenapa tidak bisa kalian dengar?"
Papi Pratama berdiri tegak, suaranya masih tetap tegas.
"Karena kami tahu kamu masih terlalu muda untuk melihat yang kamu butuhkan dalam hidup. Dan Papi tidak ingin perdebatan lagi. Akhir minggu, kamu harus ada di rumah. Titik!"
Diandra mencoba menahan air mata.
"Dan kalau aku tidak ada di rumah?"
Papi Pratama menoleh ke arah putri tunggalnya dengan tatapannya dingin
"Maka mulai saat itu, semua tanggungan hidupmu dari Papi akan berakhir. Mobil, segala jenis kartu yang kamu pakai semua atas namamu akan Papi blokir. Kamu boleh pilih, Diandra."
Terlalu lama keheningan menggantung. Diandra merasa perutnya melilit, seolah-olah dunia yang baru ingin dirinya bangun runtuh begitu saja. Gadis itu menatap ibunya sekali lagi, berharap ada harapan terakhir.
"Mi, kalau aku bilang aku nggak sanggup. Apakah Mami tetap akan dorong aku?"
Mami Sekar menatap lembut, tapi penuh keyakinan
"Kadang yang kita anggap tidak sanggup lewati, itu justru yang membawa kebahagiaan nantinya. Mami tahu ini sulit bagimu. Tapi coba saja dulu. Tidak ada yang meminta kamu untuk langsung menikah minggu depan."
Diandra menangis perlahan.
"Tapi ini bukan hidup yang aku rancang. Ini bukan impianku, Mi."
Mami Sekar memeluk Diandra erat. Sementara Papi Pratama hanya diam, kembali duduk dan membuka laptop di meja kopi seolah-olah urusan sudah selesai. Diandra tahu, tak akan ada negosiasi. Semua telah ditentukan oleh ayahnya.
Malam itu, di kamar Diandra,
Lampu kamar redup. Diandra duduk di kursi dekat jendela, laptop menyala dengan foto-foto masa kuliahnya di Belanda. Tawanya cerah, wajahnya penuh mimpi. Tapi kini, wajah itu tertutup bayangan ragu dan kecewa.
