4. Sebastian Mulai Melancarkan Pendekatan
Mentari di Sabtu pagi menyelinap masuk lewat sela tirai jendela rumah Keluarga Pratama. Udara segar menyeruak masuk bersama aroma harum dari taman belakang. Di ruang tamu, Papi Pratama sudah duduk rapi membaca koran ditemani secangkir kopi hitam, sementara Mami Sekar sibuk merapikan meja sembari sesekali melirik jam dinding.
"Papi, itu Sebastian datang," ujar Mami Sekar dengan senyum lebar saat mendengar suara mesin mobil berhenti di depan pagar.
"Cepat juga anak itu. Jam segini sudah sampai," sahut Papi Pratama sambil melipat korannya.
"Memang niat banget dia mau mendekati Diandra," timpal sang istri dengan nada geli.
Pintu rumah terbuka. Sebastian muncul dengan penampilan rapi, kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku, celana chino abu-abu, dan sepatu loafers kulit. Senyum hangatnya mengembang saat menyalami Papi Pratama dan mencium tangan Mami Sekar.
"Selamat pagi, Om, Tante," sapa Sebastian sopan.
"Pagi, Bas. Masuk, ayo. Baru juga jam sembilan pagi," sahut Papi sambil memberi isyarat duduk.
"Mau sarapan dulu, Bas?" tawar Mami Sekar ramah.
"Terima kasih, Tante. Saya sudah sarapan dari rumah. Saya ke sini mau jemput Diandra, saya dengar ada pameran lukisan di Senayan City hari ini."
Papi Pratama mengangguk pelan, terlihat menyembunyikan senyum puas.
"Bagus, bagus. Diandra suka seni sejak kecil."
Sementara di lantai atas, Diandra masih meringkuk di tempat tidur, mengenakan piyama dan masker wajah, saat pintu kamarnya diketuk.
Tok … tok …
"Di … itu Sebastian datang, lho." Suara Mami Sekar terdengar lembut namun tegas.
Diandra menghela napas panjang, malas.
"Huh … bilang aja aku lagi tidur, Mi. Aku capek."
"Nggak bisa, Sayang. Dia jauh-jauh datang, niat baik. Masa kamu nggak mau ketemu?"
"Ughh ... males banget denger nama dia terus," gumam Diandra sambil membuka masker dari wajahnya.
Namun perkataan Maminya selanjutnya membuat telinganya sedikit berdiri.
"Tapi dia bilang mau ajak kamu lihat pameran lukisan di Senayan City."
Mata Diandra seketika melebar.
"Pameran lukisan?" ulangnya pelan, nyaris tidak percaya.
"Iya. Katanya kamu akan suka, jadi dia rencanain dari seminggu lalu," tambah sang ibu, tersenyum geli melihat perubahan ekspresi putrinya.
Wajah jutek Diandra seketika berubah sumringah. Dia segera bangkit dari tempat tidur dengan semangat dan berlari kecil menuju lemari pakaian.
"Mi! Tolong cariin dress biru yang kupakai waktu ke Jogja, dong! Aku mau pakai itu!"
"Hah, baru saja kamu bilang malas banget, sekarang malah semangat sekali?"
"Yah, kan beda. Ini kan soal seni, Mami!"
Tak butuh waktu lama, Diandra muncul turun ke bawah dengan gaun biru muda simpel yang memperlihatkan aura elegannya. Rambutnya dikuncir setengah, bibirnya diberi sentuhan lip gloss. Sebastian yang sedang mengobrol dengan Papi dan Mami pun berdiri sambil terpukau.
"Wow … kamu cantik banget, Di," ucap Sebastian spontan.
"Makasih. Kita langsung berangkat, kan?" balas Diandra singkat, masih berusaha menyembunyikan ketertarikan dibalik sikap cueknya.
Mami Sekar dan Papi Pratama saling melirik, tak bisa menahan senyum melihat perkembangan ini.
Perjalanan menuju Senayan City berlangsung dalam mobil BMW hitam milik Sebastian. Interior mobil terasa mewah, namun suasananya tidak kaku. Diandra duduk di samping Sebastian sambil memainkan ponselnya, sesekali melirik ke luar jendela.
"Kamu tahu dari mana ada pameran lukisan di Senayan City?" tanya Diandra tiba-tiba.
“Aku cari tahu, dong. Semuanya kulakukan untukmu, Di,” tukas Sebastian sambil tersenyum manis.
“Oh yeah?” sahut gadis itu tak menyangka.
"Lagian waktu pertama kali kita ketemu di rumah, kamu lagi baca buku tentang Van Gogh. Terus, Mami kamu juga cerita soal kamu sering ikut pameran seni waktu SMA."
Diandra melirik ke arah Sebastian, agak terkejut.
"Kamu perhatiin juga, ya?"
"Tentu. Aku serius sama kamu, Di. Aku nggak cuma ikut-ikutan keinginan keluarga untuk menjodohkan kita berdua."
"Hmm … tapi kamu tahu, aku masih belum setuju sama perjodohan ini."
Sebastian tersenyum tipis.
"Nggak masalah. Aku juga nggak berharap kamu langsung suka. Tapi setidaknya, aku pengin kamu kenal aku bukan dari cerita orang lain."
Jawaban itu membuat Diandra diam sejenak. Mobil mereka memasuki parkiran basement Senayan City, lalu melaju naik menuju pintu masuk VIP. Begitu turun dari mobil, Sebastian secara refleks membuka pintu dan menawarkan tangannya.
"Bolehkah, Nona Diandra Areta?"
"Aku masih bisa jalan sendiri," jawab Diandra dengan nada datar, tapi tetap menyentuh tangan Sebastian sebentar sebelum menariknya kembali.
"Okay, noted! He-he-he," sahut Sebastian sambil tertawa pelan.
Pameran lukisan berada di area ballroom, didekorasi mewah dengan pencahayaan lembut yang menyorot tiap karya seni di dinding. Diandra langsung terpesona. Gadis itu berjalan dari satu lukisan ke lukisan lainnya, membaca keterangan, memperhatikan sapuan kuas, dan berdiskusi hangat dengan Sebastian.
"Lukisan ini seperti menggambarkan kekosongan setelah kehilangan," ucap Diandra di depan sebuah kanvas besar berlatar hitam dengan titik-titik emas.
"Kamu bisa merasakan itu dari teksturnya, ya?" tanya Sebastian kagum.
"Seni itu bukan cuma dilihat, Bas. Tapi dirasa."
Sebastian mengangguk pelan. Dia tidak terlalu paham seni, tapi melihat cara Diandra berbicara tentang lukisan membuatnya semakin tertarik, bukan hanya pada karya seni, akan tetapi pada sosok perempuan di hadapannya.
Usai mengelilingi pameran, mereka duduk di salah satu coffee lounge di dalam venue. Diandra menyeruput cappuccino sambil masih membahas lukisan favoritnya.
"Tadi kamu paling suka yang mana?" tanya Sebastian.
"Yang cat air di pojok kiri itu. Simpel tapi emosional. Kayak kamu."
"Hah? Aku?" kaget Sebastian.
"Iya. Kamu kelihatannya santai dan kalem, tapi ternyata niat juga ngedeketin aku," sahut Diandra dengan wajah setengah masam.
“He-he-he.”
Sebastian tertawa pelan.
"Kalau aku adalah sebuah lukisan, kamu udah mau beli, belum?" tanyanya penasaran.
"Belum. Masih proses menawar," ujar Diandra sambil tersenyum geli.
Senyum itu menghangatkan hati Sebastian. Hari ini, dia tahu satu hal pasti, ini baru langkah awal, tapi sang pria telah memecahkan satu lapis pertahanan Diandra. Dan untuknya, itu sudah lebih dari cukup.
Setelah puas menikmati pameran lukisan dan duduk santai di lounge sambil menyeruput kopi, Sebastian melirik jam tangannya lalu menoleh ke arah Diandra yang masih asyik memotret beberapa brosur pameran.
"Di," panggil Sebastian lembut.
"Ya?"
"Kamu masih ada waktu, kan? Aku tahu satu tempat yang bakal kamu suka."
"Tempat apa lagi? Galeri seni lain?" tanya Diandra, setengah berharap.
Sebastian tersenyum misterius.
"Bukan. Tapi tetap penuh warna dan bisa bikin kamu ketawa."
"Hmm … kamu ngajak aku ke mana, sih?" serunya kurang tertarik.
Sebastian berdiri sambil menawarkan tangannya.
"Ikut aja dulu."
Diandra berdiri dengan alis terangkat. Meski ragu, dia akhirnya mengikuti langkah Sebastian, penasaran.
Beberapa menit kemudian mereka sudah tiba di lantai atas Senayan City, tepat di depan area permainan arcade indoor yang penuh lampu-lampu neon dan suara musik permainan retro. Diandra terpaku sejenak.
"Sebastian … serius kamu ngajak aku ke sini?"
"Kenapa? Kamu nggak suka?"
"Bukan nggak suka. Aku cuma … kaget aja. Kamu tuh, kesannya formal dan serius banget. Ternyata suka main juga," celetuk Diandra.
"Ya kan, aku mau kamu kenal semua sisi aku," jawab Sebastian santai.
"Kalau kamu nyaman, kita main. Kalau nggak, ya balik aja. Tapi, aku penasaran banget sama skill kamu di Dance Dance Revolution."
“He-he-he.”
Diandra tertawa pelan, suara tawanya terdengar lebih lepas kali ini.
"Baiklah, Sebastian. Tapi jangan nyesel kalau kamu kalah!"
Mereka mulai dengan permainan ringan, basket mini. Diandra tertawa melihat Sebastian yang terlihat serius menembakkan bola ke ring kecil itu seperti sedang di pertandingan NBA.
"Wah, gaya banget! Cuma segitu doang skornya?" goda Diandra.
"Coba kamu sini, pameran lukisan boleh kamu menangi, tapi basket arcade? Siapa yang tahu?"
Ternyata Diandra cukup lincah. Bola demi bola meluncur masuk, dan skor akhir miliknya, melebihi Sebastian.
"Aku menang!" serunya sambil menepuk tangan.
"Okay, aku akui. Ternyata kamu diam-diam jago juga ya."
"Jangan remehkan perempuan yang bisa melukis dan bermain bola," ucapnya bangga.
Mereka lalu pindah ke permainan balap mobil. Diandra tampak fokus, memegang kemudi dengan serius sementara Sebastian mencoba mengalihkan perhatiannya.
"Awas, belokan tajam di depan!"
"Udah tahu!" celetuk sang gadis.
"Eh, kok kamu bisa hafal lintasannya?"
"Main beginian tuh soal insting," ucap Diandra sambil melewati mobil Sebastian di layar.
"Ya … aku kalah lagi," gumam Sebastian sambil tertawa.
Diandra tersenyum lebih lebar. Sikapnya tak lagi kaku seperti pagi tadi. Ada semacam kenyamanan yang tumbuh dalam dirinya, tidak disangka, Sebastian ternyata menyenangkan diajak seru-seruan.
Setelah mencoba permainan memukul monster, lempar bola, dan menembak zombie bersama, mereka sampai di depan mesin Dance Dance Revolution. Lampu berwarna-warni menyorot lantai dansa plastik itu.
"Okay, sekarang buktikan omonganmu tadi," tantang Sebastian.
"Siap, Tuan Formal. Ayo lihat siapa yang gerakannya paling keren."
Musik elektronik berdentum kencang saat permainan dimulai. Diandra melompat-lompat lincah, mengikuti arah panah dengan presisi. Sebastian di sampingnya tampak berusaha mengejar, namun sering tertinggal setengah ketukan.
"Wah, kamu serius banget, Di!" teriak Sebastian di tengah musik.
"Kan aku udah bilang. Jangan remehkan aku!"
Permainan selesai, Diandra menang telak. Mereka berdua terengah-engah sambil tertawa. Wajah Diandra merah karena kelelahan, tapi sorot matanya jelas berbinar.
"Ini … seru juga, ya," ucapnya sambil duduk di bangku dekat vending machine.
"Aku pikir kamu bakal bilang capek dan bosan," tukas Sebastian.
"Dulu aku pikir kamu itu kaku, ngebosenin, dan terlalu serius."
Sebastian menatapnya sejenak.
"Dulu?" ulangnya pelan.
"Iya. Sekarang, aku jadi bingung sendiri," ucap Diandra lagi.
"Bingung kenapa?"
Diandra memainkan botol air mineralnya sebelum akhirnya menatap Sebastian, wajahnya serius.
"Ternyata kamu perhatian. Kamu tahu apa yang aku suka. Kamu ngajak aku main kayak gini. Padahal kamu bisa aja ngikutin perjodohan itu secara formal, dinner mewah, obrolan basi. Tapi kamu nggak begitu."
Sebastian tersenyum.
"Aku nggak mau kamu merasa ini paksaan. Aku cuma pengin kamu tahu, bahwa meskipun hubungan kita dimulai dari rencana keluarga, aku pengin kamu bisa bahagia kalau dekat aku."
Kata-kata itu membuat Diandra sedikit tercekat. Dia menunduk sebentar, mencoba menata pikirannya.
"Hari ini, aku sangat senang," katanya pelan.
"Aku juga," balas Sebastian.
"Tapi ini belum berarti aku setuju dijodohin, ya," tambah Diandra cepat-cepat.
Sebastian terkekeh.
"He-he-he. Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma minta kesempatan buat nemenin kamu hari ini. Dan mungkin, besok, atau lusa, siapa yang tahu?"
Diandra tersenyum kecut.
"Kamu pintar ngomong juga, ya."
"Nggak juga. Aku cuma jujur."
Mereka lalu duduk bersebelahan dalam diam yang nyaman. Tak ada suara selain musik dari mesin permainan yang perlahan mulai terdengar jauh. Diandra melirik ke arah Sebastian. Dia terlihat santai, tidak menekan, tidak terburu-buru, dan itu yang paling melegakan baginya.
Setelah beberapa saat, Diandra berdiri dan merentangkan tangan.
"Yuk, satu permainan terakhir sebelum pulang."
"Permainan apa?"
"Claw machine! Aku mau boneka beruang itu."
Mereka pun berdiri di depan mesin capit. Diandra menunjuk boneka coklat besar di dalam kaca.
"Target terkunci. Siap, Bas?"
"Siap, Nona manis!"
Sebastian mengambil alih kontrol. Dengan penuh konsentrasi, dia mengarahkan capit, menyesuaikan posisi, dan capit turun dengan pelan, mengangkat boneka itu, sedikit terguncang, tapi cukup kuat untuk mengangkatnya keluar dari mesin.
"Yes!" teriak Sebastian.
"Kamu berhasil!" Diandra berseru girang, lalu memeluk boneka itu erat-erat.
"Itu buat kamu."
"Sebastian, kamu tahu, ini pertama kalinya aku dapat boneka dari cowok," ujar Diandra, matanya menerawang sebentar.
"Semoga bukan yang terakhir," jawab Sebastian sambil menatapnya lembut.
Mereka pun berjalan beriringan menuju lift, Diandra memeluk boneka beruangnya, dan Sebastian diam-diam merasa harinya telah sempurna.
Hari itu, Sebastian tidak hanya mengajak Diandra bermain, tapi juga menembus lapisan hati yang selama ini dipagari canggung dan keraguan. Dan kini, diw tahu, gadis itu perlahan mulai membuka pintu hatinya.
