Bab 6 Masa Lalu
Bab 6 Masa Lalu
Susan memaksa matanya untuk terpejam, walaupun dia tahu saat matanya terbuka pun dia tidak akan melihat apa pun. Dia semakin terisak dalam diam saat pria itu tidak juga berhenti melakukan sesuatu yang menurut Susan sangat menjijikkan.
Bahkan beberapa kali pria itu sudah mengeluarkan cairan ke dalam mulut Susan. Susan sampai memaksa tenggorokannya untuk menelan cairan itu dan membuatnya tersedak beberapa kali.
Susan masih terisak dalam diamnya dengan mata yang masih terpejam. Tiba-tiba pikirannya melayang ke beberapa tahun lalu, awal dimana takdirnya mulai tidak berpihak kepadanya.
Flashback
"Anak pembawa sial. Ini semua salahmu. Jika kamu tidak memaksanya untuk keluar, dia tidak akan mengalami kecelakaan itu." Lidya berteriak marah sambil menjambak rambut Susan dengan keras.
"Ma, aku...aku tidak. Aku--"
Perkataan Susan terpotong Lidya memperkuat jambakannya pada rambut panjangnya. Gadis itu hanya bisa meringis, tidak berani berteriak karena takut akan membuat mamanya akan semakin marah.
"Jangan mencoba untuk menyangkalnya sialan! Ini semua karenamu!! Kamu masih tidak ingin mengakuinya. Hah!" Lidya kembali berteriak tepat di depan wajah Susan. Tidak peduli dengan gadis itu yang sudah gemetar karena ketakutan.
"Dan kau! Kau harus bertanggung jawab atas semuanya!" ucap Lidya dingin dan tajam. Tangannya kemudian menghempaskan kepala Susan hingga membentur lantai.
Pagi ini, setelah pulang dari acara pemakaman sang ayah, Lidya langsung memarahinya habis-habisan karena berpikir dialah penyebab ayahnya mengalami kecelakaan mobil malam kemarin.
Ibunya tidak segan-segan menampar dan menjambak rambutnya hingga rasanya semua rambutnya bisa bisa terlepas dari kepalanya karena tarikan tangan Lidya yang sangat keras.
Susan tidak melakukannya. Dia bukan penyebab kecelakaan ayahnya. Dia hanya meminta ayahnya untuk mempercepat laju mobil saat mereka pulang dari bioskop, karena dia melihat ada mobil yang mengikuti mereka dari belakang.
Tetapi naas, situasinya memburuk ketika rem mobil mereka tiba-tiba tidak berfungsi disaat ayahnya sudah menambah kecepatan mobil.
Susan dan ayahnya sangat panik saat kejadian itu. Mobil yang sejak tadi mengikuti mereka bahkan sudah tidak terlihat lagi. Susan curiga orang itulah yang sengaja menyabotase rem mobil ayahnya.
Mobil semakin tidak bisa dikendalikan, dan saat ini mereka sedang berada di jalan dua arah. Sejak tadi ayahnya menekan klakson mobil agar berharap mobil di depannya menyingkir.
Ayahnya juga sudah berusaha keras menghindari kendaraan-kendaraan lain agar tidak menyebabkan kecelakaan.
"Ayah...," panggil Susan dengan nada ketakutan. Wajahnya sudah banjir oleh air mata sejak tadi.
"Tenanglah nak. Ini pasti akan baik-baik saja." Ayah Susan berusaha membuat Susan tenang dan tidak panik saat dia sendiri juga merasa panik luar biasa. Tetapi tidak, bukannya membuat Susan lebih tenang, gadis itu malah semakin ketakutan ketika tiba-tiba ekspresi ayahnya berubah drastis.
"Susan, kamu harus lompat. Keluar dari mobil!" Ayah Susan berteriak keras.
Seketika Susan terkejut, dia kemudian menoleh ke depan. Matanya semakin membesar ketika dia melihat ada turunan dengan tikungan tajam di sana.
"Ayah. Aku takut!" Susan menangis sekeras mungkin, dia tidak ingin mati sekarang. Tidak. Tidak. Dia bahkan belum tamat sekolah.
Pria yang sudah berumur sekitar tiga puluhan itu menoleh ke arah anak gadisnya yang sudah sangat pucat pasi. Air matanya tiba-tiba menetes, dia sudah tidak bisa berpikir lagi saat ini.
"Dengarkan ayah. Kamu akan baik-baik saja. Tidak akan ada yang terjadi, percayalah!" Tangan pria paruh baya itu menggenggam tangan putrinya sangat erat mencoba untuk meyakinkan Susan.
"Apa yang akan baik-baik saja ayah. Lihat di depan sana." Telunjuk Susan bergetar menunjuk ke arah berlawan dengan mobil mereka. Sebuah sorot cahaya besar sedang bergerak cepat dari arah depan.
Pria paruh baya itu melihatnya, dia bisa memastikan bahwa itu pasti sebuah kendaraan yang besar. Dia kemudian cepat-cepat menoleh ke samping kirinya lagi. Menatap mata bulat putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Susan dengar baik-baik. Kamu harus segera keluar dari mobil ini." Tatapan takut dan panik juga terlihat jelas di matanya pria paruh baya itu.
Susan menatap ayahnya dengan tatapan tidak suka. "Apa maksud ayah. Aku tidak akan meninggalkanmu sendiri. Tidak akan pernah!" Susan berucap dengan nada yang tegas, walaupun masih bisa terdengar ada nada ketakutan dalam suaranya.
"Jadi sekarang kamu akan membantah perkataan ayah?!"
Ekspresi Susan seketika berubah. "Ayah, aku tidak akan--"
"Sekarang Susan!" Teriak ayahnya karena mobilnya yang dikendarai mereka akan segera sampai ke jalan turunan maut itu.
"Tidak!! Tidak! Tidak!!" tolak Susan di tengah-tengah isakannya. Gadis mungil itu menggeleng-gelengkan kepalanya keras. Dia tidak ingin meninggalkan ayahnya sendiri dalam situasi ini,
"Sunny!!" bentak ayah Susan yang membuat tangisnya seketika berhenti. Gadis itu menoleh, menatap ayahnya dengan tatapan memelas, tidak berdaya dan sangat putus asa.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi tangan Susan membuka pintu mobil. Dia kembali terisak, tetapi tidak berusaha mengatakan apapun.
Sebelum gadis itu benar-benar melompat ke luar dari mobil, dia kembali menoleh ke arah ayahnya dan segera memeluknya dengan erat.
"Aku sangat menyayangi ayah. Maafkan aku." Susan tidak bisa menahannya, dia terisak dengan keras memeluk ayahnya dengan erat.
"Ayah juga sangat menyayangimu. Katakan pada mamamu, ayah sangat menyayanginya. Hiduplah dengan tenang. Ayah sangat mencintai kalian berdua." Pria paruh baya itu berucap serak, dan dia menangis. "Sekarang cepatlah. Cepat lompat dari mobil," lanjut ayah Susan mengendurkan pelukannya.
Susan lantas menganggukkan kepalanya lemah. Badannya kemudian memutar ke arah pintu mobil yang sudah terbuka sejak tadi. Mendekat ke pinggir kursi dan bersiap untuk melompat keluar.
Susan memejamkan matanya, lalu dengan sekuat tenaga mendorong tubuhnya keluar dari mobil yang sedang melaju cepat. Tubuhnya membentur aspal dengan keras, berguling-guling ke tepi jalan.
"Ayah sangat menyayangimu!" Teriakan terakhir dari ayahnya sebelum mobil itu melaju dengan kecepatan yang lebih tinggi karena jalan yang menurun.
Tubuh Susan terasa remuk, tetapi dia memaksa tubuhnya untuk bangun dan melihat mobil ayahnya yang saat ini berhadapan dengan truk besar yang sedang berbelok di tikungan. Dan...
BOOM
"AYAAAAHH," teriak Susan saat mobil ayahnya meledak menimbulkan kepulan api yang sangat besar saat menghantam truk besar itu tepat di tikungan tajam.
Tepat setelah itu Susan pingsan tidak sadarkan diri.
Sejak saat itu kehidupan Susan seakan terus diuji oleh takdirnya. Ibunya mulai membencinya, selalu menyalahkannya atas kematian ayahnya. Lidya tidak peduli dan tidak percaya dengan apa yang dijelaskan Susan. Dia selalu berpikir, jika Susan tidak mengajak ayahnya pergi untuk menonton ke bioskop malam itu, maka kecelakaan itu tidak akan terjadi, dan ayahnya pasti masih hidup saat ini.
Sejak saat itu pula ibunya selalu memperlakukannya dengan buruk. Menganggapnya sebagai budak di dalam rumah. Ibunya berubah menjadi wanita pemarah, dan selalu pulang tengah malam.
Tidak sampai di sana, Susan kembali menyalahkan takdirnya ketika ibunya yang tiba-tiba menjadi mucikari, dan yang lebih menyakitkannya adalah ibunya ingin menjualnya kepada pria-pria tua hidung belang.
Ibunya memaksanya dengan kekerasan, mendandaninya dengan paksa, lalu mengikat tangannya di kursi riasnya.
Beruntung Susan bisa melepaskan ikatannya dan kabur melalui jendela kamar. Dia memberanikan diri melompat dari lantai dua kamarnya, yang membuat kakinya terkilir atau mungkin patah.
Susan tidak mempedulikan keadaannya saat itu, dia segera berlari ke luar gerbang rumahnya. Tetapi seakan takdir sudah mengutuknya. Saat keluar dari gerbang sebuah mobil yang melaju dengan cepat menabrak tubuhnya dengan keras.
Kejadian itu kemudian membuatnya kembali menelan pil pahit, karena dia kehilangan penglihatannya. Dokter mengatakan dia mengalami kebutaan sementara.
Susan benar-benar terpuruk dengan kejadian itu. Dia menjadi pendiam, dan selalu mengurung diri di dalam kamarnya. Ibunya juga tidak berubah, masih kasar dan suka bermain tangan. Seakan tidak peduli dengan keadaannya, ibunya pernah menjualnya kembali. Tetapi Susan beruntung karena orang itu tidak menginginkannya karena keadaannya yang tidak lagi bisa melihat.
Susan masih terisak, mengingat kehidupannya sekarang benar-benar hancur. Dia merasa tidak berguna lagi. Bahkan menyesali kehadirannya di dunia ini.
'Ayah, Sunny ingin ikut ayah,' batin Susan dan setelahnya dia tidak mengingat apa-apa lagi.