Bab 5
Fajar menyingsing, menyibak cahaya redup melalui tirai jendela kamar.
Sheila membuka mata pelan-pelan, tubuhnya kaku setelah berjam-jam berbaring tanpa berani bergerak.
'Shit! Ternyata berpura pura lumpuh itu sangat menyiksa!' batinnya sambil mendengkus nafas kasar.
Pandangan pertamanya tertuju pada kursi di sudut kamar.
Gio masih duduk di sana, punggung lelaki tampan itu bersandar ke tembok, kepala sedikit menunduk. Matanya terpejam, tapi posturnya tidak rileks – bahu tegang, tangan terlipat di dada. Dia benar-benar tidur disana karena mencemaskan Sheila. Di lantai dekat kakinya, baskom berisi air yang kini sudah dingin, dan handuk terlipat rapi.
'Dia benar-benar berjaga semalaman?' pikir Sheila dengan perasaan campur aduk. Ada rasa jijik karena dia dijaga oleh "guru miskin" itu, tapi juga secuil rasa tidak nyaman karena pengorbanannya. 'Bodoh! Dia pasti cuma pura-pura baik karena takut pada Papa!'
Sheila menggerakkan jari-jari kaki dengan sangat hati-hati, memastikan gerakannya tidak terlihat dari balik selimut. Kemudian, dengan suara parau dan lemah, dia memanggil...
"Gio..."
Gio langsung membuka mata. Tersentak kaget seperti ada satu hal yang mengejutkannya.
Pria itu dengan cepat mengucek mata, waspada, seolah tak pernah terlelap. "Sheila? Kamu butuh apa? Air? Kamar mandi?" Dengan sigap Gio langsung bangkit dan mendekati tempat tidur, berlutut di sampingnya.
"Air... dan... aku perlu ke kamar mandi," bisik Sheila, menghindari kontak mata. Ini bagian tersulit dari rencananya. Bagaimana dia harus berpura-pura tidak bisa menggerakkan kaki sama sekali. Dia harus membiarkan Gio menyentuh, mengangkat, memandikannya? Rasa malu dan jijik yang nyata membanjiri diri Sheila.
"Baik," jawab Gio tenang. Dia pergi ke dapur kecil di apartemen, kembali membawa segelas air. Dengan satu tangan menyangga punggung Sheila, dia membantu Sheila minum. Sentuhan tangannya di punggung Sheila hangat dan kuat, membuat Sheila menahan napas. "Pelan-pelan," bisiknya.
Setelah minum, Gio berdiri tegak. "Aku akan bantu kamu ke kamar mandi. Ini mungkin tidak nyaman, tapi kita harus hati-hati dengan punggungmu." Dia membuka selimut dengan hati-hati. Sheila menutup mata, menahan isakan. Dia merasakan tangan Gio menyelipkan satu lengan di bawah punggungnya dan satu lengan di bawah lututnya. Sekali lagi, dia diangkat dengan mudah. Tubuh Gio kokoh, tegap dan... Berotot. Itu membuat Gio tampak semakin menarik di matanya.
'Kenapa dia tidak kikuk? Kenapa tidak menjijikkan?'
Dia dibawa ke kamar mandi. Gio menurunkannya dengan lembut di kursi plastik kecil yang sudah dia siapkan di depan wastafel. "Aku tunggu di luar. Panggil jika butuh bantuan," ucap Gio, meninggalkannya sendirian dengan pintu sedikit terbuka.
Ini kesempatan! Sheila segera merogoh saku tersembunyi di piyamanya.
Robin yang licik sudah memastikannya membawa ponsel kecil sekali pakai yang bisa diselipkan. Dengan gemetar, dia menekan nomor Robin.
"Robin! Ini aku!" bisiknya panik begitu sambungan tersambung.
"Sheila! Kamu baik-baik saja? Rencana kita berjalan lancar?" suara Robin tegang di seberang sana.
"Ya, aku sudah pura pura'jatuh' tadi malam. Sekarang aku pura pura 'lumpuh'. Tampaknya Gio akan membawaku ke dokter pagi ini! Kamu sudah atur doktermu?" Sheila membisik cepat.
"Sudah! Namanya Dr. Arman, spesialis ortopedi di RS Medika Sejahtera. Dia teman ayahku. Aku sudah kasih dia foto kamu dan ceritakan rencana kita. Dia akan bilang kamu mengalami trauma saraf tulang belakang, lumpuh permanen. Dia akan minta pemeriksaan MRI palsu nanti. Berapa jam lagi kamu ke sana?"
"Gio bilang setelah sarapan. Jadi mungkin satu jam lagi. Ke RS Medika Sejahtera, ya? Dr. Arman?"
"Ya! Ingat, aktingmu harus sempurna! Jangan sampai ketahuan. Dan... jangan biarkan dia menyentuhmu kecuali untuk keperluan aktingmu!" nada Robin agak cemburu.
"Tenang, Robin. Aku bisa. Pokoknya setelah ini, dia pasti mundur teratur. Aku jamin dia tak akan tahan mengurus istri lumpuh sepertiku! Dan saat itulah.... Papa akan melihatnya sebagai seorang suami yang tak setia...." Sheila menutup ponsel dan segera menyembunyikannya kembali. Jantungnya berdebar kencang. Dia berharap agar rencananya kali ini akan berhasil.
Ketika Sheila memanggil, Gio kembali masuk, membantu membersihkannya seperlunya.
Sentuhan yang sangat profesional dan tidak mesra, namun tetap membuat Sheila merah padam karena malu dan kemarahan. Dia dibawa kembali ke tempat tidur. Gio kemudian menyiapkan sarapan sederhana. bubur ayam hangat yang dibelinya dari warung dekat apartemen.
"Aku tidak lapar," Sheila membuang muka saat Gio akan menyuapkan bubur ke mulutnya.
"Kamu harus makan, Sheila. Tubuhmu butuh asupan nutrisi," ucap Gio dengan suara lembut tapi tak terbantahkan. Sendok itu tetap terkatung di depan mulutnya.
"Bau amis! Aku mual!" protes Sheila, menggeleng pelan dan mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
"Bubur ayam biasa. Tidak amis. Ayo, sedikit saja." Mata Gio menatapnya, tidak marah, tapi penuh keteguhan.
Dengan geram, Sheila membuka mulut dan menerima suapan itu. Rasanya... normal. Bahkan cukup enak. Tapi dia pura pura meringis seolah sedang memakan sesuatu yang menjijikkan.
"Ugh! Enyahkan ini! Aku tak suka rasanya! Rasanya seperti muntah!" dia memalingkan muka setelah beberapa suapan. Gio tidak memaksa, meletakkan mangkuknya di atas meja.
Sheila berharap dengan bersikap menyebalkan, akan membuat Gio semakin kesal dan segera meninggalkannya.
***
RS Medika Sejahtera terlihat mewah dan modern, sangat kontras dengan penampilan sederhana Gio.
Sheila diangkut dengan kursi roda yang disewa dari rumah sakit.
Selama perjalanan di taksi, dia terus memejamkan mata, berpura-pura kesakitan atau pusing. Gio diam, tapi perhatiannya tak pernah lepas darinya.
Mereka langsung diarahkan ke ruang pemeriksaan Dr. Arman. Dokter spesialis ortopedi yang akan menangani sheila.
Dokter itu sesuai deskripsi Robin. Seorang pria paruh baya, berkacamata, berwajah serius tapi ada sedikit kesan licik di matanya yang cepat mengamati Sheila dan Gio.
"Selamat pagi, saya Dr. Arman," dia menjabat tangan Gio dan mempersilahkannya duduk. "Jadi, pasien Sheila Aprilia Prawira ini kecelakaan jatuh tadi malam?" tanyanya sambil membuka file.
Gio mengangguk, menjelaskan kronologi kejadian dengan rinci dan tenang. "Dia mengeluh tidak bisa merasakan atau menggerakkan kaki sama sekali sejak kejadian, Dok. Dari pinggang ke bawah."
Dr. Arman mengangguk-angguk, berpura-pura serius. Dia mulai melakukan pemeriksaan fisik pada Sheila. Mengetuk lutut dengan palu.
Refleks Sheila berusaha mati-matian untuk tidak bereaksi. Menusuk kulit kakinya dengan jarum tumpul. Sheila menggigit bibir, memejamkan mata, dan menggeleng pelan saat ditanya apakah dia merasakan sesuatu. "Tidak... tidak ada rasa sama sekali, Dok," bisiknya lirih, berusaha menyertakan getaran ketakutan palsu dari suaranya.
Dr. Arman menyipitkan mata, berpura-puma memeriksa lebih dalam. "Hmm... Refleks saraf tidak ada. Tidak ada respons sensorik sama sekali." Gumamnya. Dia berdiri, wajahnya dibuat semuram mungkin. "Saya khawatir ada trauma signifikan pada tulang belakang lumbar nona Shella. Kemungkinan saraf terjepit atau bahkan putus akibat benturan keras saat jatuh." Dia menatap Gio dengan wajah muram.
"Kita perlu MRI untuk memastikan, tapi secara klinis, ini mengarah ke kelumpuhan sensorimotor total."
Wajah Gio pucat. Dia terkejut seperti tersambar petir
"Permanen, Dok?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
(bersambung)
