Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

"Permanen, Dok?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.

Sheila mengintip dari balik kelopak matanya yang setengah tertutup. Dia melihat kejutan dan kepedihan nyata di mata Gio.  'Bagus! Dia percaya!'

Dr. Arman menghela napas berat, menggeleng. "Sangat mungkin, Pak Gio. Trauma saraf tulang belakang tingkat berat seringkali irreversibel. Kami akan lakukan MRI untuk melihat tingkat kerusakan, tapi... persiapkan mental. Kemungkinan terbesar... Dia  akan lumpuh permanen. Sheila akan membutuhkan perawatan intensif dan kursi roda seumur hidup." Dia meletakkan tangan di bahu Gio. Menepuknya pelan. "Saya turut prihatin."

Gio menunduk, napasnya berat. Dia menatap Sheila yang berpura-pura pingsan ketakutan. "Terima kasih, Dok. Lakukan saja MRI-nya. Kita harus tahu kondisinya secara pasti." Suaranya berat, tapi tidak goyah.

Sheila merasakan kemenangan kecil. 'Ya! Berhasil! Sekarang dia pasti ketakutan! Bingung bagaimana harus melayani aku seperti seorang budak seumur hidup! Hahha' Sheila bersorak dalam hati.

Proses MRI adalah sandiwara berikutnya. Sheila dibaringkan di mesin besar yang menakutkan. Dr. Arman dan seorang teknisi (yang mungkin juga disuap) berpura-pura mengoperasikan mesin. Suara bising mesin benar-benar terdengar, tapi Sheila tahu ini rekayasa. Dia tetap diam, tidak bergerak.

Setelah "pemeriksaan", Dr. Arman kembali dengan "hasil".  sebuah film MRI yang tampak resmi.

"Sayangnya, dugaan saya benar," ujarnya dengan nada berat. Dia menunjuk ke beberapa titik di film itu yang sama sekali tidak dipahami Sheila. "Lihat di sini, kompresi hebat pada L1-L2. Ada indikasi kerusakan saraf yang parah. Sangat kecil kemungkinan untuk pulih." Dia menatap Gio. "Anda harus kuat, pak  Gio. Istri anda akan sangat bergantung seumur hidup padamu mulai sekarang. Perawatan di rumah, fisioterapi rutin, bantuan untuk aktivitas sehari-hari... ini komitmen yang besar."

Gio memandangi "hasil" MRI itu lama sekali, wajahnya seperti batu. Lalu, dia menatap Sheila. Ada begitu banyak emosi di matanya yang gelap. kesedihan, rasa bersalah, kekhawatiran, dan... tekad.

Tekad yang membuat Sheila sedikit merinding.

"Saya mengerti, Dok. Apa saja yang perlu kami lakukan? Fisioterapi rutin, obat-obatan?" tanya Gio, suaranya praktis, seolah sedang merencanakan strategi mengajar.

Dr. Arman sedikit terkejut dengan ketenangannya. Dia memberikan beberapa instruksi umum seperti: harus jaga kebersihan untuk mencegah luka tekan (dekubitus), latihan pasif untuk otot, jadwal fisioterapi dua kali seminggu, dan daftar suplemen saraf yang mahal. "Dan yang terpenting, dukungan emosional. Pasien dengan kondisi seperti ini sering mengalami depresi berat."

Gio mengangguk, mencatat semuanya dengan teliti di buku kecilnya. "Terima kasih, Dok. Kami akan menjalaninya."

***

Perjalanan pulang dalam taksi sunyi senyap.

Sheila duduk di kursi roda, memandang keluar jendela, berpura-pura terpukul. Wajahnya dibuat suram seperti orang yang sedang depresi.

Gio duduk di sampingnya, tatapannya kosong ke depan, pikirannya jelas berat. Sesekali dia melirik Sheila, lalu menarik napas dalam dalam.

Begitu tiba di apartemen, pertempuran sesungguhnya dimulai.

Gio mengangkat Sheila dengan lembut dari kursi roda dan menidurkannya di tempat tidur. "Aku akan siapkan makan siang," ucapnya singkat sebelum pergi ke dapur kecil.

Ini kesempatan Sheila untuk berulah. Saat Gio sibuk di dapur, dia mengambil gelas air di meja samping tempat tidur. Dengan hati-hati memastikan Gio tidak melihat, dia menjatuhkannya ke lantai.

PRAAANG!

Gelas kaca  pecah berhamburan di lantai.

Gio langsung muncul di pintu kamar. " Shela, Ada apa?"

"Aku... aku cuma mau minum. Tapi tanganku lemas... gelasnya jatuh," Sheila menjawab dengan suara lemas, berpura-pura menyesal. Di dalam hati, dia menantikan wajah kesal Gio.

Gio tidak berkata apa-apa. Dia mengambil sapu dan pengki, membersihkan pecahan kaca dengan teliti. "Lain kali kalau kau butuh sesuatu, panggil saja aku, aku yang akan ambilkan buatmu," ucapnya datar setelah selesai. "Makan siang sudah siap. Aku sudah masak Sup ayam."

Gio pergi ke dapur lalu kembali  dengan semangkuk sup ayam di tangannya.

Sheila, frustrasi karena rencananya membuat gio kesal, gagal total.

Sheila mengibaskan tangan. "Aku tidak mau sup! Aku mau sushi! Salmon sashimi dari Haru Sushi!"

Gio berhenti, menatapnya. "Kita tidak punya uang untuk itu, Sheila. Dan makanan mentah tidak baik untuk kondisimu sekarang."

"Tapi aku mau! Aku bosan makan makanan kampungmu!" teriak Sheila sengaja mengeraskan suara. "Aku kan lumpuh! Satu-satunya hiburan aku ya makan enak! Kamu tidak sanggup, kan? Tidak punya uang!? Dasar Guru miskin! Gaji dua juta sebulan mau merawat orang lumpuh? Mimpi!" Dia menyemburkan kata-kata dengan penuh kebencian, hinaan dan makian yang pastinya akan membuat Gio sakit hati.

Sheila memandangi Gio tajam-tajam, menunggu reaksi lelaki itu.

Wajah Gio berkerut. Ada kilatan sakit hati  di matanya, cepat sekali, lalu digantikan oleh keteguhan yang lebih dalam. Dia menarik napas panjang. "Makan supnya dulu. Masih hangat. Kalau kamu habiskan, nanti... nanti aku coba cari tahu tentang sushi itu." Dia menyuapkan sendok berisi sup ke mulut Sheila.

Sheila terkejut. Dia mengharapkan amarah Gio, balas memaki, atau setidaknya dia pergi sambil mengumpat.  Bukan... kompromi.

Dengan geram, dia menerima suapan itu dan menelannya dengan kasar. "Biasa aja!  rasanya tidak enak!" gerutunya.

Sepanjang siang, Sheila terus menguji batas kesabaran Gio.

Saat Gio mencoba memijat kakinya secara pasif (seperti saran dokter), dia menjerit kesakitan walaupun sentuhannya sangat lembut. "Jangan sentuh aku! Sakit! Kamu tidak bisa apa-apa! Kamu laki laki tak berguna!"

Lalu.. Sheila  sengaja "mengompol" di tempat tidur, padahal dia bisa menahan, hanya untuk mengerjai Gio dan mempermalukan dirinya sendiri.

"Apa aku harus bilang kapan mau pipis juga? Dasar bodoh!" Gio, tanpa mengeluh, membersihkannya dan mengganti seprai dengan wajah tanpa ekspresi.

Hari berikutnya Dia menolak fisioterapis pertama yang datang, mengatakan si terapis kasar dan tidak kompeten. Gio meminta maaf pada terapis itu dan menjanjikan akan mencari yang lain.

Selanjutnya Sheila mengeluh ruangan panas, lalu dingin, lalu bau, lalu pengap. Gio membuka jendela, menutupnya, menyalakan kipas angin kecil, mematikan, tanpa sepatah keluhan.

Setiap hinaan, setiap ulah, setiap tuntutan yang tidak masuk akal, dihadapi Gio dengan ketenangan yang membuat Sheila semakin frustrasi dan... semakin kehabisan akal!

Dia melihat keringat membasahi kemeja sederhana Gio, melihat lingkaran hitam di bawah matanya, melihat caranya menghemat uang dengan membawa bekal nasi dan telur untuk makan malamnya sendiri. Dia melihat tangannya yang kasar memegang sendok dengan lembut saat menyuapinya.

Malam tiba. Gio menyiapkan tempat tidurnya di lantai dekat tempat tidur Sheila, hanya beralaskan tikar dan selimut tipis.

"Kenapa tidur di situ? Seperti pengemis!" sergah Sheila dari atas tempat tidur.

"Supaya bisa dengar kalau kamu butuh bantuan di malam hari," jawab Gio sederhana, mematikan lampu utama. Hanya lampu tidur yang menyala.

Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya temaram, Sheila berbaring tak bisa tidur.

Kebenciannya pada Robin mulai muncul. 'Dia yang punya ide gila ini. Dia yang harusnya di sini merasakan betapa tersiksanya aku!'

Tapi Robin tidak ada. Yang ada adalah Gio, yang meski miskin, meski diremehkan, meski dihina, tetap bertahan. Bahkan, sikapnya malah semakin tenang, semakin fokus pada "tugasnya" merawatnya.

Dia mendengar napas Gio yang teratur dari lantai.

Perlahan, sangat perlahan, rasa bersalah yang lebih besar dari sebelumnya mulai merayap masuk, menggantikan sebagian amarah.

Dia teringat tatapan pedih Gio saat dokter menyatakan "lumpuh permanen". Tatapan itu bukan tatapan orang yang ketakutan karena beban, tapi lebih seperti... orang yang merasa gagal melindungi.

'Tapi dia tidak tahu ini hanya akting bulan?! Dia mengira aku benar-benar lumpuh karena diringa!'  bisik suara kecil di hati Sheila. 'Dan dia tetap di sini...'

Sheila  memejamkan mata erat-erat, mencoba memusatkan pikiran pada Robin, pada kehidupan mewah yang dia tinggalkan sementara, pada kebenciannya pada perjodohan. Tapi gambar yang muncul justru tangan Gio yang kasar namun lembut saat membersihkan wajahnya, caranya menatapnya tanpa penghakiman saat dia mengompol, caranya menerima hinaannya tanpa membalas.

'Tidak! Aku tidak boleh lemah! Ini semua salahnya juga! Dia yang mau menikahi aku karena perintah Papa! Dia akan menyerah! Pasti! Mungkin besok... atau lusa... dia akan bilang tidak sanggup dan pergi!'

Dengan tekad yang mulai retak, Sheila memaksa dirinya tidur.

Di lantai, Gio membuka matanya di kegelapan. Matanya yang tajam memandang langit-langit. Kerutan di dahinya dalam. Pikiran analitisnya, yang biasa dia gunakan untuk memahami materi pelajaran yang rumit, kini bekerja menganalisis setiap detil sejak "kecelakaan". reaksi Sheila yang tidak konsisten, ketakutan yang terasa dipaksakan, dan terutama, ketiadaan tanda trauma fisik yang signifikan selain memar kecil di tangannya.

Sebuah kecurigaan kecil mulai tumbuh, tapi dia memendamnya. Dia akan mengamati. Dia akan bersabar. Dan dia akan tetap menjalankan tanggung jawabnya, apapun yang terjadi.

Pertempuran fisik mungkin berakhir dengan "kelumpuhan" Sheila, tetapi pertempuran psikologis dan ujian karakter sesungguhnya baru saja mencapai intensitas yang menyengat. Kemenangan Sheila dalam mempertahankan kepura-puraannya terasa pahit, dan kekalahan Gio dalam menghindari beban itu justru menunjukkan kekuatan yang membuat musuhnya sendiri bimbang.

Jalan mereka masih panjang, berliku, dan dipenuhi kejutan yang bahkan tidak terbayangkan dalam rencana licik Robin sekalipun.

(Bersambung)

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel