Bab 4
Tiga hari berlalu sejak keputusan Pak Boby Prawira yang tak bisa ditawar tawar. Tiga hari di mana Sheila seperti hidup dalam kabut neraka.
Gadis itu mengurung diri dalem kamar, menolak makan, menolak bicara, hanya sesekali terdengar isakan atau benturan barang dari balik pintu kamarnya yang terkunci.
Setiap upaya Bu Endah untuk membujuknya, selalu berujung pada teriakan atau benda benda yang melayang membentur dinding.
Pak Boby tetap pada keputusannya, tak bergeming.
Undangan pernikahan sederhana namun elegan telah dicetak dan disebar ke keluarga dekat dan beberapa kolega bisnis terpercaya.
Hari H pun tiba. Sebuah gedung serba guna di kawasan elite Jakarta dipilih sebagai tempat akad nikah dan resepsi pernikahan antara Sheila dan Giofani Armani.
Dekorasi bernuansa klasik, didominasi putih dan krem, dengan sentuhan emas yang elegan, semua mencerminkan seberapa tinggi selera keluarga Prawira. Namun, ada hawa dingin yang menyelimuti ruangan, jauh lebih menusuk daripada hembusan udara AC. Bukan dari dekorasi, tapi dari mempelai perempuan.
Sheila berdiri di depan cermin di ruang persiapan, dibantu oleh penata rias dan penata busana. Gaun pengantinnya mewah, rancangan desainer ternama Ippan Gunwawan, berpayet dan berenda, membuatnya terlihat seperti putri dongeng. Tapi wajahnya adalah topeng.
Mata Sheila yang biasanya bersinar penuh kepercayaan diri atau kemarahan, kini kosong. Pipinya pucat meski diberi polesan blush on. Bibirnya yang tersenyum tipis terasa kaku. Dia tidak melihat pengantin cantik di cermin. Dia seperti sedang melihat tahanan yang dihias untuk eksekusi.
"Sheila, sayang... Kamu cantik sekali," bisik Bu Endah, matanya berkaca-kaca, mencoba menyentuh lengan putrinya.
Sheila menarik lengan itu dengan cepat. "Jangan sentuh aku, Ma." desisnya datar. "Cantik untuk siapa? Untuk guru honorer yang bahkan tak tahu cara memegang garpu dengan benar?"
Bu Endah menghela napas sedih. "Sheila... Gio itu baik. Beri dia kesempatan."
"Kesempatan untuk apa? Untuk memberiku hidup sengsara?" Sheila membalikkan badan. Hatinya berdesir penuh rencana Robin.
'Bertahanlah hari ini, Sheila. Besok, rencanamu akan dimulai. Dia akan lari dan tak akan pernah kembali' batin gadis itu sambil menyeringai tipis.
Di ruang persiapan lain, Gio berdiri tegak mengenakan tuksedo hitam sederhana namun elegan dan rapi. Rambutnya hitam pekat disisap rapi, mempertegas garis rahangnya yang tegas dan mata cokelatnya yang tenang.
Tidak ada ketegangan di wajahnya, hanya keseriusan.
Seorang paman dari pihak ibunya-- Pak Hadi, membetulkan dasinya.
"Tenang, Nak. Semua akan baik-baik saja," kata Pak Hadi.
Gio tersenyum kecil. "Saya baik-baik saja, Pakdhe." Pikirannya melayang pada ayahnya yang tak bisa hadir karena urusan satu urusan, dan pesannya: "Jalani dengan ikhlas, Nak. Wanita itu adalah takdirmu sekarang. Perlakukan dia dengan baik."
Gio menghela napas pelan. Dia datang karena permintaan Pak Boby, hutang budi keluarganya, dan rasa hormat. Cinta? Tidak. Tapi dia akan menjalankan peran dengan sebaik-baiknya.
***
Acara berlangsung kaku. Langgam musik klasik mengalun, tapi seolah tak mampu mencairkan kebekuan.
Saat Sheila berjalan diiringi ayahnya menuju pelaminan, langkahnya berat seolah kakinya di rantai dengan beban berat. Tatapannya lurus ke depan, menghindari sosok Gio yang berdiri tegap di ujung aisle.
Pak Boby menempatkan tangan putrinya di tangan Gio. Sentuhan itu membuat Sheila nyaris menarik tangan kembali. Ia merasakan tangan Gio, hangat dan agak kasar. 'tangan seorang guru miskin', bisik hatinya.
Gio merasakan kedinginan sikap sheila dari sikap gadis itu. Dia menatap wajahnya yang bagaikan patung cantik, membaca keputusasaan dan kebencian dari balik riasan make up-nya yang sempurna.
Gio meremas tangan itu perlahan, tapi Sheila bersikap semakin kaku.
Ijazah pernikahan dibacakan, sumpah diucapkan.
Suara Gio jelas dan tegas saat mengucapkan kalimat ijab sah. Sheila hanya terdiam sambil menunduk.
Saat menandatangani akta nikah, tangan Sheila gemetar membentuk coretan tak karuan, bertolak belakang dengan tanda tangan Gio yang tegas dan proporsional.
Acara resepsi berlangsung singkat. Sheila menolak berdansa. Dia hanya duduk di pelaminan, tersenyum tipis dan palsu. Dia menjawab seperlunya ucapan selamat dari para tamu undangan dengan sikap kaku dan datar.
Gio berusaha memimpin percakapan, menjawab pertanyaan tamu dengan sopan tentang dunia pendidikan yang asing bagi tamu elite Pak Boby. Beberapa kali Gio mencoba menyenggol tangan Sheila yang lebih sering terlihat diam melamun, namun gio hanya mendapat respon dingin.
"Selamat, Mas Gio. Semoga bisa membuat Sheila bahagia," ujar seorang sepupu Sheila dengan nada merendahkan.
"Terima kasih banyak," balas Gio dengan senyum tulus. "Semoga ke depannya penuh berkah dan kebahagiaan"
Sheila menatap piring di depannya, memainkan sendok dengan ujung jarinya yang bercat merah sempurna. 'Bahagia? Bersamamu? Ini jelas Mimpi buruk!'
***
Malam semakin larut. Suasana di apartemen kecil hadiah pernikahan dari Pak Boby terasa lebih mencekam daripada gedung pernikahan.
Sheila langsung menuju kamar utama, membanting pintu. Hatinya berdegup kencang.
'ini dia. Malam pertama. Awal rencana untuk menendang laki laki itu dari hidupku!'
Sheila buru buru mengganti gaun pengantinnya dengan piyama satin mahal, lalu meremas-remas selimut. Dia harus membuat Gio jijik atau marah.
Gio membuka pintu kamar perlahan. Lelaki berpostur tegap dan atletis itu sudah berganti pakaian dengan kaos dan celana training pendek.
Sheila duduk kaku di depan cermin rias sambil menghapus sisa sisa make-up nya.
"Aku... butuh istirahat, Gio," ucap Sheila tiba-tiba, suaranya keras dan penuh penekanan. "Jangan dekat-dekat aku!" Dia menoleh, menatap gio dengan satu tatapan tajam.
Gio berhenti di ambang pintu. Dia tidak terkejut. "Aku mengerti, Sheila," ucapnya tenang. "Hari ini berat untukmu. Untuk kita berdua."
Sheila menatapnya, bingung. Kenapa tidak marah? Kenapa memanggilnya 'Sheila' dengan suara lembut?
"Kita tidak perlu memaksakan apa-apa malam ini," lanjut Gio, mundur ke luar kamar. "Tidurlah. Aku akan tidur di sofa." Matanya memandang Sheila dengan pengertian yang dalam "Kalau butuh apa-apa, panggil saja." Dia menutup keluar sambil menutup pintu kamar apartemen.
Klik!
Sheila terduduk kaku. Napasnya tersengal. Rencananya gagal sebelum dimulai! Gio mundur dengan tenang dan sopan. "Tidurlah." "Aku di sofa."
Kalimat-kalimat itu berputar di kepalanya. Yang paling menjengkelkan - Gio tidak memanggilnya 'Sheila Aprilia' lengkap seperti biasa, tapi 'Sheila' saja. Itu terasa merendahkan.
'Baiklah' bisiknya gigi gemeretak. 'Rencana pura-pura lumpuhakan dimulai malam ini!'
Dia menunggu hingga Gio tertidur. Setelah satu jam, dan memastikan jika Gio sudah terlelap. Dengan hati-hati Sheila membuka pintu.
Ruang tamu gelap, siluet Gio terbaring di sofa panjang. Napasnya teratur.
Sheila melangkah keluar dengan mengendap endap menuju ke arah dapur. Di ambang pintu, dia mengatur napas.
Di pantry, Sheila sengaja menabur minyak makan.Sengaja menginjaknya, pura pura terpeleset, tapi dia benar benar jatuh terjerembab.
"Aduh!" Teriaknya. Tubuhnya terjungkal ke depan, tangan menabrak lantai keramik.
BUGH!
Sakit di tangannya nyata. Dia mengerang kesakitan, tidak bergerak.
Langkah kaki cepat terdengar mendekat. Lampu menyala. Gio berjongkok di sampingnya.
"Sheila! Apa yang terjadi?" Tangannya menyentuh pundak Sheila yang terlungkup di lantai pantry.
"Ahh... sakit... kakiku... Aku kepelesett!!" Sheila merintih, menngerang sambil memejamkan mata.
Gio terperanjat. Ada bekas tumpahan minyak di lantai kamar mandi. Tapi siapa yang melakukannya?
"Aku... tidak bisa... tidak bisa merasakan kakiku, Gio! Sakit!" Dia berpura-pura gagal menggerakkan kaki. "Aduh... aku jatuh... Tempurungku kakiku seperti retak! Sakittt!" Jerit Sheila dengan aktingnya yang sempurna. "Aku tidak bisa menggerakkannya!"
Gio tidak langsung bicara. Matanya menyapu tubuh Sheila. Ada kerutan di dahinya. Dengan gerakan hati-hati, dia menyelipkan lengan di bawah punggung dan lututnya.
"Jangan bergerak," bisiknya, mengangkat tubuh Sheila dengan mudah. Kontak fisik itu mengejutkan Sheila. Tubuh Gio hangat dan kokoh. aroma parfume yang maskulin , menguar dari tubuhnya.
Gio membawa Sheila ke tempat tidur. "Dimana yang sakit? Leher? Punggung?" tangannya siap memeriksa.
"Kaki... kakiku," Sheila memastikan suaranya lemah. "Dari pinggang ke bawah... mati rasa..." Dia memejamkan mata berpura-pura pingsan.
Gio berlutut di samping tempat tidur. Sentuhannya lembut di pergelangan kakinya. "Bisa kamu rasakan ini?"
Sheila menggeleng pelan. "Tidak... tidak ada..."
Jemari itu berpindah ke betis, lalu paha. Sentuhannya ringan tapi terasa seperti api bagi Sheila. "Disini?" tanya Gio.
"Sedikit... dingin..." jawab Sheila.
Gio menarik napas dalam. Dengan hati-hati, dia menarik selimut menutupi tubuh Sheila. "Jangan bergerak dulu. Aku ambil air dan handuk hangat. Besok pagi kita harus ke dokter."
Dia berdiri. Sheila membuka matanya sedikit, melihat punggung Gio menghilang.
'Dokter? Besok pagi?' Pikirannya berputar. 'Rencana Robin! Dokter kenalannya harus disiapkan!' batin Sheila. Tapi ponselnya ada di tas di ruang tamu.
Gio kembali membawa baskom air hangat. Dengan sabar, dia membasuh wajah Sheila yang berkeringat dingin. Laki laki itu terlihat cemas.
Sentuhannya di dahi dan pipinya sangat lembut. Kemudian, dia meletakkan handuk hangat di perut bagian bawah Sheila. "Untuk menghangatkan," ucapnya. "Cobalah tidur. Aku akan stanby di sini." Dia menarik kursi di sudut kamar, mendudukinya, matanya tak lepas dari Sheila.
'Dia akan di sini? Sepanjang malam?' Pikiran itu membuat dada Sheila sesak. Ini bukan rencananya. Dia ingin Gio jijik dan pergi, bukan merawatnya.
Rasa bersalah kecil mulai menggerogoti amarahnya. Tapi bayangan Robin dan kebenciannya lebih kuat. Dia mengeraskan hati. 'Lakukan saja! Dia pasti menyerah besok atau lusa... Atau ... Sampai dia benar benar muak harus melayani istri lumpuh yang tak berguna!'
Sheila memejamkan mata berpura-pura tidur, sambil merencanakan cara menghubungi Robin besok pagi.
Malam pertama yang gagal total ini menjadi awal drama yang lebih rumit. Di kursi kecil itu, Gio duduk berjaga, matanya mengamati setiap tarikan napas istrinya yang baru. Pertempuran dalam diam telah dimulai.
(Bersambung)
