

BAB 8
HAPPY READING
***
Kini Tobias dan Raisa sudah berada di café Aroma, mereka keluar dari mobil. Raisa melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 08.01 menit. Jujur ia tidak bisa menghindar lagi dari Tobias. Pria itu benar-benar memporak porandakan hatinnya dalam sekejap.
Ia melihat area café yang baru saja di buka, mereka masuk ke dalam lobby. Ia mengedarkan pandangannya kesegala penjuru café, cofe shop, yang masih tampak lengang mungkin karena baru buka. Ia mentaap ada beberapa orang yang duduk di table kosong.
Tobias dan Raisa melangkah menuju meja kasir, mereka ke sini tidak mungkin hanya duduk tanpa memesan apa-apa. Mereka perlu secangkir kopi untuk pembicaraan yang panas.
“Kamu pesan apa?” Tanya Tobias melihat ke arah table menu.
“Caramel macchiato dan savory pies,” ucap Raisa.
“Saya hot tea dan sandwiches.”
Raisa menatap Tobias yang berada di sampingnya, ia tahu kalau Tobias bukan pria yang pecinta kopi dia tea addict, bukan tidak suka melainkan lambungnya tidak cocok dengan kopi. Mereka pernah bersama, ketika bangun pagi pria itu memulai harinya dengan secangkir teh hangat kegemarannya. Di rumahnya memiiliki cukup banyak varian rasa teh diberbagai negara, dia akan memilih minum itu sesuai dengan mood nya.
Ia ingat, mereka pernah minum teh bersama saat sedih, setelah itu mood mereka kembali membaik. Ia ingat kata-kata Tobias dulu, “I’ve tried other beverages, but none give me that warm, safe feeling inside like tea does.” Dia sudah mencoba minuman lain, tetapi tidak ada yang memberinya perasaan hangat dan aman seperti teh.
Tobias dan raisa menatap barista menyiapkan pesanan mereka secara sistemaatis, setelah itu pesanan mereka sudah tersaji di tray. Tobias membayar tagihan bill, setelah itu membawa tray itu ke table kosong di dekat jendela. Mereka duduk berhadapan, suasana café masih tampak lengang, kebanyakan yang datang ke sini para pekerja yang membeli take away.
Raisa meraih cangkir berisi kopi hangat itu, ia menyesapnya secara perlahan. Secangkir kopi ini sepertinya tidak bisa menenangkan hatinya, saat ini di dalam hatinya penuh dengan kekhawatiran. Tidak hanya saat ini, sejak tadi malam ia juga tidak bisa tidur nyenyak memikirkan Tobias. Andai ia tahu klien nya bernama Niva itu bukan dari pasangan Pevita dan Tobias, ia bersumpah tidak akan menerimanya.
Oh Jesus! Apa yang pria ini lakukan padanya? Benteng yang ia bangun dengan sekuat tenaga bertahun-tahun lamanya, dalam waktu 24 jam kini runtuh begitu saja. Aroma parfum pria itu masih sama seperti yang dulu tidak ada yang berubah. Panampilannya pria itu justru lebih berkharisma dibanding yang dulu.
Ada baiknya ia memang berterus terang saja, karena sudah tertangkap basah, garis wajah sang anak dan ayah kandungnya tidak bisa bohong. Tes DNA juga sama saja, pasti hasilnya 99% akurat.
Tobias menarik nafas, memandang Raisa, ia meletakan cangkir tehh di meja, “Siapa nama lengkap Angel?” Tanya Tobias.
“Melanie Angela, dipanggil Angel,” ucap Raisa, ia memberi nama itu karena maknanya pemimpin yang berani dan kuat.
“Nama yang bagus.”
Merka terdiam beberapa detik, suasana mendadak hening. Raisa berharap kalau Tobias tidak mendengar debaran jantungnya.
Raisa menatap Tobias, ia tahu kalau di sini bukan tentang menanyakan nama Angel, tapi tentang semua kehidupnya, itu hanyalah kata pembuka. Ia melirik Tobias, ia tatap mata tajam itu membalas tatapannya. Nyalinya tiba-tiba ciut begitu saja, jantungnya sungguh ingin keluar sekarang juga.
“Umurnya berapa?”
“Tiga tahun, jalan empat,” ucap Raisa.
“Kamu belum menikah kan?”
Raisa menelan ludah, “Itu bukan urusan kamu.”
“Ya, memang bukan urusan saya. Saya tidak peduli kamu sudah menikah atau tidak. Tapi Angel tetap urusan saya,” ucap Tobias datar.
“Kamu tidak punya hak atas Angel, Tobi.”
Tobias menahan geram, bisa-bisanya Raisa mengatakan kalau Angel tidak punya hak atasnya, pernyataan apa seperti itu, sejak kapan anak dari hasil hubungan mereka, ia tidak memiliki hak penuh atasnnya.
“Berhentilah untuk mengelak lagi Raisa!”
“Saya ayah biologisnya! Sejak kapan saya tidak punya hak untuk Angel!”
“Justru saya bisa menuntut kamu, karena kamu sudah menutupi semua ini dari saya. Bayangkan saja, empat tahun saya terombang-ambing seperti pria kolot, tidak tahu apa-apa tentang anak saya!”
“Kenapa kamu merahasiakan ini dari saya! Kenapa kamu tega melakukan ini kepada saya!” Tobias menggeram, emosinya sudah tidak terkontrol lagi.
Raisa mencoba untuk bertahan tetap berada di table, rasanya ia ingin menangis saja, melihat tatapan kemarahan pada pria itu. Ia memegang tas nya hingga buku-buku tangannya memutih. Oh Tuhan, apa yang harus ia lakukan kepada laki-laki ini!
Raisa kembali menatap Tobias, ia tahu kalau pria itu menahan amarahnya, “Does it matter?” ucap Raisa pelan, seakaan minta Tobias untuk melupakan tentang kejadian dulu.
Justru itu akan membuat Tobias tidak terima, “It matters,” tandas Tobias.
“Kenapa kamu melakukan ini kepada saya?” Tanya Tobias.
Raisa menarik nafas, ia berusaha untuk tenang, namun percuma ia tidak bisa, ketegangan ini membuat kepalanya pusing. Ia tidak membantah ucapan Tobias atas anaknya, ia menurunkan ego nya, percuma saja jika mereka sama-sama emosi, ujung-ujungnya tidak ada titik temu.
“Pertama-tama saya minta maaf kepada kamu. Saya sungguh minta maaf.”
“Saya tahu kamu marah sama saya, kamu boleh mencaci maki saya, boleh marah juga, itu manusiawi. Apapun yang kamu pikirkan tentang saya, saya bisa terima.”
“Saya tidak bisa mengelak lagi, saya juga sudah tertangkap basah dan membenarkan kalau kamu adalah ayah biologis dari Angel.”
“Ingat, bahwa kita sekarang adalah dua orang masa lalu. Sekarang kamu punya kehidupan tersendiri, dan sayapun begitu.”
Raisa menatap Tobias, ia sebenarnya bingung bagaimana menjelaskan kepada Tobias tentang ini, namun ia harus cerita apa yang telah terjadi pada dirinya.
“Hubungan saya dan kamu dulu hanyalah sesaat. Kita dulunya hanya mengisi kekosongan saja. Kamu ingat dulu kita patah hati disaat yang sama. Hubungan kita tidak jelas, tidak ada status! Kita hanya have fun, bersenang-senang saja, itupun tidak berlangsung lama!”
“Saya yang terlalu bodoh atau kamu yang tidak aware. Kita sama-sama tidak berpikiran seperti ini sebelumnya. Saya sadar bahwa waktu itu kita tidak memiliki status hubungan. Kita hanyalah dua manusia kesepian.”
“Lalu kamu memberi tahu saya, kamu memutuskan untuk pergi ke New York. Katanya kamu sedang menjalankan bisnis orang tua kamu di sana sambil pelan-pelan menata hati. Kamu pergi dan saya masih menetap di Jakarta.”
“Setelah kamu pergi, saya justru berbadan dua. Jujur saya sangat terpukul saat itu, hati saya bukan membaik justru tambah patah. Saya menangis seharian mendapati tespack bergaris dua. Saya tidak bisa menyalahkan kamu saat itu, karena kita tidak memiliki ikatan apapun pada hubungan kita.”
“Saya beranggapan, inilah hidup yang harus saya hadapi. Ya saya benar-benar terpuruk saat itu, saya patah hati lalu ditambah saya berbadan dua. Saya hanya bisa menangis dihadapan orang tua saya. Orang tua saya tidak mencoba menghakimi saya saat itu, tidak membuat situasi menjadi lebih buruk. Namun saya tetap lebih menutup diri dari orang luar sana.”
“Saya ingat kata-kata mama saya. “Mama saya bertanya, ayahnya sudah tau? Kalau mama boleh tau, ayahnya siapa? Kamu tenang saja, mama tidak akan ikut campur kalau kamu tidak minta.” Saya tidak menjawab, karena memang bukan mantan saya menghamili saya.”
“Saya sangat bersyukur kalau kedua orang tua saya support penuh kepada saya. Jika sudah berhubungan badan apalagi lebih dari sekali, resiko kehamilan itu pasti ada. Orang tua saya tidak bertanya tentang ayah dari Angel lagi, karena tidak mau membuat saya lebih terpuruk. Jujur saat itu saya sudah tidak bisa mikir lagi. Selain menghindari media!”
“Papa saya pernah mengatakan, ‘tidak apa-apa tidak menikah, menikah itu bukan solusi menurutnya. Karena menikah itu kesepakatan berdua antara anak saya dan pasangan, bukan unsur paksaan. Apalagi ayah dari bayi itu tidak bersedia menikahi anak saya. Single mom, why not?”
Tobias mengerutkan dahi, ia tidak terima atas ungkapan itu, baginya Raisa lah yang salah. Siapa yang tidak mau bertanggung jawab seandainya wanita itu memberitahu atas kehamilannya empat tahun lalu. Ini benar-benar tidak masuk akal, ia sejak dulu diajar bertanggung jawab apapun masalahnya. Oh God, bagaimana bisa Raisa berpikiran kalau dirinya tidak bertanggung jawab,
“Dengar Raisa!”
“Kita melakukan itu atas dasar konsensual. Saya dan kamu itu punya tanggung jawab besar yang sama atas kehamilan terjadi. Kamu pikir empat tahun lalu saya tidak dewasa? Saya sudah berkepala tiga saat itu, saya sudah memimpin perusahaan! Apa kamu pikir saya masih anak-anak ABG, hah!”
“Pernyataan kamu, seakan saya ini laki-laki brengsek tidak mau tanggung jawab. Saya di sini turut adil dalam kehamilan kamu!”
“Yang paling saya benci dari kamu, kamu tidak menghubungi saya saat itu! Kenapa kamu tidak menghubungi saya! Apa sih salahnya menggunakan ponsel kamu, untuk whatsapp saya? Apa gunaya smartphone? Hanya butuh berapa detik buat kamu memberi informasi kepada saya atas kehamilan kamu!”
“Kamu justru malah memilih menghilang. Damn! Kamu harusnya memikirkan saya! Kalau kamu sudah memutuskan mempertahankan kehamilan kamu, ya pertahankan, diskusikan kepada saya, saya tidak kabur!”
“Andai kamu kasih tau saya! Saya balik saat itu juga dari New York ke Jakarta buat nikahin kamu saat itu juga!”
“Ini apa yang terjadi sama saya! Saya seperti pria pengecut yang tidak bertanggung jawab dihadapan orang tua kamu.”
“Andai saya tidak bertemu kamu kemarin, saya tidak tahu apa-apa tentang kamu!”
“Saya justru bersyukur kemarin Christie menanyakan tentang Angel kepada kamu. Nama Angel seolah tidak lepas dari ingatan saya.”
“Apa yang kamu lakukan kepada saya itu benar-benar kolot! Tidak masuk akal!”
“Kamu pikir saya tidak mau menikahi kamu?”
“Kamu pikir saya tidak mau bertanggung jawab?”
“Kamu pikir saya tidak memikirkan kamu setelah kita berpisah?”
“Ketika saya tiba di New York, akses saya menghubungi kamu terputus begitu saja. Bahkan manager kamu yang lama, memilih bungkam saat saya menanyakan kabar kamu! What the hell! Ternyata kamu menutupi kehamilan kamu!”
“Dan kamu harus tau! Kalau saya di sini punya hak atas Angel.”
Raisa menarik nafas, ia mengangguk, “Iya, kamu punya hak atas Angel. Nanti saya akan ngomong baik-baik dengan Angel, kalau kamu adalah ayahnya. Bagaimana dengan Pevita? Bagaimana dengan pernikahan kalian?”
Tobias tertawa, “Persetan dengan pernikahan saya!”
“Maksud kamu?” Ucap Raisa tidak mengerti.
***
