

BAB 6
HAPPY READING
***
“Kapan ibu Pevita sempat ke Senayan City,“ ucap Christie.
Pevita mencoba berpikir beberapa detik, “Besok kita bisa, jam pulang kerja seperti ini, iya kan sayang,” gumam Pevita sambil memandang Tobias.
“Iya, saya bisa,” ucap Tobias.
“Bagaimana ibu Raisa?”
Raisa menarik nafas, ia mengangguk, “Iya, saya bisa.”
“Berarti kita bertemu besok di Senayan City di jam yang sama seperti ini.”
Raisa berharap urusan fitting wedding gown semoga besok sudah selesai. Setelah itu ia tidak akan berurusan lagi dengan Pevita dan Tobias. Ia akan menyerahkan semuanya kepada asistennya, karena ia sudah terlanjur kecemplung mengurusi fitting ini jadi proses nya harus selesai Minggu ini. Ia akan bertemu lagi dengan Pevita dan Tobias ketika hari H, tiga bulan kemudian.
Raisa melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 19.00, mereka lalu menuruni tangga melangkah menuju ruang tunggu. Seperti biasa Christie menjamu klienya, dengan percakapan ringan. Di ruang tunggu sudah tersedia minuman segar orange jus dan kudapan. Staff menyapa mereka dengan ramah, menyuruh mereka duduk dulu sebelum pulang.
“Silahkan, ibu Raisa, ibu Pevita dan pak Tobias, di minum dulu.”
Mereka lalu duduk di sofa, sambil menatap ruang studio milik Christie yang menurutnya sangat memanjakan mata. Raisa mengambil gelas bertangkai tinggi itu, dan meneguknya secara perlahan. Dengan meminum orange jus ini setidaknya membuat hatinya lebih tenang.
Entah kenapa ia merasa kalau Tobias masih memperhatikannya. Padahal AC di studio ini sudah dingin, ia merasa tetap saja hawanya panas. Terlebih percakapan ia dan Tobias di dalam ruangan Christie, membuatnya gerah. Gerahnya tidak hilang-hilang hingga saat ini.
Raisa meletakan lagi gelas di meja, ia berkonsentrasi pada dirinya sendiri, inginnya meninggalkan meja ini karena tugasnya sudah selesai. Namun sungguh ia merasa tidak sopan jika melakukan ini kepada Christie dan klien nya. Ia masih menunggu dengan sabar dan ia tidak mau terburu-buru, karena jika ia melakukan itu, sangat tidak sopan menurutnya.
“Bagaimana rasanya bu Pevita, sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan?”
Pevita tersenyum, “Rasanya sangat luar biasa, deg-deg kan sih, tapi happy juga sampai ke detik ini.”
“Tiga bulan itu termasuk persiapan yang sebentar loh bu Pevita. Nanti tau-tau sudah hari H.”
Pevita tertawa, “Iya, nih rasanya juga cepet banget, set sat set, eh bentar lagi bakalan jadi istri orang.”
“Nunda dulu atau langsung nih?”
Pevita kembali tertawa, “Kalau bisa langsung, nggak pakek tunda-tunda, berharap kalau setelah nikah langsung diberi momongan.”
“Semoga bu, biasa habis nikah langsung pada isi.”
“Semoga aja, berharap seperti itu.”
Christie menatap Raisa, “Oiya bu Raisa. Katanya Angel udah sekolah ya bu?”
Oh God! Kenapa Chritie membahas tentang Angel. Padahal sedari tadi ia berdoa agar Christie jangan pernah membahas tentang Angel. Jujur ia dulu sering membawa Angel ke sini sebelumnya, ia juga tidak kepikiran kalau Christie membahas ini di antara percakapan mereka. Ia tidak berekspetasi akan seperti ini. Ia ingin rasanya terjun ke jurang saat itu juga.
Raisa mengangguk, “Iya sudah.”
“Preschool ya bu?”
“Iya, preschool.”
“Di mana bu?”
Raisa menelan ludah, ia tidak mungkin mengabaikan pertanyaan itu, “The Independent School of Jakarta.”
“Kalau tidak salah anaknya Rachel Venya, sekolah di situ juga ya.”
“Katanya sih begitu, tapi kayaknya beda kelas sama Angel.”
Tobias mengerutkan dahi, ia mencoba mencerna percakapan Christie. Angel itu anaknya Raisa? Raisa punya anak? Berarti sudah menikah? Menikah dengan siapa? Tobias menyipitkkan matanya, karena diisi kepalanya penuh dengan tanya. Ia tahu kalau ia bertanya lebih lanjut, maka ia terlihat terlalu mencampuri urusan orang, apalagi dia Raisa. Namun ia ingin tahu siapa suami Raisa? Jika sudah sekolah, berarti dia sudah menikah lama? Kapan mereka menikah? Kenapa ia tidak tahu?
“Angel siapa?” Tanya Tobias penasaran.
“Anaknya ibu Raisa, biasa dulu sering di bawa ke sini, ketemu klien. Namun akhir-akhir ini ibu Raisa jarang membawa Angel. Kata staff nya, Angel sudah mulai sekolah, jadi tidak di bawa. Padahal staff-staff di sini pada kangen sama Angel.”
“Kalau dulu Angel masih kecil, selalu di bawa ke sini. Staff-staff di sini sering membawa Angel main, kalau bu Raisa sibuk ngurusin klien.”
Tatapan Tobias teralihkan pada sosok Raisa yang berada tidak jauh darinya. Wanita itu hanya diam, ia tahu diam nya Raisa itu tandanya dia gelisah,
“Wah, nggak nyangka ya kalau ibu Raisa sudah punya anak,” ucap Pevita.
What the hell! Ke mana saja dirinya selama ini? Kenapa ia baru tahu Raisa memiliki anak! Dia betul-betul seperti siluman. Tiba-tiba menghilang dan memiliki anak. Satu detik selanjutnya ia melarikan tatapannya ke arah Raisa, jujur ia mulai penasaran dengan kehidupan Raisa. Ia melihat ekspresi Raisa sepertinya dia mulai agak panik. Ia tidak tahu apa yang dia panikan. Ia menatap sejajar, namun wanita itu masih enggan menatapnya. Ia ingin sekali meneriakan namanya kenapa ia tidak tahu selama ini, namun ia tahan.
“Anaknya lucu loh pak. Namanya juga anak-anak pasti lucu ya,” Christie tertawa.
“Iya, kebetulan saya juga suka anak-anak,” ucap Tobias tenang.
Raisa tidak menjawab lagi pertanyaan itu, ia memilih bungkam. Ia ambil lagi gelas di atas meja dan meneguknya. Ia melirik Tobias yang sedang mempertikan dari kejauhan. Ia menelan ludah, ia berharap kalau Tobias tidak mengulik tentang Angel. Sepertinya pria itu tidak berhak mengulik tentang kehidupannya, baru saja bertemu Tobias, apa yang ia sembunyikan kini terbongkar begitu saja dari mulut orang lain.
Mata Tobias sibuk berlari ke sekujur tubuh Raisa, kulitnya putih ia pernah menyentuh kulit itu, kulitnya yang putih susu sehalus satin kalau dipegang. Ia menatap bagian dada, terlihat sedikit lebih berisi, ia pernah menguburkan wajahnya di antaranya sampai ia pingsan kehabisan oksigen. Bkongnya yang berisi, bisa diremas saat membiarkan dirinya mendominasi dari atas atau ia tampar jika dari belakang. Ia tahu posisi apa yang Raisa suka? Apapun itu ia tahu karena mereka pernah bersama.
Oh Jesus! Dari mana datangnya pikiran tidak senonoh ini? Ia tahu kalau ia dilahirkan sebagai laki-laki gairh yang sehat, ia biasa menahan diri memikirkan s*ks, frekuensi berhubungan intm dengan Pevita juga setahun ini tidak seintens dulu saat pertama. Baru saja ia bertemu dengan Raisa, bisa-bisanya ia berpikiran seperti itu, padahal ia bertemu dengan Raisa belum sampai dua jam lamanya. Setidaknya ia berhubungan intm saat ngedate ketiga. Ia menyilangkan tangannya di dada, ia tidak seharunya berpikiran seperti itu, apalagi ia akan menikah.
Shit! Sekarang ia benar-benar gila, jika ia tidak mengetahui tentang kehidupan Raisa ia akan gila. Ia tahu sekarang ia dan Raisa berbeda, namun dia pernah menaruh perhatian sepecial padanya sejak dulu, dan dia memberi rasa percaya diri yang lebih dari cukup.
Namun saat ini ia meragukan dirinya sendiri, dengan siapa dia menikah? Pria beruntung mana menikahinya? Jujur ia tidak suka dengan perasaan ini sama sekali, terutama ini datang dari Raisa, wanita yang dulu pernah menarik perhatiannya.
“Sepertinya saya buru-buru mau pulang, ini sudah malam,” ucap Raisa memutuskan percakapan, ia harus pergi dari sini sebelum Tobias mengulik kisah hidupnya.
“Ah, iya kita juga mau pulang juga bu Raisa,” ucap Pevita tersenyum.
Mereka bertiga berpamitan pulang kepada Christie, “Sampai ketemu besok di Senayan City,” ucap Christie.
Raisa melangkah keluar dari studio, ia buru-buru masuk ke dalam mobil. Ia melirik mobil yang tidak jauh darinya, ia melihat Tobias dan Pevita masuk ke dalam. Jantungnya kembali berdegup kencang, pria itu menatapnya dari kejauhan. Lalu ia terdiam beberapa detik menyadari kalau Tobias melihat plat nomor mobilnya. Itu yang semakin membuatnya tidak tenang. Seolah-olah sebentar lagi ia akan mendapati ancaman dari pria itu.
Raisa lalu segera memanuver mobilnya, bergerak membelah jalan. Inginnya menggoreng Tobias saat ini juga. Ia benar-benar frustasi sendiri, kenapa tadi ada pembahasan tentang Angel. Ia juga tidak bisa menyalahkan Christe karena tidak tahu apa-apa tentang kehidupannya, namanya juga percakapan basa-basi apalagi tadi membicarakan tentang anak tadi. Semesta seolah membongkar kehidupan yang selama ia tutupi.
****
“Raisa sudah punya anak ya?” Tanya Pevita membuka topik pembicaraan.
“Kata Christie sih gitu, tapi aku nggak tau sayang. Memang kenapa?” Tanya Tobias, sebenarnya dipikirannya saat ini dipenuhi oleh Raisa.
“Anaknya sudah sekolah loh. Berarti sudah nikah lama, ya.”
“Sepertinya begitu.”
“Harusnya kalau nikah, setidaknya mba Bunga lebih tau soal ini, mereka dulunya akrab kan, lalu tiba-tiba jauh. Kan dia angkatan mba Bunga, sama-sama penyanyi juga, kadang jadi juri Indonesia Idol. Sekelas mba Bunga teman panggungnya aja nggak tau.”
Tobias menghela nafas, ia melirik pevita, “Mungkin suaminya tidak mau mengundang artis atau pernikahan mereka dilakukan secara private. Siapa tau kan suaminya punya peranan penting di pemerintahan.”
“I know, tapi setidaknya ada salah satu artis yang tahu, kalau Raisa udah nikah. Walau mayarakat nggak tau.”
Tobias menarik tangan Pevita, ia elus punggung tangan itu, “Jangan bahas dia ya. Apalagi kita mau nikah,” ucap Tobias.
“Iya.”
Tobias menahan nafas, ia berusaha hati-hati dalam menghadapi wanita. Ia berharap ia segera mengetahui kehidupan Raisa. Namun pikirannya tetap terpaut pada nama Angel. Entah kenapa, ia merasa di dalam lubuk hatinya paling dalam kalau Angel itu ada hubungan dengan dirinya. Tapi itu hanya dugaanya saja, biarlah ia mengetahui sendiri siapa Angel, siapa suami Raisa? Suami Raisa masih misteri menurutnya, padahal tidak ada cincin pernikahan tersemat di jari manisnya tadi.
“Kamu laper nggak?” Tanya Tobias, ini sudah jam makan malam, mereka harus makan, walau ia tidak bernafsu untuk makan setelah pertemuannya dengan Raisa, seperti ada sesuatu yang belum dituntaskan.
“Lumayan. Kamu mau dinner apa?”
“Apa aja.”
“Kita makan steak aja ya.”
“Iya.”
Tobias menjalankan mobilnya menuju Le Quartier, salah satu restoran Steak di Jakarta. Restoran ini bergaya Eropa, ia dan Pevita sudah sering makan di sini, ia suka restoran ini karena memiliki dekor biru laut dan dekorasi setiap sudut ruangan, membuatnya seakan traveling ke Paris. Namun ini bukan tentang restoran, ini tentang perasaan, kenapa ia selalu balik ke tempat yang sama.
***
