

BAB 4
HAPPY READING
***
Hari ini Raisa bangun lebih siang dari biasa, ia menikmati secangkir kopi sambil menonton film Frozen 2 bersama Angel. Ini merupakan kegiatan favorite Angel sebelum pergi sekolah. Tidak peduli dengan usianya sudah berkepala tiga, tapi dia benar-benar menikmati film di sukai Angel. Entah yang keberapa ratus kali ia tonton film ini.
Menurutnya film Frozen 2 agak sedikit mengecewakan dibanding film pertamanya, skuel ini terlihat sangat dipaksa alurnya. Raja Arendelle ayah dari Elsa dan Anna masih kecil, dia ikut dengan ayahnya masuk ke hutan sihir, kemudian berakhir dengan kacau dan roh dihutan marah dan menutup akses hingga tidak ada yang keluar kecuali ayahnya Elsa dan Anna diselamatkan seseorang.
Ketika Elsa dan Anna dewasa, singkat cerita mereka bisa masuk ke hutan bertemu tentara Arendelle dan orang-orang tersebut yang sedang ingin berperang. Hal ini mengganggu pikirannya, apa mereka semua yang di dalam hutan masih hidup? Rentang waktu 37 tahun, kenapa tidak berdamai saja jika sudah selama itu? Toh lagian terjebak di hutan. Sedangkan Elsa dan Anna hanya berdua di istana tanpa ayah dan ibunya selama kurang lebih 5 tahun, siapa yang menjalankan perintah?
Secara keseluruhan filmnya bagus, tapi sepertinya memang tidak cocok buat anak-anak, karena konfliknya agak kompleks, terdapat flash back dan cerita penghianatan dan perang, adegannya memang lucu namun seusia Angel pasti tidak akan paham. Dan satu hal lagi, lagu-lagunya agak sulit diikuti, tidak seperti film pertamanya “Let it Go”. Satu-satu yang menghibur di skuel ini menurutnya Olaf, screen time Olaf kali ini lebih banyak dari film pertamanya, Olaf sukses membuatnya tertawa.
Raisa melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 07.20 menit, ia menatap Angel sudah menyelesaikan sarapannya. Ia mengambil remote TV dan mematikannya,
“Waktunya pergi sekolah,” ucap Raisa beranjak dari duduknya, ia memandang mbak sudah membereskan perlengkapan Angel.
“Mami, weekend ini kita ke mana?” Tanya Angel mengenakan tas punggungnya.
Raisa membungkukkan badannya, “Minggu ini mami kerja sayang. Angel mau ke mana?”
“Angel mau ke kebun binatang.”
“Perginya bareng eyang sama mbak aja ya. Kan mami kerja buat bayar sekolah Angel.”
Angel menoleh menatap mbak, “Iya, mami.”
“Enggak apa-apa kan pergi kebun binatangnya sama eyang dan mbak Minggu ini?”
Angel mengangguk, “Iya.”
“Tapi, besok mami akan ajak Angel main trampoline, bagaimana?” Tanya Raisa memberi usul, ia tidak mau mengecewakan putri satu-satunya.
“Sama om Marco ya mami.”
Raisa terdiam beberapa detik, ia ingat beberapa bulan yang lalu ia masih dekat dengan pria bernama Marco seorang dokter bedah toraks dan kardiovaskular. Sejujurnya sudah lama mereka tidak bertemu, alasan mereka tidak bersama lagi, karena ia memberi batas antara dirinya dan Marco. Karena kedekatan mereka membuat pria itu ingin menjadi ayah sambung dari Angel.
Ia hanya Marco berpikir ulang, rasanya ia tidak pantas bersanding dengan pria yang memiliki latar beakang sempurna, Marco lebih pantas bersama wanita yang statusnya sama-sama single dibanding dirinya yang single mom.
“Nanti mami telfon om Marco.”
“Sekarang aja mami. Angel mau denger suara om Marco.”
Raisa menarik nafas, ia mengambil ponselnya di nakas, ia menatap layar persegi itu, ia berpikir beberapa detik, lalu mencari nomor ponsel Marco. Sejujurnya ada perasaan deg-degan menelfon pria itu lagi setelah sekian lama. Raisa memandang Angel, anaknya itu menatapnya dengan penuh harap agar bisa mendengar suara laki-laki itu lagi. Karena memang mereka biasa bermain trampoline bertiga.
Raisa mencari kontak Marco pada layar ponsel. Ia mendapati apa yang ia cari, ia menekan tombol hijau, ia letakan di telinga. Ia menungu dengan sabar hingga sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya. Beberapa detik kemudian suara ponsel terangkat.
“Iya, halo Ra,” ucap Marco, ia tidak menyangka kalau Raisa menghubunginya lagi.
Raisa menelan ludah, “Hai, Mar, apa kabar?” Tanya Raisa, ia berusaha tenang, rasannya tidak enak menelfon pria itu lagi setelah penolakannya sebulan yang lalu, ia tidak menolak, namun ia memberi Marco untuk berpikir lebih jauh tentangnya. Pria itu lebih pantas bersama wanita lain dibanding dirinya yang single mom, apalagi status Angel yang tidak diketahui siapa ayah sambungnya.
“Baik. Kamu apa kabarnya Ra?” Tanya Marco.
“Baik juga.”
“Bagaimana dengan Angel.”
“Angel baik-baik saja, ini Angel nyariin kamu,” ucap Raisa.
Marco tersenyum penuh arti, “Owh ya?”
“Kangen ya?”
“Iya.”
“Mana Angel?” Tanya Marco.
“Aku video call aja ya, Mar,” ucap Raisa.
“Oke.”
Raisa mengalihkan telfonnya menjadi video call, di layar ponselnya, kini ia menatap sosok pria mengenakan kemeja putih, pria itu tersenyum kepadanya. Wajahnya sama sekali tidak berubah sama seperti terakhir yang ia lihat terakhir kali.
“Hai,” sapa Marco, akhirnya ia bisa memandang wajah cantik Raisa lagi, jujur betapa rindunya ia dengan wanita itu.
“Hai,” ucap Raisa kikuk, ia merasa canggung seperti ini.
“Angel kangen sama kamu,” Raisa tersenyum.
Angel lalu mengalihkan ponselnya kepada Angel untuk mengurangi rasa groginya. Angel tersenyum kegirangan.
“Halo cantik, kangen ya sama om?” Tanya Marco melihat gadis kecil di layar ponselnya.
Angel tertawa, “Iya, om. Om Marco, besok kita main trampoline ya,” ucap Angel.
Marco menyunging senyum, “Bisa dong, siang ya seperti biasa after school om jemput Angel? Om juga kangen sama kamu.”
“Kok om jarang ke rumah Angel lagi.”
“Tanya mami kamu, kenapa om nggak boleh datang.”
“Om Marco kenapa nggak boleh datang ke rumah lagi mi?” Angel bertanya langsung kepada Raisa yang berada di sampingnya.
Raisa kelabakan, “Owh itu sayang, bukan mami nggak boleh om Marco ke rumah. Om Marco itu sibuk, jadwal operasinya banyak.”
“Om Marco sibuk ya?”
Marco tertawa, “Enggak juga. Mami kamu aja nggak mau ketemu om.”
“Mar …”
“Iya, Ra …” sahut Marco lalu tertawa.
“After school om saja ya yang jemput, sekalian lunch sama om,” ucap Marco, ia tahu kalau Raisa tidak bisa menjawab.
“Asyik-asyik. After school ya om.”
“Iya.”
“Love you om.”
“Love you to cantik.”
Raisa kembali memandang layar ponselnya, ia menatap Marco, “Angel kangen main trampoline sama kamu. Kamu beneran bisa?”
“Iya, bisa. Seperti biasa, aku jemput kamu dan Angel di sekolahan.”
“Yaudah kalau gitu.”
“Kamu mau berangkat kerja?” Tanya Raisa, rasanya tidak enak, jika tidak menanyakan apa yang sedang pria itu lakukan.
“Iya. Aku ada jadwal operasi pagi ini, makanya buru-buru mau ke rumah sakit.”
“Kamu yang semangat kerjanya.”
“Iya, kamu juga Ra. Kamu mau nganter Angel sekolah?”
“Iya. Ini kita mau siap-siap berangkat.”
“Kamu hati-hati bawa mobil.”
“Iya.”
Raisa mematikan sambungan telfonnya, ia lalu pergi mengantar Angel ke sekolah. Seperti biasa rutinitas pagi single mom. Menjadi single mom seperti dirinya memang tidak mudah. Ada kalanya kesepian dan jenuh menjalanii aktifitas seperti ini setiap hari. Mungkin karena ia juga tidak memiliki teman cerita yang intens, ia juga dulu bukan tipe wanita yang akrab dengan seseorang, kebanyakan ia pendam sendiri jika ada masalah. Walau orang tuanya menerima Angel dengan lapang dada, namun tetap saja mereka tetap saja ingin mengetahui siapa ayah biologis dari Angel. Tapi ia tetap bersyukur Angel ada di dunia ini.
****
Raisa pergi ke kantor seperti biasa mengecek persiapan weeding weekend ini, ada beberapa tim mempersiapkan wedding keluar ke Bali, para tim sudah siap-siap berangkat dengan segala persiapan yang matang. Jadwalnya hari ini meeting dengan klien seperti biasa.
Kantor wedding organizernya bukan seperti kantor mewah pada umumnya. Office nya hanya sebuah ruko yang ia ia sewa terdiri dari tiga lantai. Di mana office nya tempat para klien datang meminta bentuk penawaran kepada seles. Jika musim kawin tiba, ya lumayan ramai aktifitas nya.
“Ibu hari ini nggak lupakan nemenin klien fitting dengan ibu Christie Basil?” Tanya staff nya, yang mencoba mengingatkan lagi.
“Enggak kok, ini udah siap-siap mau ke sana,” ucap Raisa, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 16.00 menit ia pekirakan akan tiba pukul 17.00. Ia tahu jam pulang kerja itu macet apalagi area Jakarta Barat menuju ke sana otomatis sangat padat kendaraan.
Riasa menarik nafas, ia melangkah menuju mobilnya yang sedang terparkir di plataran. Ia masuk ke dalam tidak lupa memasang sabuk pengaman. Setelah itu mobil meninggalkan area studio, ia memanuver mobilnya sambil memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya.
Riasa meletakan earphone di telinganya, ia menghubungi mbak di rumah. Ia menunggu sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya.
“Halo, bu.”
“Mbak udah di rumah?”
“Iya, sudah bu.”
“Angel gimana?” Tanya Raisa.
“Masih tidur bu, tadi habis pulang dari rumah eyang, Angel langsung tidur, mungkin kecapean.”
“Tapi, tadi sudah makan kan?”
“Sudah bu.”
“Ibu pulang malam lagi?” Tanya mbak, ia tahu bagaimana bos nya, jika nelfon sore seperti ini ia pastikan kalau majikannya itu pasti pulang malam. Ia sudah tiga tahun kerja dengan ibu Raisa, hingga saat ini ia masih tidak tahu siapa ayah dari Angel. Sangat disayangkan majikan sebaik bu Raisa menjalani hidup sendiri.
“Iya, kebetulan lagi ngurusin klien nggak bisa ditinggal.”
“Yaudah nggak apa-apa bu. Angel aman kok sama aku, ini aku di samping Angel.”
“Kamu mau makan apa nanti malam mbak?”
“Makan apa aja bu, ikut ibu aja.”
“Kita makan coto makasar aja ya. Kamu doyan kan?”
“Iya bu. Kalau masakan Indonesia pasti doyan.”
Raisa mematikan sambungan telfonnya setelah menyakan kabar Angel dengan baby sitternya, ia menekan pedal gas menuju studio. Bertahun-tahun ia bekerja banting tulang demi kehidupannya dengan Angel. Apa kabar ayahnya Angel saat ini. Ia pernah mendengar dari infotaiment kalau Tobias sedang menjalin hubungan dengan salah satu artis papan atas bernama Pevita. Ia tidak mengerti kenapa beberapa hari ini ia tiba-tiba memikirkan Tobias. Padahal ia tidak menginginkan pria itu hadir dalam hidupnya.
***
Beberapa jam kemudian akhirnya ia tiba di Vezzo Studio tepat pukul 17.01 menit. Sejujurnya ia sudah ke sering ke sini, untuk mempertemukan kliennya kepada sang desainer. Ia memarkir mobilnya di plataran, ada beberapa mobil yang terparkir di sana.
Raisa melangkahkan kakinya menuju lobby studio, ia melihat di depan pintu bertulisan open, ia membuka hendel pintu, ia mengedarkan pandangannya kesegala ruangan, ia mengecek ponselnya, melihat beberapa panggilan tidak terjawab dan beberapa notif masuk. Ia membuka whatsapp ponselnya. Ada pesan masuk dari Nia adminnya.
Nia : “Selamat sore bu, klien nya sudah ada di studio.”
Raisa menatap staff menghampirinya, “Selamat sore ibu Raisa.”
“Selamat sore juga.”
“Ibu Christie dan klien ibu sudah menunggu di ruang tunggu.”
“Apa saya telat?” Tanya Raisa, karena ia merasa tidak enak jika telat seperti ini. Karena klien nya kemarinn ibu Niva tidak memberitahu tepatnya pukul berapa mereka akan bertemu di fitting ini, yang ia tahu hanyalah jam pulang kerja.
“Tidak, mereka baru saja tiba lima menit yang lalu.”
“Oh Jesus, syukurlah kalau begitu,” ucap Raisa.
“Mari saya antar ibu ke ruang tunggu.”
“Terima kasih.”
Raisa melangkah bersama staff itu secara beriringan menuju ruang tunggu, ia mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan, yang di dominasi warna putih. Ia menatap ada beberapa gaun pengantin terpajang di estalase. Rak di sebelah kiri dipenuhi dengan . Benar-benar sangat memanjakan mata, apalagi ruangan ini sangat elegan, full putih dan cermin di mana-mana, lampu Kristal menambah kesan menawan di ruangan ini.
“Itu, kliennya,” ucap staff.
Pandangan Raisa menatap ke depan, ia memandang Christie tersenyum kepadanya. Langkahnya lalu terhenti, menatap sosok seorang pria yang berdiri tidak jauh darinya. Dia mengenakan kemeja putih dan celana slimfit berwarna putih, rambutnya tersisir rapi. Matanya tidak besar dan tidak sipit juga. Dengan alis yang tebal, hidung mancung, kulitnya tidak terlalu terang itu yang membuatnya terlihat sexy. Dia bukan jenis pria tampan, karena sosoknya lebih cocok menjadi seorang model Calvin Klien. Jantungnya berdegup kencang, yang tidak bisa ia kompromikan. Keringat dinginnya keluar begitu saja, tiba-tiba ia ngeblank tidak bisa berpikir lagi selain menyebut namanya,
“Tobias …”
***
