6. Namaku Siti
'Waduh, Kania, kenapa lo ngelakuin hal yang aneh sih? Sikap lo yang aneh malah bikin Bundo curiga!'
Kania menyalahkan dirinya sendir di dalam hatinya.
Bundo membuka mukena yang beliau kenakan, kemudian beliau memasang tangkuluak (penutup kepala ala wanita Minangkabau).
Bundo berjalan mendekati Kania sembari membawa lidi yang terbuat dari pelepah kelapa.
"Siti, bukankah sudah sering Bundo katakan kalau kamu tidak boleh belajar silat. Sebagai seorang gadis Minangkabau kamu itu harus bersikap lemah lembut, belajar masak, belajar menjahit dan menganyam, menyulan, belajar mengukir, bukan belajar silat layaknya anak laki-laki!"
Bundo memukul lembut kaki Kania dengan lidi. Ya, itu dilakukan bundo karena putrinya telah melakukan kesalahan karena mengerjakan sesuatu yang harusnya dikerjakan oleh laki-laki.
"Maaf, Bundo, maafkan Siti!"
Secara spontan Kania langsung bersujud di kaki bundo. Sungguh, sesuatu yang tidak pernah Kania lakukan seumur hidupnya.
Ya, surga ada di telapak kaki ibu, dan restu Allah ada pada restu kedua orang tua dan murka Allah ada pada murka kedua orang tua. Begitulah gadis Minangkabau di didik dengan adat yang berpedomankan pada Al-qur'an dan hadist.
'Mulia sekali hati kamu, Siti. Kamu ternyata adalah gadis yang sangat baik di masa lalu,' ujar Kania di dalam hatinya.
"Siti ..., Bundo ..., segeralah keluar sebelum Aden masuk!" teriakan datuak Maringgih semakin menjadi-jadi.
"Bundo, Datuak terdengar semakin marah dan geram, mari kita keluar dan hadapi bersama-sama," ucap Kani bersemangat.
"Siti! Masuk kamar!" teriak bundo sembari menunjuk ke arah kamar Siti.
"Tapi, Bundo," bantah Kania.
"Siti ....!" bentak bundo yang membuat Kania ciut.
Kania kembali bersujud dan meminta maaf kepada bundo, sungguh kebiasaan yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.
"Bundo, maaf!" ucap Kania lembut dengan sejuta kesalahan yang menghantuinya.
"Siti, berdirilah, Nak! Bundo telah memaafkanmu, sekarang kamu ke kamarlah, biar Bundo yang menghadapi Datuak Maringgih!" ucap bundo dengan nada suara lembut dan menenangkan, namun ada ketegasan di dalamnya.
Bundo tidak ingin anaknya berurusan dengan Datuak Maringgih. Beliau juga tidak ingin anaknya menikah dengan tua bangka itu, maka dari itu beliau akan mengusahakan apa saja agar sang putri tidak jatuh cengkraman harimau itu.
"Bundo, bolehkah Siti ikut menemani?"
Kali ini bukannya Kania tidak ingin menurut kepada bundo, tapi ia ingin membela bundo dan berjuang bersama bundo melawan datuak maringgih yang terlihat sangat bengis dan kejam itu.
"Siti, masuk kamar!"
Bundo mengangkat tangan kanannya dan menunjuk ke arah kamar Siti dengan wajah yang tidak menakutkan tapi membuat Kania tidak bisa membantah.
"Baiklah, Bundo."
Kania tertunduk, ia berjalan pelan memasuki kamar Siti.
'Siti, apakah kamu sepatuh ini kepada orang tuamu? Kamu menuruti semua kehendak beliau?' tanya Kania pada dirinya sendiri.
Kania memasuki kamarnya dan membaringkan tubuhnya pada sebuah ranjang yang sangat jauh sekali dari kata mewah. Kasurnya berbahan dasar kapas dengan alas yang terlihat sangat lusuh, namun terkesan bersih dan sangat rapi di sanalah Kania membaringkan tubuhnya. Sungguh, keadaan yang sangat jauh berbeda dengan kamar dan kehidupan Kania di masa depan yang begelimang harta dan penuh dengan kemewahan.
Kania menatap sekeliling kamar itu, penuh dengan ukiran, anyaman dan sulaman hasil karya tangan sendiri.
"Apakah setiap hari kerjaan mu hanya di rumah saja, Siti?"
Berjuta pertanyaan muncul di benak Kania tentang dirinya di masa lalu.
H E R A N !
T A K J U B !
Sungguh dirinya di masa lalu adalah wanita berkelas yang tergolong kepada wanita sempurna. Wanita saleha yang sangat patuh kepada orang tuanya.
Kemudian pandangan Kania tertuju pada sebuah lemari sederhana yang terlihat tua. Ia ingin melihat apakah pakaian yang biasa dikenakan oleh Siti.
"Ondeh, Mandeh ..., baju apaan ini?"
Kania sungguh dikejutkan oleh baju-baju yang panjang, baju yang disebut sebagai baju kurung yang Kania anggap sebagai pakaian ibu-ibu yang tinggal di kampung. Sungguh sangat kuno, pikir Kania.
Kania kemudian mengeluarkan ponsel miliknya dari saku baju sekolah yang ia kenakan.
"Aneh, mobil dan Alex bisa hilang, kenapa HP ini masih ada di saku sakuku?" ucap Kania heran.
"Ah, sudahlah, setidaknya aku bisa memotret semua kejadian di masa lalu dengan ponsel ini," ujar Kania di dalam hati
Perlahan ia memotret semua hal yang dianggapnya unik dan aneh di sekitar kamarnya. Setidaknya nanti ia bisa menceritakan tentang pengalamannya kembali ke masa lalu kepada Alex kekasih hatinya.
"Alex, kamu apa kabar? Aku merindukanmu. Tolong tunggu aku sebentar saja, aku ingin merubah keadaan buruk yang terjadi disini agar tidak terjadi lagi di masa depan," ucap Kania lembut.
"Ah, bodohnya aku, kenapa aku malah berada disini tanpa melakukan apa-apa!" Kania langsung bangkit dan berlari keluar rumah untuk melihat bundo.
Kania berpikir panjang, bagaimanapun juga ia harus membantu bundo dari cengkraman harimau itu.
Kania segera keluar dari kamarnya menuju halaman rumahnya.
Huft ...
Kania menarik nafas panjang dan merasa sangat emosi ketika ia melihat Datuak Maringgih menyiksa ibunya.
"Woi, tua bangka, hebat banget lo menyiksa emak gw!" teriak Kania dengan tunjuk kirinya.
Kania emosi dan mendidih, ketika melihat bundo dipaksa oleh entek-entek Datuak Maringgih untuk sujud di kaki Datuak Maringgih.
Teriakan Kania membuat semua orang menatap ke arahnya heran. Mereka seolah tidak percaya gadis yang dikenal lugu dan lembut selama ini malah bersikap bar-bar dengan kata-kata yang terdengar aneh di telinga semua orang.
"Siti, Siti, calon istri Datuak akhirnya keluar juga."
Senyum cengengesan yang membuat Kania jijik.
Cuiss ...
Kania kembali meludah, sebagai bentuk penghinaan dan ketidak hormatannya kepada datuak Matinggih.
"Eh Datuak, lelaki bau tanah! Lebih baik lo taubat, lo perbanyak salat dan ibadah untuk persiapan masuk kubur!" ucap Kania kasar sembari membantu bundo berdiri dari tempat sujudnya.
"Kasar sekali kau, Siti!"
Datuak Maringgih terlihat geram, seolah ia ingin menampar Siti. Namun niat itu diurungkannya karena bundo sudah angkat bicara.
"Siapa kamu sebenarnya?"
Batin seorang ibu tidak pernah salah, beliau akan sangat tahu perubahan yang ada pada diri putrinya. Walaupun wajah Kania dan Siti sama, tapi keduanya berbeda, Siti adalah gadis Minangkabau yang lembut dan penuh dengan sopan santun sementara Kania adalah gadis moderen yang hidup di masa depan denyan semua kemewahan dan cara hidup yang berbeda.
'Sial! Keyla kenapa lo malah bikin Bundo curiga dengan sikap lo," ucap Kania di dalam hati.
Kania berjalan mendekati bundo, dengan sejuta pikiran yang membuatnya berpikir panjang.
'Apa yang harus aku katakan kepada Bundo?' batin Kania sembari terus berjalan mendekati bundo yang saat ini tengah emosi kepadanya.
"Bundo, ini Siti anak Bundo."
Kania menggenggam tangan bundo namun bundo mengelak. Bundo merasakan kalau yang saat ini bersamanya hanya orang yang mirip dengan putrinya.
"Jika kamu Siti, kenapa kamu bisa bersikap liar seperti itu?" bentak bundo.
Mata bundo membelalak, terlihat sekali ketidaksukaan di wajahnya karena putri kesayangannya bersikap liar seperti seorang preman.
"Siti hanya tidak suka jika ada orang yang merendahkan dan menghina keluarga kita. Datuak Maringgih telah bersikap semena-mena kepada bundo, ia merendahkan kita!"
Kania tampak geram, ia memasang wajah marah sembari mengepalkan kedua tangannya, seolah ingin mendaratkan tinju itu di kepala Datuak Maringgih.
"Siti, Abak jo Bundo tidak pernah mengajarkan kamu untuk bersikap tidak sopan seperti itu!" ucap bundo marah.
Bundo memalingkan wajahnya dari Kania, beliau malu melihat putrinya menjadi anak yang tidak tahu diri, padahal sebagai orang tua, beliau telah memberikan pendidikan terbaik kepada putrinya, dengan adat dengan berdasarkan adat yang berpedoman pada Al-qur'an dan hadist.
"Ah, sudah! Kalian tidak usah berdebat! Aden ingin kalian melunasi hutang sekarang juga, kalau tidak Siti harus siap menikah dengan Den, tidak ada negosiasi sama sekali!"
Datuak Maringgih tertawa miring, seolah ialah pemilik dunia ini hingga ia bisa mendapatkan apapun yang ia inginkan.
"Tua bangka, enak sekali lo berbicara, emangnya lo siapa sampe maksa-maksa gw!" tantang Kania.
Kania tidak sadar kalau ia mengeluarkan kata-kata yang terdengar asing di telinga masyarakat Minangkabau.
"Siti, apa yang kau katakan?" tanya Datuak Maringgih heran.
Kania berjalan mendekati Datuak Maringgih, dengan tegas ia membentak rentenir itu.
"Woi, ingat ini, Siti tidak akan mau menikah dengan Datuak!" teriak Kania geram dengan wajah yang penuh dengan keberanian bercampur emosi dan amarah.
"Lancang sekali kau!" ucap Datuak Maringgih marah sembari mengangkat satu tangannya untuk menampar Kania.
"Woi, Santai!" lawan Kania.