Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Datuak Maringgih Geram

"Siti, Bundo sayang sama kamu, Nak. Tolong, jangan pernah lagi membuat Bundo khawatir!" ucapan lembut yeng keluar dari mulut bundo membuat Kania merasa disayangi.

R I N D U !

Sejujurnya Kania sangat merindukan kasih sayang dan kehangatan cinta dari seorang ibu. Namun, apa yang harus dilakukannya ketika mamanya sudah tidak lagi berada di dunia selain menanggung dan memendam rindu itu di dalam hati.

"Bundo, jangan menangis lagi! Siti berjanji tidak akan lagi membuat Bundo khawatir?" Kania memeluk bundo dan merasakan kembali cinta yang telah lama tidak dirasakannya. Setidaknya, sedikit kerinduannya kepada mamanya terlepaskan karena kehadiran bundo disini.

'Baiklah, Kania, jika Siti adalah dirimu di masa lalu maka kamu harus tetap berada di sini untuk memperbaiki semuanya. Kamu harus mencari banyak uang untuk membayar hutang kepada Datuak Maringgih agar kamu tidak dinikahkan dengan tua bangka itu,' batin Kania bersemangat.

Kania berpikir dan mencari solusi dari masalah yang saat ini tengah dihadapinya. Ia mencari solusi dan berusaha untuk memperjuangkan cintanya dengan Alex dengan cara mengubah takdirnya di masa lalu.

"Siti, kamu tidak apa-apa 'kan, Nak?" tanya bundo dengan tidak melepaskan pelukannya dari Kania yang ia anggap putrinya.

Kania menggeleng sebagai tanda kalau ia tidak apa-apa.

"Siti, mari pulang, Nak! Kita belum salat zuhur, kita lalai!"

Bundo melepaskan pelukan Kania, beliau berdiri dan membimbing tangan gadis cantik itu berjalan menuju rumahnya dengan bergegas.

Bagi bundo, salat adalah yang terpenting dari segalanya, jadi bundo merasa tidak nyaman jika melalaikannya.

"Bundo, kenapa jalannya cepat sekali?" protes Kania yang merasa kewalahan mengikuti langkah kaki bundo yang sangat ligat dan cepat.

"Nak, kita harus segera sampai di rumah sebelum waktu salat berakhir," jawab bundo.

"Bundo, waktu salat masih panjang," ujar Kania.

Sungguh Allah tidak suka kepada hamba-Nya yang melalaikan salat, dosa, Nak!"

Penjelasan bundo membuat Kania merasa tertampar, karena selama ini ia sangat jarang sekali salat. Agamanya memang islam, tapi islamnya adalah islam KTP saja, ia tidak tahu banyak tentang agama.

'Berarti Siti di masa lalu adalah gadis yang sangat religius dan dididik oleh orang tua yang juga sangat religius juga. Sedangkan aku ...,' batin Kania mulai terusik.

Kania mulai menyadari betapa ia sangat jauh berbeda dari Siti walaupun wajah mereka sama namun hati dan kepribadian mereka sangat jauh berbeda.

Setelah 10 menit berjalan kaki, akhirnya Kania dan Bundo sampai di rumahnya. Rumah sederhana yang berbahan dasar kayu dengan atap bagonjong (meruncing) sebagai ciri khasnya adalah tempat tinggal bundo dan keluarganya.

"Assalamualaikum," itu adalah kata pertama yang diucapkan ketika memasuki rumah. Sungguh, Kania melihat keimanan di hati bundo yang merupakan orang Minangkabau itu. Sungguh, bundo sangat berpedoman kepada Alqur'an dan hadist serta adat untuk mengatur kehidupannya.

"Sayang, salatlah!"

Bundo menyuruh Kania melaksanakan salat yang merupakan tiang agama.

'Salat? Bagaimana caranya? Aku lupa!" ucap Kania di dalam hati dengan sejuta kepanikan yang ia bawa bersamanya.

'Salat? Haruskah aku salat?'

Kania semakin panik dan gelisah.

Kania sangat ingat kalau terakhir kali ia salat adalah setahun yang lalu ketika hari raya idul fitri, itupun mengikuti imam saja.

'Apakah yang harus aku lakukan?' ujar Kania di dalam hati.

Kania membalikkan badannya dari bundo, sembari berjalan dengan langkah pelan.

Kania mengeluarkan ponselnya dari saku celananya, ia ingin melihat tata cara berwudhu lewat youtube. Naman, semuanya sia-sia, benda canggih itu tidak berfungsi disini karena tidak ada jaringan seluler di sini.

"Sial!" Kania terlihat sangat kesal dan marah.

"Siti ..., apa yang kamu katakan?"

Kania segera memasukkan ponsel ke sakunya, kemudian membalik untuk menatao bundo. Ia melihat mata bundo memerah dan membelalak menatapnya.

"Maaf, Bundo, tidak apa-apa," ucap Kania dengan senyum tipis yang keluar dari bibir mungilnya.

"Segera berwudhu!" ungkap bunda dengan nada tinggi.

Kania kemudian berjalan melangkahkan kakinya ke sumber air yang ada di belakang rumah gadang. Karena saat ini dirinya adalah Siti Nurbaya, Kania akhirnya bisa berwudhu' dengan benar. Semua gerakan-gerakan berwudhu ia lakukan reflek dengan bantuan Siti yang ada dalam dirinya.

'Wah, keren sekali wanita yang bernama Siti ini, dia teryata sangat ahli ibadah,' ucap Kania di dalam hati.

Sungguh, Kania terkagum dengan sosok Siti yang merupakan dirinya di masa lalu. Sosok gadis yang sangat dicintai oleh ibunya dan wanita religius dengan hati yang sangat lembut.

"Siti, kenapa lama sekali di belakang, Nak?"

Terdengar suara bundo memanggil Kania.

"Iyo, Bundo," balas Kania.

Kania bergegas, ia kembali melangkahkan kakinya menaiki rumah gadang sederhana yang berbeda dari rumah-rumah lainnya di sini.

Kania berpikir, mungkin karena keluarga Siti adalah keluarga yang tidak mampu makanya rumahnya tidak semewah rumah gadang lainnya.

"Sayang, sini salat!"

Bundo membimbing putrinya menuju ruang salat untuk melaksanakan salat berjamaah.

Kania dan bundo mengenakan mukena putih yang sudah terlihat lusuh namun bersih dan rapi.

"Nak, kita salat berjamaah ya. Apa Siti mau menjadi imamnya?" Pertanyaan bundo membuat jantung Kania serasa ingin copat. Bagaimana mungkin ia akan menjadi imam salat, sementara ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya salat.

"Siti, kenapa diam, Nak? Sebentar lagi waktu salat berlalu." Bundo memperingatkan.

Entah apa yang harus dilakukan oleh Kania saat ini, ia tahu Siti yang ada dalam dirinya pasti bisa salat dan menjadi imam untuknya dan ibunya. Namun, Kania merasa malu untuk menghadap Tuhannya karena selama ini ia sangat jauh dari-Nya.

"Aduh ..., aduh ..., aduh ....” Kania tiba-tiba meraung kesakitan sembari memegang perutnya.

'Yes, sepertinya langit sedang berpihak kepadaku,' ucap Kania di dalam hati.

"Ada apa, Nak?"

Bundo terlihat panik melihat putri semata wayangnya lagi-lagi merasakan kesakitan.

"Sepertinya Siti datang bulan, Bundo," ucap Kania dengan nada suara terbata-bata.

"Ya sudah, kamu ke kamar saja istirahat, Bundo mau salat dulu," ucap Bundo.

'Aneh sekali, kenapa Bundo langsung salat dan tidak peduli dengan anaknya yang tengah meraung kesakitan?' tanya Kania heran dengan sikap Bundo yang mulai berbeda kepadanya.

Kania kemudian duduk di lantai dengan beralaskan tikar anyaman yang sepertinya di buat dan kerjakan sendiri. Kania menyandarkan punggungnya ke dinding. Ia menatap bundo yang tengah salat dengan sangat khusuk menghadap Tuhan semesta alam.

Perlahan air mata Kania mengalir membasahi pipinya, Kania merasa malu kepada dirinya sendiri karena ia bukanlah hamba yang bertakwa.

"Siti ..., Bundo ..., keluar kalian!"

Suara lantang dan hardikan terdengar dari segerombolan orang, mereka tengah ribut di depan rumah bundo. Namun, itu tidak menghalangi kekhusukan bundo dalam salatnya.

Sementara Kania mulai panik, ia tidak tahu harus melakukan apa.

'Siti, jangan panik, kamu belajarlah dari Bundo, ia tetap salat dan menghadap sang penciptanya tanpa mempedulikan berbagai ancaman dari luar,' batin Kania yang mendapatkan kebaikan hati Siti.

Ya, jikalah Kania yang asli, ia pasti akan segera keluar rumah untuk melabrak orang yang ribut di depan rumahnya. Tapi, saat ini dirinya bukanlah Kania seutuhnya, ia adalah Siti Nurbaya di masa lalu, gadis yang terlahir dari suku Minangkabau yang terkenal dengan adat dan agama yang sangat kental. Gadis lemah lembut yang sangat paham sekali dengan sopan santun dan tata krama.

'Apa aku harus melihat dari balik tirai jendela, siapakah sebenarnya yang tengah mengacau di depan rumah?' Itulah ide yang terfikir di benak Kania.

Kania kemudian berjalan pelan dan tanpa suara menuju jendela yang ditutupi oleh tirai berwarna putih yang terlihat sudah lusuh itu. Kania tidak ingin membuat bundo terganggu dalam salatnya jika ia ribut, jadi ia berjalan dengan mengendap-endap.

"Datuak Maringgih, ngapain tua bangka itu ke sini?" celoteh Kania.

G E R A M !"

Kania kesal, ia sangat ingin sekali keluar dan melabrak si tua bangka itu. Kania juga berniat untuk mengambil tongkat si tua bangka agar ia tidak lagi bisa berjalan. Namun, sepertinya si tua bangka memiliki banyak pengawal yang menjaganya.

'Ih, si tua bangka kok mirip banget sama Om Galih, bisanya main keroyokan!' ujar Kania sembari mengepalkan tinjunya karena terlalu emosi.

Kini Kania menggepalkan kedua tangannya dan melayang-layangkan tinju itu menghadap ke arah Datuak Maringgih. Ia berharap kemampuannya belajar bela diri semasa SMA bisa ia gunakan disini.

"Siti, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu seperti akan melakukan gerakan silat? Kamu belajar silat dari mana?" teriak bundo yang baru saja selesai berdoa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel