4. Menjadi Siti Nurbaya
'Waw, hebat sekali wanita yang bernama Siti ini, ia berani melawan perjodohan dengan menantang bukan lari,' ujar Kania di dalam hati.
Kania mengagumi sosok Siti yang tidak lain adalah dirinya sendiri di masa lalu.
"Sopan sekali kau Siti!"
Datuak Maringgih terlihat sangat marah sekali, matanya membelalak, ia mengangkat tongkat panjangnya dan ingin segera memukul Kania tanpa ada rasa iba sedikitpun.
"Woi tua bangka!" Bundo berteriak sangat lantang dan keras sembari memegang tongkat datuak maringgih.
Bundo berang dan sangat marah. Beliau tidak terima jika putri kesayangannya satu-satunya diperlakukan secara tidak adil dan kasar seperti itu, apalagi sampai memakai kekerasan.
"Lepaskan tongkatku!" Gumam datuak Maringgih.
Datuak Maringgih juga tidak kalah marah, emosinya mendidih, matanya merah namun tenaganya tidak sekuat bundo. Hingga terjadilah perang antara bundo dan datuak Maringgih.
Bundo yang terlihat anggun dan sangat feminim mengeluarkan jurus silatnya untuk melawan datuak Maringgih.
Plak ..., Plak ..., Plak ....
Sebuah pukulan terdengar seperti sebuah pertandingan tinju bagi Kania.
'Waw, keren sekali Bundo,' ucap Kania memandang takjub.
Setelah bersitegang dan beradu kekuatan dengan bundo. Lelaki tua bangka itu akhirnya tersungkur ke tanah dan posisinya tepat sekali bersujud di depan Kania.
'Hahaha, rasain lo tua bangka!' Kania tersenyum geli dan tertawa sendiri di dalam hatinya.
Datuak Maringgih terlihat sangat kesal, ia mengepalkan tangannya, ia berusaha bangkit untuk melawan, namun ia tidak memiliki cukup tenaga untuk memberontak. Maklum saja lelaki itu sudah sangat tua, usianya sekitar 60 tahun.
Sementara itu, bundo terlihat lega. Beliau membuang dan melemparkan jauh-jauh tongkat datuak Maringgih agar tuan tanah yang sudah bau tanah itu tidak bisa mengganggu atau mengejar bundo dan anaknya.
"Siti, kamu tidak apa-apa 'kan, Nak?"
Dengan wajah penuh khawatir, mata memerah, bunda memeriksa Kania dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Sungguh tulus, terlihat sekali kekhawatiran dari seorang ibu yang teramat sangat mencintai putrinya.
'Ya Tuhan, mulia sekali hati wanita ini, beliau terlihat sangat mencintai dan menyayangi putrinya. Tapi, apa yang harus aku lakukan sekarang, apakah aku harus berpura-pura menjadi putri beliau?' celoteh Kania di dalam hati.
"Siti, yuk kita pulang, Nak!"
Bundo mengulurkan satu tangannya untuk membimbing Kania dan Kania menyambut kembali tangan bundo dengan hangat.
"Siti, kamu benar-benar tidak apa-apa 'kan," Nak?" tanya bundo sekali lagi untuk meyakinkan hati beliau yang gelisah.
"Bundo, Nia ..., eh, Siti tidak apa-apa," ucapan lembut yang keluar dari mulut Kania membuat bundo menatapnya.
Tatapan heran, kaget, membaur menjadi satu. Seolah beliau mulai menyadari kalau saat ini yang ada di depannya bukanlah putrinya namun orang lain. Ya, Siti bahkan tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia untuk berbicara.
Bundo melepaskan tangan Kania, menatap tajam mata Kania dengan sejuta tanya yang terlihat di sana.
"Kamu siapa?" tanya bundo dengan tatapan yang mengandung sejuta tanda tanya.
Kania diam, sebenarnya ia ingin mengakui siapa dirinya yang sesungguhnya, namun mulutnya seolah tidak bisa mengatakan apapun.
"Sa-saya Siti, anak Bundo," ucap Kania.
Entah apa lagi yang merasuki Kania kali ini, ia lagi-lagi seperti dikendalikan oleh sesuatu yang bukan dirinya sendiri.
"Nak, Bundo tidak tahu apo yang telah terjadi, tapi rasanya yang Bundo liek lihat tadi bukan kamu!"
Bundo menatap Kania, matanya berkaca-kaca. Beliau sangat paham sekali tentang putrinya yang tidak pernah menggenakan pakaian ketat dan pendek seperti yang dipakai oleh penjajah Jepang dan Belanda ketika menjajah.
Bundo juga melihat Kania melawan dan bersikap tidak sopan kepada datuak Maringgih. Padahal perempuan Minangkabau tidak akan pernah berkata kasar layaknya seorang preman.
Apalagi wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Jadi, wanita Minang adalah bundo kanduang, yang suka dibimbing bukan membimbing.
"Bundo, maafkan Siti!"
Kania tiba-tiba bersujud dan meminta maaf kepada bundo dengan penuh pengharapan. Hati kecilnya berkata kalau ia memang tidak boleh bersikap kasar apalagi kepada orang yang membantunya. Namun bundo seolah tidak percaya kepada putrinya itu.
"Siti, sekarang juga kita pulang! Bisa tolong tunjukkan jalan ke rumah!"
Kania diam dan ia merasa bingung dan panik. Kemana ia akan membawa bundo pergi. Ia bahkan tidak tahu apa-apa tentang tempat ini, ia hanya terdampar, bahkan untuk kembali ke rumahnya saja ia tidak ingat dimana jalannya.
"Kania ..., Nia ..., kamu dimana, Sayang?"
Tiba-tiba telinga Kania berbunyi, ia mendengar suara teriakan Alex dengan sangat jelas, hingga ia merasakan kalau genderang telinganya sakit.
"Tolong ...!"
Kania berteriak sangat keras sembari menutup kedua telinganya dengan jari-jari tangannya, ia histeris dengan kepala yang berputar-putar, terasa sangat sakit dan ingin pecah. Mata Kania juga memerah dengan tubuh gemetar.
"Siti, apa yang tajadi? Kenapa kapalanya dipegang? Apa ada yang sakit, Nak?"
Bundo kembali dihadapkan kepada kekhawatiran yang teramat sangat, wanita kuat yang tidak pernah mengeluh dan menangis di depan orang lain itu akhirnya tidak sanggup lagi menahan semua tumpukan masalah yang dihadapinya, butiran kristal bening mendarat di wajahnya.
"Sakit ...!" pekik Kania semakin keras, ia seolah tidak bisa lagi menahannya.
Kania akhirnya pingsan dan tidak lagi sadarkan diri.
"Siti ...!"
Bundo berteriak histeris sembari menggoyang-goyangkan tubuh Kania, berharap Kania secepatnya sadar dan hadir kembali di tengah-tengah kehidupan dan kebahagiaannya.
"Tolong ..., tolong ...!"
Alam bawah sadar Kania mendengar isak tangis bundo yang mengkhawatirkannya.
"Kania ..., sadarlah!" terdengar suara Alex memanggil-manggil namanya dengan isak tangisan juga.
'Apa yang terjadi denganku? Siapakah aku sebenarnya? Bagaimana mungkin satu nyawaku akan kembali kepada dua tubuh yang berbeda?' ucap Kania panik.
Kania ingin kembali ke tubuhnya yang sesungguhnya, namun ia tidak ingin berdebat dengan papanya perkara tua bangka yang akan dijodohkan dengannya, ah bukan dijodohkan, lebih tepatnya dijual demi uang dan kehormatan. Sementara di sini, Siti juga dihadapkan kepada perjodohan dengan tuan tanah yang mengaku sangat kaya dengan harta di mana-mana.
'Aku harus masuk ke tubuh yang mana?' ucap Kania ragu.
"Siti, bangun, Nak!"
Isak tangisan bundo mengalir membasahi pipi beliau. Hatinya terlihat sangat sakit dan hancur ketika putri kesayangannya mengalami sakit kepala yang teramat sangat hingga tidak sadarkan diri.
"Nak, jangan tinggalkan Bundo!"
Bundo menggoyang-goyang tubuh Kania, hingga jatuhlah air mata beliau di pipi Kania.
Air mata hangat yang penuh dengan ketulusan, cinta dan kasih sayang.
Rasa khawatir dan takut kehilangan yang teramat sangat membuat bundo tidak mampu menahan kesedihan di hatinya.
"Bundo," ucap Kania lembut dan lemah.
Gadis cantik itu membuka matanya dengan perlahan, ia melihat air mata mengalir di pipi ibunya yang sangat ia sayangi.
Kania mengangkat tangannya yang terasa lemah, ia menghapus air mata yang mengalir di pipi ibunya dengan lembut.
Tangisan itu membuat Kania juga ikut menangis. Sungguh, kali ini ia kembali merasakan sorot mata tulus dari seorang ibu yang sangat dirindukannya.
'Apakah sebaiknya untuk sementara aku menetap disini saja? Di dunia sekarang maupun masa lampau aku tetap dihadapkan pada perjodohan. Hanya saja, di sini ada Ibu yang kasih sayangnya sama seperti Mama, kalau disana aku harus berdebat setiap hari dengan Papa,' ucap Kania di dalam hati.