3. Kania Atau Siti?
Kania berhenti, kemudian melepaskan genggaman tangan bundo, ia ingin sekali mengatakan sesuatu yang baru saja terjadi, ia mengalami kecelakaan mobil dan saat ini kekasihnya tengah membutuhkan bantuan karena keadaannya sangat kritis.
"Bundo, kata Abak, Siti harus manikah dengan Datuak Maringgih karena keluarga kita berhutang sama Datuak, apakah itu benar, Bundo?"
Lagi-lagi Kania dikejutkan dengan kata-kata yang ke luar dari mulutnya. Ia benar-benar tidak bisa mengendalikan apa yang ingin disampaikannya.
'Nia, apa yang lo katakan? Saat ini Alex membutuhkan bantuan lo, kenapa lo malah membahas pernikahan dengan Datuak Maringgih? Siapa Datuak Maringgih? Apakah dia Om Galih? Nia sadar! Siti siapa lagi itu? Namamu Kania bukan Siti.'
Batin Kania bergejolak, begitu banyak pertanyaan yang muncul di benaknya, ia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Bahkan, ia berbahasa dengan bahasa yang sama sekali tidak pernah dipelajarinya.
A J A I B !
Tapi nyata, Kania saat ini tengah pusing dengan dirinya sendiri.
Begitu banyak hal yang mengganjal yang terjadi, mulai dari perkampungan yang terlihat asri, penampilan orang-orang yang terlibat seperti masa lampau, hingga bangunan-bangunan rumah adat bagonjong yang pernah Kania lihat di Taman Mini Indonesia Indah.
'Nia, apa sebenarnya yang terjadi? Kamu dimana?" Berbagai pergejolakan batin terjadi di hati dan fikiran Kania, hingga ia merasa kepalanya seolah ingin pecah.
"Siti, apa yang terjadi, Nak?"
Wanita paruh baya yang dipanggil bundo oleh Siti itu terlihat panik dan khawatir melihat Kania memukul-mukul kepalanya.
"Sayang, jangan sakiti diri sendiri, Nak!"
Bundo memegang tangan Kania dan memeluk gadis cantik kesayangannya itu dengan lembut, penuh cinta dan kasih sayang yamg hangat.
"Bundo, berapa banyak hutang keluarga kita sama Datuak Maringgih itu?"
Dalam pelukan hangat sang bundo, Kania bertanya kepada ibunya itu tentang hutang keluarganya. Kania penasaran berapa hutang itu hingga manusia yang menjadi tumbalnya. Tidak hanya di masa depan ia dijual, tapi ternyata semua sudah dimulai sejak di masa lalu.
Hati Kania seperti terkoyak-koyak karena merasa seperti barang yang diperjualbelikan.
Bundo diam, beliau tidak tahu pasti berapa jumlah hutang keluarga mereka saat ini, yang beliau tahu kalau datuak Maringgih itu adalah rentenir dan lintah darat di kampung mereka, ia adalah lelaki yang sangat rakus akan harta, meminjamkan uang kepada orang yang lemah dengan melipatgandakan bunganya dalam hitungan hari. Apabila keluarga yang berhutang tidak sanggup membayar hutangnya dalam tempo waktu yang telah ditetapkan maka Datuak Maringgih akan menyita semua harta benda milik yang berhutang termasuk rumah, tanah, sawah dan ladang, ternak atau apapun yang dimiliki keluarga yang berhutang, termasuk anak gadis mereka yang harus rela menjadi istri kesekian dari lelaki tua bangka yang sudah bau tanah itu. Ya, tidak hanya satu, tapi si Datuak Maringgih memiliki puluhan istri yang sangat cantik-cantik sebagai sitaan karena orang tuanya tidak sanggup membayar hutan.
"Sayang, pulanglah kita dulu!"
Bundo kembali menggenggam tangan putri kesayangan satu-satunya itu untuk pulang ke rumah mereka.
Kali ini Kania tidak lagi protes, ia tidak lagi memikirkan Alex, ia penasaran dengan gadis yang bernama Siti itu, bagaimana mungkin gadis itu memiliki kisah hidup yang hampir sama dengannya, menikah dengan lelaki tua bangka hanya untuk membayar hutang.
"Oh iya, Siti, dima tangkuluak (penutup kepala) kamu, Nak?"
Bundo baru menyadari putrinya saat ini menggenakan baju SMA dengan rok pendek diatas lutut dan baju lengan pendek berwarna putih yang juga pas di badannya.
Kania terdiam, ia memperhatikan pakaian yang ia kenakan memang sangat berbeda dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, masyarakat yang terlihat kuno itu mengenakan baju panjang (baju kurung) yang longgar dengan rok dan penutup kepala untuk menutupi rambutnya. Tapi, Kania juga tidak menyangka ia kembali ke masa lalu dengan pakaian seperti ini.
"Siti, jawab Bundo!" suara bundo terdengar keras hingga membuat Kania terkejut dan merasa takut.
Kania mengangkat wajahnya dan menatap bundo dengan tatapan penuh dengan rasa bersalah.
Baru kali ini Kania merasa kalau ucapan dan tindakannya sangat tidak pantas dan tidak sopan kepada orang yang usianya jauh lebih tua dari pada dirinya.
"Siti, sudah sering Bundo katakan kalau manutup aurat itu hukumnya wajib, apalagi kita orang Minangkabau. Adat mengajarkan kita kalau kita itu harus bapedoman pada Al-qur'an dan hadist. Adat basabdi syarak, syarak basandi kitabullah, Nak," jelas bundo.
Pernyataan bundo membuat Kania tertegun, bagaimana mungkin ada adat yang mengatur kehidupan masyarakatnya sampai sedetail itu, mulai dari hal kecil sampai hal besar semuanya diatur dalam adat, dimana adat berlandaskan Al-qur'an dan hadist. Selama ini kedua orang tua Kania tidak pernah mengajarkan perihal agama maupun adat kepadanya, yang ia tahu kalau yang terpenting dalam hidup itu adalah kesuksesan dan uang. Bahkan di sekolah Kania hanya ingin bersenang-senang dengan teman-temannya. Dengan kepopuleran yang ia miliki dan uang yang diberikan orang tuanya, ia sudah merasa sangat bahagia.
Kania mulai merasa malu dengan pakaian yang dikenakannya, ia merasa risih dengan pakaian yang sangat jauh berbeda dengan orang-orang di sini.
"Siti, Siti, kenapa kamu malah diam saja, Nak?" Bundo terlihat tidak suka jika anaknya tidak mendengarkan nasehat darinya.
Dalam adat Minangkabau, ketika orang tua sedang berbicara, maka sang anak wajib memperhatikan dan mendengarkannya.
"Maaf, Bundo, maaf!"
Kania mengaitkan kedua tangannya untuk meminta maaf kepada Bundo.
Ini adalah kali pertamanya juga Kania mengucapkan maaf dengan tulus dan ikhlas kepada seseorang yang baru saja dikenalnya.
"Di mana dapat baju yang kakurangan bahan seperti itu, Nak?" tanya Bundo penasaran.
"Bundo, Bundo mau ikut nggak sama Siti? Siti ingin menunjukkan sesuatu," ujar Kania sembari memegang tangan bundo.
Kania berusaha menghentikan langkah Bundo untuk membawanya pulang ke rumah, ia memutar balik badan dan membawa bundo ke lokasi di mana kecelakaan yang baru saja menimpanya. Ia ingin Bundo membantu Alex dan menyelamatkan lelaki yang menjadi pujaan hatinya itu.
"Kemana kita, Nak? Bundo cuma bertanya di mana Siti mendapatkan baju kekurangan bahan itu, bukan pergi-pergi, Siti!" ucap bundo dengan nada suara yang terdengar kesal.
"Itu, Bundo," tunjuk Kania dengan senyuman.
Bundo heran bercampur geram ketika Kania malah mengajaknya menuju rumah yang dianggap orang sebagai sarang harimau.
"Kita kemana, Nak?" ulang bundo sekali lagi.
"Kesitu, Bundo."
Kania menunjuk ke lokasi dimana ia mengalami kecelakaan.
"Siti, berhenti!" bentak Bundo dengan raut wajah memerah dan mata membelalak.
Teriakan bundo terdengar sangat keras, mata beliau membelalak dan beliau terlihat sangat marah sekali. Namun, Kania tidak mempedulikan wanita paruh baya itu, ia terus berjalan menuju lokasi tempat kecelakaannya terjadi. Yang ia inginkan saat ini adalah bertemu dengan Alex dan membantu lelaki itu.
"Lex, Alex, kamu dimana?" Kania berputar-putar di sekitar lokasi kecelakaan sembari meneriakkan nama Alex kekasihnya.
Kania heran, tidak ada lagi mobil atau Alex di sana.
Kania berpikir keras, ia sangat panik, berbagai hal buruk muncul dalam pikirannya.
Kania kembali berputar dan berlari-lari kecil kesana kemari untuk mencari jejak kecelakaannya, namun ia tidak menemukan apapun. Tidak ada bekas kebakaran dan tidak ada lumuran darah apapun, aspal benar-benar bersih tanpa meninggalkan bekas apa-apa.
Kania panik! Seluruh tubuhnya terasa menggigil, ia takut bercampur heran, karena semua yang terjadi serasa seperti mimpi untuknya.
'Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa Siti? Dimana ini? Siapa aku sebenarnya? Kenapa aku ada di tempat yang sangat aneh ini?'
Berjuta bertanyaan beruntun muncul di benak Kania, namun ia tidak menemukan jawaban apapun.
HA HA HA ....
Kania tertawa seperti orang stres dan gila, ia hilang arah, kehilangan tujuan dan tidak tahu akan berbuat apa-apa.
"Hai, Siti, kamu ngapain ke sini? Mau membayar hutang atau ingin manikah dengan Den (saya)?"
Lelaki tua bangka dengan perawakan tinggi, menggenakan tongkat dan penutup kepala seperti seorang Datuk, datang menghapiri Kania dengan senyuman yang terlihat picik.
"Angku (Kakek) sia?"
Penampilan lelaki tua yang lebih cocok dipanggil kakek itu sungguh membuat Kania jijik kepadanya.
Kania membelalakkan wajahnya menatap lelaki tua bangga yang sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini.
"Siti, panggil Den dengan panggilan Uda (Mas), sebentar lagi Den akan jadi suami kamu!"
Lelaki tua bangka itu tertawa lepas sembari memandang rendah kepada Kania. Terlihat jelas kalau beliau sangat tidak menghargai orang lain.
Sutt ...
J I J I K !
Kania meludah tepat di depan Datuak Maringgih.