Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

[6]

Niel menekan klakson berulang kali. Ia sudah menunggu lima belas menit di dalam mobilnya dan gadis yang dirinya tunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Pemuda itu mengeram— tidak mungkin sekali jika Zeu memiliki kotoran di kupingnya sehingga diserang penyakit tuli dadakan.

“Mana nih cewek.. Dua puluh menit lagi gerbang ditutup! Tau macet nggak Si Zeu!!” Gerutu Niel sembari menuruni mobilnya.

“Han!!” Teriak Niel mengagetkan Handoko yang juga sedang menanti kehadiran Darmanto di pekarangan rumah.

“Mas Niel.. Apa yang bisa Handoko bantu, Mas?!”

Seperti biasa— Pengabdi setia Niel itu akan melakukan apa pun yang Tuannya inginkan. Ia merupakan pengikut paling wahid. Tak seperti Darmanto yang kerap membelot demi mengikuti kata hatinya, Handoko selalu berada di belakang Niel. Ia merupakan sosok terdepan jika berkenaan dengan sang pangeran Tirto.

“Liat Zeu nggak lo?!”

Mata Handoko melebar. Tumben sekali anak atasannya menanyakan gadis yang sering dianggap hama ini. Nanti ia harus menceritakannya pada Darmanto. Teman satu rumahnya tersebut pasti tercengang hebat. La wong dirinya saja sampai terkaget-kaget, apa lagi Darmanto coba.

“Itu,” Handoko terdengar ragu. ‘Duh, ngamuk nggak ya, ini Buaya Rawa?’ batin Handoko bertanya-tanya. Masalahnya gadis yang dicari-cari sudah tidak ada di area mereka.

“Apaan cepet?! Kalau belom liat, tolong panggilin. Males gue buang-buang tenaga!”

“Begini Mas..” Menelan ludahnya sendiri, Handoko sudah memantapkan diri. Ia rela jika harus menjadi samsak hidup junjungannya.

“Em, anu..”

Perasaan Niel tiba-tiba tidak enak. “Jangan banyak basa-basi bisa nggak?! Lo nggak lagi upacara pembukaan!” Amuk Niel. Jarum jam yang melingkar di tangannya terus berjalan. Ia kemarin sudah tidak sekolah karena insiden yang menimpa istri settingannya, masa sekarang harus terlambat. Bisa-Bisa orang tuanya kembali dipanggil untuk alasan sepele.

“Mbak Zeu udah berangkat, Mas.” Dalam satu tarikan napas, Handoko mengungkapkan keberadaan sang nona muda.

“What?!” Tangan Niel mengepal. “Sama siapa?! Mobil Om Alex masih nangkring di depan. Punya Tante Sarah juga. Berangkat sama siapa dia?!” Nada suara Niel meninggi. Ia merasa tersinggung karena Zeu meninggalkan dirinya tanpa pamit. Seharusnya gadis itu memberitahunya terlebih dulu agar ia tak menunggu seperti sapi ompong.

“Nggak mungkin dia naik Grab kan?!” Itu jelas tidak mungkin terjadi. Orang tuanya begitu menyayangi Zeu. Jika salah satu tidak bisa mengantar, maka akan ada yang mengorbankan diri untuk memastikan putrinya selamat sampai di tempat tujuan.

“Berangkat bareng Raden Mas Raksa, Mas.”

Kesal— Niel menendang kaki Handoko sampai asisten kedua orang tuanya itu mengaduh kesakitan. Handoko sampai berputar-putar sembari memegangi kaki yang dirinya angkat. Lagi-lagi kesialan menimpa dirinya. Kenapa harus dirinya yang mendapat jadwal membersihkan mobil atasannya. Mengapa harus bertepatan dengan mood anak majikannya yang buruk.

‘Ya Allah, Ya Rabbi. Why selalu saya yang sial terus kalau ngadepin Mas Niel? Apa dosa dan salah saya?’ Ratap Handoko dalam hati. Rasanya ia ingin menangis.

Handoko tak berani macam-macam. Ia memilih bungkam daripada kembali mendapatkan kemarahan Niel.

“Sialan!” Maki Niel. Ia memutar tubuhnya, berjalan penuh hentakan menuju mobilnya. Untuk apa dia berinisiatif berangkat bersama. Mamanya juga tak menyuruhnya tadi. Sekarang Niel benar-benar marah. Zeusyu membangkitkan amarah yang sejak semalam dirinya coba tahan.

“HANDOKO! SURUH SATPAM BUKA PAGER!!” Jerit Niel membuat Handoko lari terbirit-birit menuju pos satpam. Kemurkaan Niel merupakan hal yang paling sulit untuk ditangani. Hanya orang-orang tertentu yang dapat mengatasi amarah pemuda itu dan itu bukan dirinya.

Niel kembali menekan klaksonnya. Orang-Orang dibuat terperanjat oleh ulah anak itu yang baru saja keluar dari kediaman Tirto.

“Junjungannya Pak Han makin hari makin ngeri!”

Handoko mengangguk lemah, menyetujui apa yang salah satu satpam katakan. Masalah percintaan ternyata bisa membuat seseorang berubah menjadi mengerikan.

“Padahal katanya nggak cinta, Pak. Tapi mukanya udah kayak kerang rebus. Merah banget gara-gara ditinggal berangkat sekolah aja.”

“Biasa Pak Han. Anak muda.. Kalau udah kehilangan baru terasa.”

Keduanya lantas tertawa terbahak-bahak. Kiasan pepatah memang tak pernah salah. Keberadaan seseorang akan terasa berarti jika dirinya telah lenyap.

SAMPAI di sekolahnya, Niel meninggalkan tunggangannya begitu saja. Ia meminta salah satu temannya untuk memarkirkan mobilnya. Temperamen Niel sang pangeran sekolah memang sudah diketahui banyak orang. Tak ada siswa yang berani mengganggu atau pun menolak perintah Niel– kecuali salah satu geng dari mata jurusan yang berbeda.

“Mana Raksa?!” Tak ada buruan selain sang keponakan yang dirinya cari. Anak yang selalu berangkat bersama abdi dalemnya tersebut, sepertinya memang senang menantang dirinya. Ia yakin Oma mereka sudah memberitahukan jika dirinya tak menyetujui pembatalan perjodohan, tapi kenapa anak itu masih saja nekat.

“Gue nggak liat, Niel..”

Niel menendang pintu kelas Raksa. Mereka memang berada di kelas yang berbeda. Keponakan Niel tersebut memiliki kelas yang sama dengan Zeusyu. Hanya dirinya yang berminat memisahkan diri. Ia tak berselera sekolah jika harus selalu melihat wajah istrinya itu.

“Rak!!”

Raksa menutup buku di tangannya. Ia meminta abdi dalemnya untuk keluar meski kelas belum berlangsung. Anggota keluarga Tirto itu berdiri menyambut kedatangan pamannya. Ia berdehem pelan, sebelum menanyakan apa yang membuat sang paman menemuinya.

“Beraninya lo bawa Zeu?! Tau nggak, gara-gara lo gue nunggu kayak orang bego!” Sentak Niel. Ia mencengkram kerah seragam Raksa. Tak ada lagi sosok Abang yang menyangani adiknya ketika kecil. Waktu telah mengubah kepribadian Niel.

“Katanya Zeu mau chatting lo, kalau udah nyampe sekolahan.” Jawab Raksa tenang. Ia memang mewarisi seluruh sifat ibu dan bapaknya. Sosoknya tumbuh dengan kedewasaan melebihi teman-teman sebayanya.

“Nggak ada!”

“Ya bukan salah gue dong!”

Cengkraman Niel terlepas ketika beberapa sahabatnya masuk mengabarkan kalau Zeusyu sedang dalam masalah. Salah satu sahabat Niel mengatakan jika Zeusyu tengah berada di daerah kekuasaan anak-anak IPS. Mendengar kabar tersebut Niel langsung bergegas keluar. Ia berjalan cepat menuju tempat yang disebutkan teman-temannya.

“Reg.. Lo ngabarinnya salah siatusi, Nyet!!” Jeno yang melihat kemarahan Niel meraup wajah Rega. Sepertinya pentolan grup mereka itu tak dalam kondisi yang baik. “Bisa kisruh lagi ini!”

Rega menggaruk lehernya, “gue cuman ngabarin. Biasanya dia juga diem aja. Kenapa sekarang ngibrit kayak jin gitu?!” tanya Rega sembari mengangkat kedua tangannya ke atas. Ia sendiri juga tidak mengerti dengan respon yang Niel tampakkan. Di matanya Niel sungguh berlebihan.

“Rak, Om lo kenapa?!” tanya Rega. Ia melihat Raksa yang hanya mengedikan bahu pertanda bahwa anak itu juga tak mengetahui sebabnya.

“Ngapain malah rapat di sini?! Kejar bego! Berantem sama si Caesar ini pasti dia!” Panik Alvian. Ia memiliki perasaan tidak enak dengan angkat kakinya bos mereka.

Rega melambaikan tangannya, “nggak mungkin! Ngapain juga. Paling dia cuman liatin di pojokan kantin!” Ucapnya percaya diri. Setahu mereka Niel kan tidak memiliki perasaan pada gadis yang dijodohkan padanya itu. Lagipula Niel juga sudah memiliki Meyselin— mantan kakak kelas mereka dulu.

“Cuy!!” Sahabat Niel yang lain— Zikri, terlihat berlarian menghampiri ketiganya. Napasnya tersengal-sengal meski panggilannya sedikit mendayu menyerupai penyanyi dangdut. “Anak kelas kita yang di kantin bilang, kalau Bos Besar duel sama Gama!” Lapornya, mendapatkan berita ter-up to date.

“Gamalael Caesar?!” Pekik Rega.

“Gamalael mana lagi di sekolah kita, Oncom! yang berani ngibarin bendera perang kan emang cuman itu anak! Berangkat kita! Si Lael lagi barengan sama Brian, Victor!”

“Matek!! Meledak itu bocah di komporin sama Pikiran Kotor!” Desah Alvian menepuk keningnya. Anak IPS yang satu itu gayanya super santai tapi selalu berhasil membangkitkan iblis di dalam jiwa seseorang. Gelarnya saja Raden Mas tapi tingkah lakunya sangat jauh berbeda dari Raksa yang sama-sama memiliki gelar serupa.

Sahabat Niel berbondong-bondong menghampiri bos mereka. Keempat anak yang selalu berada di sisi Niel tersebut melesat bak meteor. Mereka tak menyadari jika dibelakang mereka Raksa juga mengikuti langkahnya.

“Apaan sih masalahnya, Nyet?! Bukan Niel banget gila!” Decak Rega.

Zikri saja hampir pingsan ketika mendapat laporan dari mulut pertama. “Lael nyium pipi Zeu!!” Infonya membuat kaki-kaki mereka serasa diberi tambahan tenaga ekstra.

Kaki Raksa berhenti. Ia menatap kepergian teman-teman Niel dari tempatnya.

“Raden Mas..”

“Bawa Zeu diam-diam.. Mereka pasti adu tenaga.. Jangan sampai Zeu kenapa-napa!” Titah Raksa. Dibandingkan Niel ia memiliki otak yang dapat diandalkan, alih-alih menomor satukan emosi. Ia selalu unggul dalam menentukan siasat. Untuk apa mengotori tangannya— Ia dapat membuat perhitungan nanti ketika pulang sekolah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel