Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

[7]

Mata Niel menyala merah. Jari-Jari tangannya terkepal erat kala kedua sol sepatunya menginjak area kantin sekolah. Napasnya yang tersengal semakin tak beraturan, karena menahan letupan emosi yang bersarang di dadanya.

Rega benar. Apa yang sahabatnya laporkan tidak salah, apalagi ditaburi bumbu-bumbu penyedap. Zeusyu memang sedang diganggu oleh cicit pemilik Yayasan tempat mereka bersekolah.

Menghentakkan langkah, Niel telah bersiap memasang kuda-kudanya. Anak muda itu menarik kerah seragam sekolah Gamalael– membuat anak yang paling disegani Se-Bumi Pena itu terhuyung hingga menuruni meja tempatnya duduk.

“Apaan lo, Tirto?”

Mereka memang terbiasa memanggil menggunakan nama belakang satu sama lain. Kebiasaan mengucapkan nama keluarga tersebut berawal dari pertengkaran pertama mereka di kelas satu. Siapa pun sudah mengetahui kebiasaan ini.

“Lepasin baju gue! Lo mau cari mati?!” Sentak Gamalael.

Tanpa banyak kata, Niel menghantamkan kepalan tangannya ke wajah sang penguasa Caesar. Ia tidak takut dengan hukuman yang menanti. Ribuan kali mereka berselisih paham, namun namanya tidak pernah sampai menjadi target siswa usiran di Bumi Pena. Uang bisa melakukan segalanya dan itu berlaku juga untuk dirinya walau berkali-kali terlibat baku hantam dengan Gamalael.

“Gue bilang jauhin Zeu, Sialan!” Suara menggegar Niel menggema. Ia merunduk, berniat ingin kembali mengais seragam Gamalael jika saja sepupu-sepupu anak itu tak menghalangi jalannya.

“Gue peringatin, jangan sentuh tunangan gue kalau lo masih mau hidup!” Peringatan tersebut melambung sangat tajam. Niel tidak pernah bermain dengan kata-katanya. Ia benar-benar akan menghabisi Gamalael jika pangeran dari trah Caesar itu kembali melewati batas.

Niel membalikkan tubuhnya. Rencananya ia ingin membawa Zeusyu pergi dari kantin, tapi tindakan itu tampaknya harus diurungkan kala matanya tak melihat sang istri settingan.

“Mana Zeusyu?” tanya Niel karena tak mendapatkan Zeusyu yang tadi duduk di salah satu kursi. Satu alisnya menukik sangat tinggi.

“Bos..” Rega meringis, “orang yang lo cari, barusan aja dibawa pergi sama Abdi Dalemnya Raksa.” Infonya tak enak hati. Pahlawan yang ingin menyelamatkan kekasih tak dianggapnya tersebut sungguh malang. Sudah susah-susah war, eh.. Alasannya ribut malah dicuri diam-diam. Rega kan jadi bingung memilih jobdesk terbaru sebagai penonton kemarahan Niel– Antara ingin tertawa atau malah kasihan.

“Ke mana?”

“Pintu kantin cuman satu, Bos.” Zikri memberitahu kalau-kalau saja Niel lupa.

“Ck! Mangkuhartianto, Babi!”

Niel berlari meninggalkan teman-temannya. Sebelumnya ia sempat melihat senyum menyeringai Gamalael. Tak sadar– putra bungsu Amelia Tirto itu kembali mengepalkan jari-jarinya. Jujur saja Niel benci dengan Gamalael. Anak itu seakan tak memiliki jera untuk mengganggu Zeusyu. Ia sudah memperingatkan berulang kali, tapi Gamalael terus saja mengusik ketenangan Zeusyu di sekolah.

Entah apa yang anak itu inginkan, Niel sendiri tidak tahu. Orang seperti Gamalael yang suka bergonta-ganti pasangan jelas tidak mungkin menaruh rasa pada Zeusyu. Dia pasti cuma menjadikan Zeusyu mainan sesaat sebelum istrinya itu dilempar ke tong sampah.

“Berani lo lanjutin langkah kaki, gue pastiin Raksa bakalan terusir dari rumah utama! Lo jelas tau, satu kerajaan nggak boleh ada dua pangeran mahkota!”

Zeusyu terpaksa berhenti di tempatnya. Gadis itu meminta Abdi Dalem Raksa untuk menyampaikan pesan supaya pangerannya tak perlu cemas dengan keadaannya. Seperti apa yang terlihat, Zeusyu baik-baik saja. “Tolong ucapkan terima kasih, nanti saya menyusul ke kelas.”

“Baik Non.”

Niel berjalan tergesa. Ia menyambar lengan Zeusyu, menyeretnya istri settingan yang tidak dicintainya itu menuju tempat parkir. “Masuk!” Titahnya usai membuka pintu mobil.

“Ngapain? Sebentar lagi bel sekolah bunyi.”

“Gue bilang masuk, ya masuk!” Mengabaikan penolakan yang sepertinya akan terjadi, Niel mendorong tubuh Zeusyu untuk memasuki mobilnya. “Jangan coba-coba keluar lagi!” Pemuda itu membanting keras pintu sebelum berlari memutari mobil untuk masuk ke dalam sisi lainnya.

“Niel mau kemana?!” Zeusyu panik saat Niel menyalakan mesin. Kemarin mereka sudah alpa tanpa keterangan.

Niel tidak merespon pertanyaan Zeusyu. Alih-laih menjawabnya, Niel justru menginjak pedal gas. Lonceng masuk belum berbunyi, itu tandanya masih ada kesempatan untuk mereka kabur melewati gerbang sekolah.

“Pake sabuk pengaman lo!”

“Balik Niel.. Aku mau sekolah. Raksa juga pasti nyariin aku.”

Persetan dengan sekolah dan sepupunya– Niel tidak peduli. Ia sedang marah sekarang. Emosinya berada di ubun-ubun karena menyaksikan Zeusyu baik-baik saja setelah Gamalael mencium pipinya. Seharusnya Zeusyu menangis seperti kemarin-kemarin. Seharusnya dia tidak setenang ini, seolah laki-laki lain tidak pernah menyentuh bagian tubuhnya.

“Tutup mulut lo apa gue cium!” Ancam Niel.

“Aku nggak mau bolos Niel. Tolong turunin aku.”

Zeusyu sempat merasa lega saat Niel menepikan mobilnya. Ia pikir Niel akan melepaskannya. Tidak apa-apa jika ia harus kembali dan dihukum karena terlambat. Itu jauh lebih baik dibandingkan pergi bersama Niel yang sedang coba dirinya hindari.

Namun kelegaan itu tak bertahan lama. Matanya yang cantik seketika membulat, menolak percaya saat Niel memegang kepala belakangnya, lalu mendaratkan sebuah ciuman. Tubuhnya langsung membeku layaknya bongkahan es batu. Ia bahkan tak bisa memberikan perlawanan kala bibirnya dikuasai Niel.

Sedangkan untuk Niel sendiri– anak itu tak merasa membuat sebuah kesalahan setelah merasakan bibir lain selain milik kekasihnya. Niel justru memejamkan matanya, berusaha lebih menikmati apa yang dirinya kulum saat ini. Tangannya yang menganggur bahkan menggenggam jemari Zeusyu. Sampai sebuah ketukan menyadarkan Niel dari kegilaannya.

“Polisi..” Cicit Zeusyu ketakutan, berbeda dengan Niel yang dengan santainya menurunkan kaca mobil.

“Selamat pagi, Dek.. Apa yang sedang adek berdua lakukan di dalam mobil? Saya melihat ada aktivitas tidak pantas dari pos saya.”

“Dia tunangan saya.” Niel mengangkat tangan kirinya lalu memaksa Zeusyu melakukan hal yang sama. “Kalau Bapak tidak percaya, Bapak bisa hubungi pengacara keluarga saya.” Ujarnya lalu membuka dashboard mobil, membuat Zeusyu memundurkan tubuhnya agar tak bertabrakan dengan Niel.

Kosong..

Zeusyu tak dapat mencerna apa yang terjadi. Otaknya blank setelah mengetahui Niel mengenakan cincin pertunangan mereka.

‘Sejak kapan?’ batin Zeusyu bertanya-tanya. Selama ini Niel melepasnya. Katanya pria itu tak sudi mengenakan apa pun yang menyebabkannya terikat bersama dirinya. Bahkan jauh dari hal tersebut, Niel berkata tak ingin menyakiti hati Meyselin. Mereka mungkin telah bertunangan atau bahkan gilanya menikah di usia dini, namun perjodohan tersebut tak lantas menjadi sebuah keharusan dimana Niel terkurung dan mengkhianati Meyselin secara terang-terangan.

Zeusyu tersentak dari lamunan. Ia merasakan ibu jari Niel mengusap bibirnya. Ia bahkan tidak menyadari jika pembicaraan Niel dengan petugas kepolisian telah selesai.

“Kita lanjutin di apartemen, Tunangan!”

‘No!’ Hati Zeusyu menjerit. Ia tidak mau mengulang kontak fisik yang beberapa saat lalu mereka lakukan. Tidak untuk nanti atau pun hari berikutnya. Zeusyu telah memutuskan untuk mundur.

“Aku nggak mau. Buka lock-nya. Aku mau pulang, Niel.” Ciuman seperti tadi hanya akan membuatnya semakin sulit melupakan Niel.

“Apartemen kan rumah kita juga. Itu hadiah pertunangan kita kan? Ayo kita pulang ke sana.” Niel berucap tanpa perasaan. Tidak ada ekspresi apa pun dibalik wajah tampannya.

“Nggak!” Zeusyu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Please turunin aku. Apa salah aku Niel? Kenapa kamu kayak gini?! yang tadi, aku nggak akan cerita ke siapa-siapa. Itu akan jadi rahasia kita. Kam-Kamu bisa ajak Kak Meyse ke apart. Aku nggak apa-apa, Niel.”

“Sayangnya yang bikin kesalahan hari ini bukan Meyselin, tapi kamu Tunangan..”

Niel ingin melakukannya lagi. Anggap saja itu sebagai hukuman meski ia sendiri tahu, dirinyalah yang menginginkan ciuman tersebut mereka ulang. Bibir Zeusyu terasa manis dilidahnya tidak seperti milik..

Meyselin..

Niel merasa menjadi laki-laki terburuk karena membandingkan-bandingkan kekasihnya.

“Kita pulang ke rumah!” Putus Niel akhirnya. Jari-jarinya mencengkram roda kemudi erat. ‘Sial.. Gue kenapa coba!’ Rutuk Niel karena sadar jika ia telah kehilangan kendali atas dirinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel