Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Hari Sabtu.

Hari yang paling menyenangkan sekaligus ditunggu-tunggu oleh seluruh murid SMA Golden. Kenapa? Karena, dihari ini mereka di bebaskan dari semua pelajaran yang memusingkan kepala.

Hanya akan ada extra kulikuler seharian ini. Yang tentunya, memanjakan mata para siswi SMA Golden, karena seharian ini akan disuguhi pemandangan cowok tampan dari berbagai eskul di lapangan.

Dari dua belas eskul yang tersedia di sekolah elite ini. Hanya ada tiga eskul yang paling mencolok. Diantaranya, Basket, Futsal dan cheerleaders.

Kapten basket alias Farrel, menjadi bintang lapangan, sekaligus penyuci mata pagi-pagi seperti ini. Panas dan terik pun, para siswi tangkis hanya untuk menonton Farrel berlari-lari mengejar bola di lapangan basket.

Sama halnya dengan lapangan futsal. Dipenuhi lautan kaum hawa yang mengidolakan Ketua osis sekaligus kapten futsal SMA Golden, dia adalah Raditya Dharmawangsa.

Tim pemandu sorak alias cheerleaders pun tidak luput menjadi sorotan. Dengan pakaian yang terbilang sexy, mereka berteriak sembari mengangkat pom-pom naik turun untuk meneriaki para pemain Basket yang sedang bertanding.

Berbagai jenis makhluk berada di lapangan ini. Ada yang ber fan girl ria, ada yang sibuk menyemangati, ada juga yang cemburu buta.

Retha, gadis itu sudah memajukan bibirnya lima senti. Bagaimana tidak? Di sisi kiri dan kanannya, heboh berteriak mendukung Farrel.

Retha tidak lebay. Tapi, para siswi ini yang lebay. Bahkan tidak tau malu. Sudah tahu ada pacar Farrel disini, masih saja berteriak tidak tahu diri.

I love you Farrel!

Duh, Farrel jodoh ku!

Farrel semangat!

Bola aja Farrel jagain, apa lagi aku.

Ya Allah, semoga Farrel cepat jomblo lagi.

Langsung saja Retha menoleh ke belakang. Mencari siapa orang yang baru saja mendoakannya dam Farrel agar cepat putus.

Rupanya, orang itu belum tahu, kalau golok itu tajam.

Mata Retha memincing di kerumunan fans Farrel itu. Sayang, mencari di penyibir itu, ibaratkan mencari sebuah jarum di tumpukam jerami. Sulit.

Valerie yang berada di saming Retha, menyadari bahwa sahabatnya itu mulai naik darah. Valerie pun sadar, bahwa sedari tadi yang di teriaki dan di semangati hanyalah Farrel.

Padahlah, dilapangan itu bukan hanya ada Farrel. Masih ada sembilan orang pemain lagi. Wajah mereka juga nyaman untuk di pandang, tidak jelek-jelek amat.

Namun, tetap saja. Seperti Retha, dimata gadis-gadis itu hanya ada Farrel Manggala Wdyatmaja si Troublemaker Boy.

Dengan kelembutannya yang seperti biasa. Valerie mengusap bahu Retha untuk menenangkan sahabatnya itu.

"Udah, Tha. Mereka cuman fans Farrel. Mereka udah ada semenjak Farrel ada. Nggak usah di pikirin." ujar Valerie menenangkan.

"Telinga gue panas, Val. Kenapa cuman Farrel, sih yang mereka semangatin? Di sana juga banyak cowok ganteng, kok." ucap Retha geregetan.

Valerie menghembuskan nafasnya. "Tha, mereka itu fans Farrel. Ya, otomatis mereka dukung Farrel. Dalam artian, lo itu fansnya Ayu tingting, tapi lo di suruh ngedukung Nagita Slavina. Mau nggak?"

"Vale..." sela Deva yang juga berada di samping Retha.

"Bisa nggak, kalo ngeibaratin sesuatu, jangan yang ngaco?" tanya Deva sinis.

"Apanya yang ngaco, sih. Nyambung kok." ucap Valerie pada Deva.

Deva menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gini, nih. Kalo pacaran sama most wanted yang banyak fans. Sakit hati mulu."

"Deva!" tegur Valerie.

F to the A to the R to the R to the E to the L

FARREL!

Telinga Retha semakin panas. Saat mendengar tim pemandu sorak menyemangati Farrel. Apa lagi, Cindy selaku kapten Cheers, terus melompat-lompat kegirangan.

Bertepatan saat itu juga, Farrel berhasil mencetak three point. Dan, membuat riuh teriakan penonton semakin menggelegar.

Farrel berlari sembari menebarkan senyum limited editionnya. Ia melirik ke pinggir lapangan, di tempat ia meninggalkan Retha tadi. Perkiraan Farrel benar, ia bisa melihat Retha dengan jelas di sana.

Farrel menyunggingkan senyum senangnya ke arah Retha dan gadis itu membalasnya. Sayang, bukan hanya Retha yang membalas senyumannya. Namun, hampir seluruh siswi yang berada di dekat Retha ikut tersenyum.

Setelah itu, Farrel kembali berlari ke tengah lapangan. Bersiap merebut bola yang sedang di drible lawan.

Bimo berhasil merebut bola itu, dan bersiap hendak melemparkan ke Farrel.

"Rel!" teriak Bimo seraya mengoper bola itu.

Sayang, Farrel gagal menangkap bola besar berwarna jingga itu. Bola itu melambung tinggi, sampai akhirnya memantul pada salah satu penonton.

Dan, mata Farrel membulat seketika karena orang yang baru saja tertimpuk bola basket adalah

"Retha!"

*****

Tepat saat kepalanya terkena sesuatu yang sangat keras, tubuh Retha terhuyung kebelakang dan terjatuh ke tanah.

Gadis itu meringis, hidungnya terasa mengeluarkan sesuatu. Matanya terbuka lebar, namun yang ia lihat hanyalah gelap.

Retha masih setengah sadar. Ia bisa merasakan seseorang menepuk-nepuk pipinya sembari memanggil-manggil namanya.

Bibir Retha bergetar, sulit untuk menjawab. Di tambah, ia kesulitan untuk bernafas. Yang Retha hirup hanyalah bau keringat dan parfum yang tercampur menjadi satu.

Sekarang, Retha bagaikan sebutir gula yang sedang di kerubungi ribuan semut.

Retha memegang pangkal hidungnya yang terasa sakit, matanya mulai sayu dan ingin tertutup.

Sampai pada akhirnya, semuanya, gelap.

****

Farrel segera berlari kearah orang-orang yang sedang mengerubungi Retha. Cowok itu kesulitan untuk mencapai gadisnya yang sedang terkapar tidak berdaya karena tidak bisa bernafas.

"Minggir woi!" teriak Farrel dengan lantang.

Tidak ada yang menyingkir. Mungkin teriakan Farrel kurang kencang.

"Woi!" teriak Farrel sekali lagi. "Lo semua mau bikin cewek gue mati kehabisan nafas?!"

Setelah itu, satu persatu orang yang mengerubungi Retha mulai menyingkir. Memberi akses untuk Farrel menerobos.

Mata Farrel terbelalak saat mendapati Retha yang sudah tidak sadarkan diri di pelukan Valerie. Hidung gadis itu berdarah. Rupanya, operan Bimo tadi sangat kencang.

Tanpa basa-basi, Farrel mengangkat Retha sendirian ala bridal style. Membawa gadisnya itu ke UKS untuk segera mendapatkan penanganan.

Farrel membawa Retha di dalam pelukannya dengan erat. Sesekali ia melirik gadis yang sedang tidak sadarkan diri di dalam pelukannya itu.

Sesampainya di UKS, Farrel langsung merebahkan Retha di bilik ujung khusus miliknya.

Farrel mencari para petugas PMR yang seharusnya berjaga di sini. Namun, cowok itu tidak menemukan apapun selain ruangan yang kosong. Dan, orang-orang yang mengintip di balik jendela.

"Ini anak PMR pada kemana, sih?!" teriak Farrel kesal.

Sayangnya, ini adalah hari sabtu. Tidak ada dokter magang yang berjaga, hanya ada anak PMR. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang muncul.

Dengan kesal, Farrel berjalan ke arah pintu. Ia mendapati puluhan siswa dan siswi yang tengah mengintip dirinya.

"Ngapain?!" tegur Farrel kesal. "Siapa di antara lo semua yang anak PMR?!" tanya Farrel dengan nada yang tidak santai.

Bukannya menjawab. Mereka malah menatap Farrel, melongo karena sang idola sekolah baru saja mengajak mereka berbicara. Walaupun lebih terkesan membentak.

"Sa-saya, kak.." ucap salah seorang siswi dengan ragu. Itu adalah Mitha, salah satu anggota PMR.

"Sini lo!" Farrel menarik Mitha dengan kasar, dan membawanya ke bilik yang ada Retha. "Obatin!"

Tubuh Mitha bergetar, sepertinya ia sudah salah karena mengaku sebagai anak PMR. Ia memang anak PMR, tapi kalau di marahi seperti ini, lebih baik ia tidak usah mengaku.

"Siapa, sih ketua PMR? Nggak becus banget ngurusin anggotanya!" kesal Farrel. "Bersihin mimisannya pelan-pelan!" perintahnya pada Mitha yang sedang mengobati Retha.

"Ke-ketuanya kak,"

"Nggak becus banget!"potong Farrel cepat. "Apa gunanya eskul PMR kalo nggak bisa di andelin waktu kayak gini, siapa sih ketuanya?!"

"Kak, kak Re--"

"Halah. Nggak becus emang," potong Farrel cepat. "Bubarin aja udah, eskul nggak guna."

"Tapi, kak..."

"Diem!"

Mitha langsung kicep. Tidak berani lagi berbicara. Ia tidak bisa membayangkan, saat Retha bangun dan mendengar Farrel yang mengomel tentang eskul PMR.

Farrel terus mengomel dan berkata ingin membubarkan eskul PMR karna di nilainya tidak berguna. Sedangkan Mitha, gadis itu sedang berusaha menyadarkan Retha.

"Far...rel.."

Farrel membalikan tubuhnya. Menatap gadisnya yang kini mulai membuka matanya.

"Kamu nggak papa? Mana yang sakit? Perlu ke rumah sakit, nggak? Kamu susah nafas, nggak? Butuh oksigen?" tanya Farrel tanpa jeda.

Retha menggelengkan kepalanya. "Kamu, kenapa marah-marah?" tanyanya dengan suara serak.

"Ini, nih. Siapa, sih ketua eskul PMR? Nggak becus banget urusin anak buahnya. Masa UKS kosong, sampe aku harus nyari anggota PMR kesana kemari. Nggak guna banget. Harusnya petugas PMR itu siap siaga disini. Bukan malah keluyuran, ini juga pasti gara-gara ketuanya yang kurang tegas." ucap Farrel panjang lebar.

"Farrel," panggil Retha dengan suara datar.

"Kenapa, sayang?"

"Ketua PMR yang nggak becus itu, aku."

Dan, saat ini juga Farrel ingin menceburkan dirinya ke laut antartika.

Hari Sabtu.

Hari yang paling menyenangkan sekaligus ditunggu-tunggu oleh seluruh murid SMA Golden. Kenapa? Karena, dihari ini mereka di bebaskan dari semua pelajaran yang memusingkan kepala.

Hanya akan ada extra kulikuler seharian ini. Yang tentunya, memanjakan mata para siswi SMA Golden, karena seharian ini akan disuguhi pemandangan cowok tampan dari berbagai eskul di lapangan.

Dari dua belas eskul yang tersedia di sekolah elite ini. Hanya ada tiga eskul yang paling mencolok. Diantaranya, Basket, Futsal dan cheerleaders.

Kapten basket alias Farrel, menjadi bintang lapangan, sekaligus penyuci mata pagi-pagi seperti ini. Panas dan terik pun, para siswi tangkis hanya untuk menonton Farrel berlari-lari mengejar bola di lapangan basket.

Sama halnya dengan lapangan futsal. Dipenuhi lautan kaum hawa yang mengidolakan Ketua osis sekaligus kapten futsal SMA Golden, dia adalah Raditya Dharmawangsa.

Tim pemandu sorak alias cheerleaders pun tidak luput menjadi sorotan. Dengan pakaian yang terbilang sexy, mereka berteriak sembari mengangkat pom-pom naik turun untuk meneriaki para pemain Basket yang sedang bertanding.

Berbagai jenis makhluk berada di lapangan ini. Ada yang ber fan girl ria, ada yang sibuk menyemangati, ada juga yang cemburu buta.

Retha, gadis itu sudah memajukan bibirnya lima senti. Bagaimana tidak? Di sisi kiri dan kanannya, heboh berteriak mendukung Farrel.

Retha tidak lebay. Tapi, para siswi ini yang lebay. Bahkan tidak tau malu. Sudah tahu ada pacar Farrel disini, masih saja berteriak tidak tahu diri.

I love you Farrel!

Duh, Farrel jodoh ku!

Farrel semangat!

Bola aja Farrel jagain, apa lagi aku.

Ya Allah, semoga Farrel cepat jomblo lagi.

Langsung saja Retha menoleh ke belakang. Mencari siapa orang yang baru saja mendoakannya dam Farrel agar cepat putus.

Rupanya, orang itu belum tahu, kalau golok itu tajam.

Mata Retha memincing di kerumunan fans Farrel itu. Sayang, mencari di penyibir itu, ibaratkan mencari sebuah jarum di tumpukam jerami. Sulit.

Valerie yang berada di saming Retha, menyadari bahwa sahabatnya itu mulai naik darah. Valerie pun sadar, bahwa sedari tadi yang di teriaki dan di semangati hanyalah Farrel.

Padahlah, dilapangan itu bukan hanya ada Farrel. Masih ada sembilan orang pemain lagi. Wajah mereka juga nyaman untuk di pandang, tidak jelek-jelek amat.

Namun, tetap saja. Seperti Retha, dimata gadis-gadis itu hanya ada Farrel Manggala Wdyatmaja si Troublemaker Boy.

Dengan kelembutannya yang seperti biasa. Valerie mengusap bahu Retha untuk menenangkan sahabatnya itu.

"Udah, Tha. Mereka cuman fans Farrel. Mereka udah ada semenjak Farrel ada. Nggak usah di pikirin." ujar Valerie menenangkan.

"Telinga gue panas, Val. Kenapa cuman Farrel, sih yang mereka semangatin? Di sana juga banyak cowok ganteng, kok." ucap Retha geregetan.

Valerie menghembuskan nafasnya. "Tha, mereka itu fans Farrel. Ya, otomatis mereka dukung Farrel. Dalam artian, lo itu fansnya Ayu tingting, tapi lo di suruh ngedukung Nagita Slavina. Mau nggak?"

"Vale..." sela Deva yang juga berada di samping Retha.

"Bisa nggak, kalo ngeibaratin sesuatu, jangan yang ngaco?" tanya Deva sinis.

"Apanya yang ngaco, sih. Nyambung kok." ucap Valerie pada Deva.

Deva menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gini, nih. Kalo pacaran sama most wanted yang banyak fans. Sakit hati mulu."

"Deva!" tegur Valerie.

F to the A to the R to the R to the E to the L

FARREL!

Telinga Retha semakin panas. Saat mendengar tim pemandu sorak menyemangati Farrel. Apa lagi, Cindy selaku kapten Cheers, terus melompat-lompat kegirangan.

Bertepatan saat itu juga, Farrel berhasil mencetak three point. Dan, membuat riuh teriakan penonton semakin menggelegar.

Farrel berlari sembari menebarkan senyum limited editionnya. Ia melirik ke pinggir lapangan, di tempat ia meninggalkan Retha tadi. Perkiraan Farrel benar, ia bisa melihat Retha dengan jelas di sana.

Farrel menyunggingkan senyum senangnya ke arah Retha dan gadis itu membalasnya. Sayang, bukan hanya Retha yang membalas senyumannya. Namun, hampir seluruh siswi yang berada di dekat Retha ikut tersenyum.

Setelah itu, Farrel kembali berlari ke tengah lapangan. Bersiap merebut bola yang sedang di drible lawan.

Bimo berhasil merebut bola itu, dan bersiap hendak melemparkan ke Farrel.

"Rel!" teriak Bimo seraya mengoper bola itu.

Sayang, Farrel gagal menangkap bola besar berwarna jingga itu. Bola itu melambung tinggi, sampai akhirnya memantul pada salah satu penonton.

Dan, mata Farrel membulat seketika karena orang yang baru saja tertimpuk bola basket adalah

"Retha!"

*****

Tepat saat kepalanya terkena sesuatu yang sangat keras, tubuh Retha terhuyung kebelakang dan terjatuh ke tanah.

Gadis itu meringis, hidungnya terasa mengeluarkan sesuatu. Matanya terbuka lebar, namun yang ia lihat hanyalah gelap.

Retha masih setengah sadar. Ia bisa merasakan seseorang menepuk-nepuk pipinya sembari memanggil-manggil namanya.

Bibir Retha bergetar, sulit untuk menjawab. Di tambah, ia kesulitan untuk bernafas. Yang Retha hirup hanyalah bau keringat dan parfum yang tercampur menjadi satu.

Sekarang, Retha bagaikan sebutir gula yang sedang di kerubungi ribuan semut.

Retha memegang pangkal hidungnya yang terasa sakit, matanya mulai sayu dan ingin tertutup.

Sampai pada akhirnya, semuanya, gelap.

****

Farrel segera berlari kearah orang-orang yang sedang mengerubungi Retha. Cowok itu kesulitan untuk mencapai gadisnya yang sedang terkapar tidak berdaya karena tidak bisa bernafas.

"Minggir woi!" teriak Farrel dengan lantang.

Tidak ada yang menyingkir. Mungkin teriakan Farrel kurang kencang.

"Woi!" teriak Farrel sekali lagi. "Lo semua mau bikin cewek gue mati kehabisan nafas?!"

Setelah itu, satu persatu orang yang mengerubungi Retha mulai menyingkir. Memberi akses untuk Farrel menerobos.

Mata Farrel terbelalak saat mendapati Retha yang sudah tidak sadarkan diri di pelukan Valerie. Hidung gadis itu berdarah. Rupanya, operan Bimo tadi sangat kencang.

Tanpa basa-basi, Farrel mengangkat Retha sendirian ala bridal style. Membawa gadisnya itu ke UKS untuk segera mendapatkan penanganan.

Farrel membawa Retha di dalam pelukannya dengan erat. Sesekali ia melirik gadis yang sedang tidak sadarkan diri di dalam pelukannya itu.

Sesampainya di UKS, Farrel langsung merebahkan Retha di bilik ujung khusus miliknya.

Farrel mencari para petugas PMR yang seharusnya berjaga di sini. Namun, cowok itu tidak menemukan apapun selain ruangan yang kosong. Dan, orang-orang yang mengintip di balik jendela.

"Ini anak PMR pada kemana, sih?!" teriak Farrel kesal.

Sayangnya, ini adalah hari sabtu. Tidak ada dokter magang yang berjaga, hanya ada anak PMR. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang muncul.

Dengan kesal, Farrel berjalan ke arah pintu. Ia mendapati puluhan siswa dan siswi yang tengah mengintip dirinya.

"Ngapain?!" tegur Farrel kesal. "Siapa di antara lo semua yang anak PMR?!" tanya Farrel dengan nada yang tidak santai.

Bukannya menjawab. Mereka malah menatap Farrel, melongo karena sang idola sekolah baru saja mengajak mereka berbicara. Walaupun lebih terkesan membentak.

"Sa-saya, kak.." ucap salah seorang siswi dengan ragu. Itu adalah Mitha, salah satu anggota PMR.

"Sini lo!" Farrel menarik Mitha dengan kasar, dan membawanya ke bilik yang ada Retha. "Obatin!"

Tubuh Mitha bergetar, sepertinya ia sudah salah karena mengaku sebagai anak PMR. Ia memang anak PMR, tapi kalau di marahi seperti ini, lebih baik ia tidak usah mengaku.

"Siapa, sih ketua PMR? Nggak becus banget ngurusin anggotanya!" kesal Farrel. "Bersihin mimisannya pelan-pelan!" perintahnya pada Mitha yang sedang mengobati Retha.

"Ke-ketuanya kak,"

"Nggak becus banget!"potong Farrel cepat. "Apa gunanya eskul PMR kalo nggak bisa di andelin waktu kayak gini, siapa sih ketuanya?!"

"Kak, kak Re--"

"Halah. Nggak becus emang," potong Farrel cepat. "Bubarin aja udah, eskul nggak guna."

"Tapi, kak..."

"Diem!"

Mitha langsung kicep. Tidak berani lagi berbicara. Ia tidak bisa membayangkan, saat Retha bangun dan mendengar Farrel yang mengomel tentang eskul PMR.

Farrel terus mengomel dan berkata ingin membubarkan eskul PMR karna di nilainya tidak berguna. Sedangkan Mitha, gadis itu sedang berusaha menyadarkan Retha.

"Far...rel.."

Farrel membalikan tubuhnya. Menatap gadisnya yang kini mulai membuka matanya.

"Kamu nggak papa? Mana yang sakit? Perlu ke rumah sakit, nggak? Kamu susah nafas, nggak? Butuh oksigen?" tanya Farrel tanpa jeda.

Retha menggelengkan kepalanya. "Kamu, kenapa marah-marah?" tanyanya dengan suara serak.

"Ini, nih. Siapa, sih ketua eskul PMR? Nggak becus banget urusin anak buahnya. Masa UKS kosong, sampe aku harus nyari anggota PMR kesana kemari. Nggak guna banget. Harusnya petugas PMR itu siap siaga disini. Bukan malah keluyuran, ini juga pasti gara-gara ketuanya yang kurang tegas." ucap Farrel panjang lebar.

"Farrel," panggil Retha dengan suara datar.

"Kenapa, sayang?"

"Ketua PMR yang nggak becus itu, aku."

Dan, saat ini juga Farrel ingin menceburkan dirinya ke laut antartika.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel