Bab 14
Tidak ada sedikit pun kata lelah di kamus Farrel. Sudah berjam-jam ia berkeliling seorang diri, mencari dimana sekiranya Retha berada, namun hasilnya nihil.
Sejak ia tahu di mana kota Retha tinggal, Farrel tidak tinggal diam. Ia langsung mengurus llpasport dan tiket agar ia bisa segera menyusul Retha.
Butuh dua hari untuk Farrel mengurus semuanya. Selain menunggu pasport-nya yang sudah habis masa berlakunya, Farrel juga masih mencari informasi di mana spesifiknya Retha tinggal.
Tentu saja. Sangat tidak mungkin Farrel bisa menemukan Retha di Kota sebesar ini, tanpa satu petunjuk apapun.
Baru saja Farrel sampai, ia sudah langsung berkeliling kota dengan berjalan kaki. Tanpa memerdulikan rasa lelah dan kantuk yang tak terhingga, hanya demi bisa menemukan Retha.
Segala upaya telah Farrel coba. Semua akun media sosial Retha kini telah menghilang, sepertinya cewek itu men-non aktifkannya. Nomornya, sudah tidak bisa di hubungi lagi.
Dan, yang paling parah, Retha juga menghapus akun LINE-nya.
Lalu, harus kemana Farrel mencarinya?
Farrel rasanya ingin membunuh siapa saja yang sudah membuatnya mabuk pada malam itu, sehingga mengatakan hal yang sebenarnya bukan terjadi.
Bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami, Farrel tidak akan menemukan Retha di sini. Rasanya, sia-sia saja ia mengurus keberangkatannya tanpa makan dan minum kemarin.
Farrel tidak memikirkan ujungnya. Ia hanya memikirkan, bagaimana caranya agar ia dapat bertemu Retha dan menjelaskan segalanya.
Bagaimana bisa menemukannya, bahkan sebuah clue dimana Retha tinggal saja ia tidak tahu.
Farrel menjilat bibir bawahnya yang mulai kering karena sudah beberapa jam ia tidak minum, menyisir ke belakang jambul tebalnya dan mulai berjalan lagi menyusuri Kota ini.
Kemana lagi Farrel harus mencari? Ia benar-benar buta informasi, sedikit pun tidak ada yang ia ketahui selain Retha berada di Kota ini.
***
Bosan, Retha bosan. Sudah dua hari Retha berada di sini, yang ia lakukan hanyalah, makan, minun, mandi, dan tidur. Begitu terus siklus hidupnya selama dua hari ini, biasanya kalau bersama Farrel pasti coowk itu akan membuat sesuatu yang bisa membuat Retha bahagia setiap saatnya.
Farrel lagi. Retha menggelengkan kepalanya, menghilangkan memori ingatannya bersama Farrel. Ia harus belajar untuk tidak mengingat Farrel dan mewek bawang seperti ini.
Benci, benci, benci! Begitu mulutnya berkata, namun tidak dengan hatinya. Cinta, cinta, cinta! Begitu kata hatinya, astaga, mengapa tubuhnya bisa tidak sinkron?! Merasakan Cinta dan Benci pada satu orang yang sama, apakah ia sudah mulai gila?!
Kesal, Retha beranjak dari kasurnya, menuju ruang tengah apartemennya. Memang, untuk sementara ia dan Ayahnya tinggal di apartemen, namun nanti mereka akan pindah ke sebuah rumah yang cukup besar di kawasan kota, tentunya dekat dengan kantor Ayahnya.
Retha menatap sebuah jendela besar di hadapannya. Jendela itu menampilkan pemandangan seluruh kota, Retha menengok ke bawah, pemandangannya cukup unik.
Trotoar penuh dengan para pejalan kaki, tidak seperti di Indonesia, trotoar di jadikan lapak untuk jualan dan banyak sepeda motor yang lalu lalang di sana.
"Bule di sini pada tinggi-tinggi, ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Berbeda dengan Bule itu, tubuh Retha lebih mungil. Mungkin tingginya hanya 160cm, dan Retha sempat minder, dulu. Apa lagi waktu ia bersama Farrel, bagaikan jempol dan telunjuk, mengingat tinggi Farrel yang sepertinya 180cm atau lebih.
Namun, karena Farrel selalu mengatakan 'nggak usah minder. Kamu itu udah di rancang Tuhan biar enak aku peluk dan cium kayak gini.' kemudian cowok itu mencium keningnya.
Tuhkan, flashback!
Retha mengerucukan bibirnya kesal. Kenapa saat sudah tidak lagi bersama, hal-hal kecil saja bisa membuat kita kembali mengingat dia? Tidak adil, mengapa saat bersamanya terasa biasa namun saat tidak rasanya sangat nano-nano?!
"Bisa jadi jomblowati gue, gagal move on kek gini." rutuk Retha pada dirinya sendiri.
Retha menggeleng-gelengkan kepalanya, menepuk-nepuk pipinya, seakan-akan ia sedang tidak sadarkan diri.
Lagi, pandangan gadis itu terarah ke bawah, pada orang-orang yang berlalu lalang di atas trotoar. Retha dapat melihat jelas wajah-wajah orang sini yang sangat berbeda dengannya, untung apartemennya hanya berada di lantai 3, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, pas lah.
"Astaga, gue sebegitu rindunya ya sama dia?!" rutuk Retha pada dirinya sendiri. "Masa gue ngeliat Farrel, sih?!"
"Tuhkan! Masa gue ngeliat Farrel lagi jalan di bawah," matanya menatap tajam pada cowok berjambul yang mengenakal flanel hitam putih itu.
"Loh?!" matanya membulat sempurna. "Ini bukan gue yang gila, itu emang Farrel!" pekiknya histeris. "Lah, lah, dia nengok!"
Retha refleks melompat mundur ke belakang. Ia menggigit bibir bawahnya, tadi Farrel melihatnya?! Astaga, bahaya, bahaya, bahaya!
Kalau Farrel sampai datang ke sini, bagaimana?! Retha sudah tidak ingin bertemu dengan Farrel, lagi. Tidak, Retha tidak mau. Ia harus menjauh, pergi dan menghilang dari cowok itu.
Bagaimana pun juga, Farrel yang sudah...
***
Tidak dapat di pungkiri, kaki Farrel sudah mulai lelah. Sudah hampir 12 jam ia berkeliling, mencari dan terus mencari. Tidak berbekal apapun selain keyakinan.
Ya, Farrel yakin ia akan menemukan Retha.
Kaki Farrel melangkah, membawanya ke tengah-tengah kota. Banyak gedung yang menjulang tinggi ke awan, sepertinya di sini pusat apartemen.
Farrel memerhatikan sekelilingnya yang hanya terdapat gedung-gedung tinggi besar. Mengingat gedung dan apartemen, Farrel lupa, bahkan ia belum memilih dimana ia akan menginap ke depannya.
Farrel begitu ceroboh, setelah meninggalkan kopernya di Bandara, sekarang ia lupa memesan hotel. Farrel lupa semuanya, karena memang dari Indonesia pikirannya hanya satu, mencari Retha.
Mata Farrel tidak sengaja menatap salah satu apartemen yang terletak di sebelah kanannya. Disana, di salah satu jendela, ada seorang gadis yang sepertinya juga memerhatikannya.
Awalnya Farrel mengira itu penampakkan, mengingat di sini banyak hal-hal semacam itu. Namun, setelah Farrel tatap semakin tajam dan menggunakan auto focus matanya dengan benar, itu bukan penampakkan!
"Retha?" gumamnya.
Farrel mengerjap-ngerjapkan matanya. Memeriksa kembali ke arah jendela tadi, dan seketika bahunya terkulai lemas. Gadis itu menghilang, ia tidak ada lagi di sana.
"Just me, and my imagination." gumam Farrel seraya tertawa getir. Rupanya ia sangat merindukan Retha, sampai berhalusinasi melihat seorang gadis yang mirip dengan Retha.
Baru dua hari tidak bertemu dan tidak berhubungan, Farrel sudah merasakan kerinduan dan kehilangan yang amat dalam. Tidak dapat Farrel bayangkan, jika Retha menghilang darinya lebih lama lagi.
Tidak bisa, tidak sanggup dan tidak kuat. Farrel tidak ingin kehilangan lagi, tidak ingin di tinggal lagi. Tidak ingin hal lama itu terulang lagi dengan orang yang berbeda namun ujungnya sama, kehilangan.
"Lo dimana sih, Re.." lirihnya Frustasi.
Tidak ada sedikit pun kata lelah di kamus Farrel. Sudah berjam-jam ia berkeliling seorang diri, mencari dimana sekiranya Retha berada, namun hasilnya nihil.
Sejak ia tahu di mana kota Retha tinggal, Farrel tidak tinggal diam. Ia langsung mengurus llpasport dan tiket agar ia bisa segera menyusul Retha.
Butuh dua hari untuk Farrel mengurus semuanya. Selain menunggu pasport-nya yang sudah habis masa berlakunya, Farrel juga masih mencari informasi di mana spesifiknya Retha tinggal.
Tentu saja. Sangat tidak mungkin Farrel bisa menemukan Retha di Kota sebesar ini, tanpa satu petunjuk apapun.
Baru saja Farrel sampai, ia sudah langsung berkeliling kota dengan berjalan kaki. Tanpa memerdulikan rasa lelah dan kantuk yang tak terhingga, hanya demi bisa menemukan Retha.
Segala upaya telah Farrel coba. Semua akun media sosial Retha kini telah menghilang, sepertinya cewek itu men-non aktifkannya. Nomornya, sudah tidak bisa di hubungi lagi.
Dan, yang paling parah, Retha juga menghapus akun LINE-nya.
Lalu, harus kemana Farrel mencarinya?
Farrel rasanya ingin membunuh siapa saja yang sudah membuatnya mabuk pada malam itu, sehingga mengatakan hal yang sebenarnya bukan terjadi.
Bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami, Farrel tidak akan menemukan Retha di sini. Rasanya, sia-sia saja ia mengurus keberangkatannya tanpa makan dan minum kemarin.
Farrel tidak memikirkan ujungnya. Ia hanya memikirkan, bagaimana caranya agar ia dapat bertemu Retha dan menjelaskan segalanya.
Bagaimana bisa menemukannya, bahkan sebuah clue dimana Retha tinggal saja ia tidak tahu.
Farrel menjilat bibir bawahnya yang mulai kering karena sudah beberapa jam ia tidak minum, menyisir ke belakang jambul tebalnya dan mulai berjalan lagi menyusuri Kota ini.
Kemana lagi Farrel harus mencari? Ia benar-benar buta informasi, sedikit pun tidak ada yang ia ketahui selain Retha berada di Kota ini.
***
Bosan, Retha bosan. Sudah dua hari Retha berada di sini, yang ia lakukan hanyalah, makan, minun, mandi, dan tidur. Begitu terus siklus hidupnya selama dua hari ini, biasanya kalau bersama Farrel pasti coowk itu akan membuat sesuatu yang bisa membuat Retha bahagia setiap saatnya.
Farrel lagi. Retha menggelengkan kepalanya, menghilangkan memori ingatannya bersama Farrel. Ia harus belajar untuk tidak mengingat Farrel dan mewek bawang seperti ini.
Benci, benci, benci! Begitu mulutnya berkata, namun tidak dengan hatinya. Cinta, cinta, cinta! Begitu kata hatinya, astaga, mengapa tubuhnya bisa tidak sinkron?! Merasakan Cinta dan Benci pada satu orang yang sama, apakah ia sudah mulai gila?!
Kesal, Retha beranjak dari kasurnya, menuju ruang tengah apartemennya. Memang, untuk sementara ia dan Ayahnya tinggal di apartemen, namun nanti mereka akan pindah ke sebuah rumah yang cukup besar di kawasan kota, tentunya dekat dengan kantor Ayahnya.
Retha menatap sebuah jendela besar di hadapannya. Jendela itu menampilkan pemandangan seluruh kota, Retha menengok ke bawah, pemandangannya cukup unik.
Trotoar penuh dengan para pejalan kaki, tidak seperti di Indonesia, trotoar di jadikan lapak untuk jualan dan banyak sepeda motor yang lalu lalang di sana.
"Bule di sini pada tinggi-tinggi, ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Berbeda dengan Bule itu, tubuh Retha lebih mungil. Mungkin tingginya hanya 160cm, dan Retha sempat minder, dulu. Apa lagi waktu ia bersama Farrel, bagaikan jempol dan telunjuk, mengingat tinggi Farrel yang sepertinya 180cm atau lebih.
Namun, karena Farrel selalu mengatakan 'nggak usah minder. Kamu itu udah di rancang Tuhan biar enak aku peluk dan cium kayak gini.' kemudian cowok itu mencium keningnya.
Tuhkan, flashback!
Retha mengerucukan bibirnya kesal. Kenapa saat sudah tidak lagi bersama, hal-hal kecil saja bisa membuat kita kembali mengingat dia? Tidak adil, mengapa saat bersamanya terasa biasa namun saat tidak rasanya sangat nano-nano?!
"Bisa jadi jomblowati gue, gagal move on kek gini." rutuk Retha pada dirinya sendiri.
Retha menggeleng-gelengkan kepalanya, menepuk-nepuk pipinya, seakan-akan ia sedang tidak sadarkan diri.
Lagi, pandangan gadis itu terarah ke bawah, pada orang-orang yang berlalu lalang di atas trotoar. Retha dapat melihat jelas wajah-wajah orang sini yang sangat berbeda dengannya, untung apartemennya hanya berada di lantai 3, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, pas lah.
"Astaga, gue sebegitu rindunya ya sama dia?!" rutuk Retha pada dirinya sendiri. "Masa gue ngeliat Farrel, sih?!"
"Tuhkan! Masa gue ngeliat Farrel lagi jalan di bawah," matanya menatap tajam pada cowok berjambul yang mengenakal flanel hitam putih itu.
"Loh?!" matanya membulat sempurna. "Ini bukan gue yang gila, itu emang Farrel!" pekiknya histeris. "Lah, lah, dia nengok!"
Retha refleks melompat mundur ke belakang. Ia menggigit bibir bawahnya, tadi Farrel melihatnya?! Astaga, bahaya, bahaya, bahaya!
Kalau Farrel sampai datang ke sini, bagaimana?! Retha sudah tidak ingin bertemu dengan Farrel, lagi. Tidak, Retha tidak mau. Ia harus menjauh, pergi dan menghilang dari cowok itu.
Bagaimana pun juga, Farrel yang sudah...
***
Tidak dapat di pungkiri, kaki Farrel sudah mulai lelah. Sudah hampir 12 jam ia berkeliling, mencari dan terus mencari. Tidak berbekal apapun selain keyakinan.
Ya, Farrel yakin ia akan menemukan Retha.
Kaki Farrel melangkah, membawanya ke tengah-tengah kota. Banyak gedung yang menjulang tinggi ke awan, sepertinya di sini pusat apartemen.
Farrel memerhatikan sekelilingnya yang hanya terdapat gedung-gedung tinggi besar. Mengingat gedung dan apartemen, Farrel lupa, bahkan ia belum memilih dimana ia akan menginap ke depannya.
Farrel begitu ceroboh, setelah meninggalkan kopernya di Bandara, sekarang ia lupa memesan hotel. Farrel lupa semuanya, karena memang dari Indonesia pikirannya hanya satu, mencari Retha.
Mata Farrel tidak sengaja menatap salah satu apartemen yang terletak di sebelah kanannya. Disana, di salah satu jendela, ada seorang gadis yang sepertinya juga memerhatikannya.
Awalnya Farrel mengira itu penampakkan, mengingat di sini banyak hal-hal semacam itu. Namun, setelah Farrel tatap semakin tajam dan menggunakan auto focus matanya dengan benar, itu bukan penampakkan!
"Retha?" gumamnya.
Farrel mengerjap-ngerjapkan matanya. Memeriksa kembali ke arah jendela tadi, dan seketika bahunya terkulai lemas. Gadis itu menghilang, ia tidak ada lagi di sana.
"Just me, and my imagination." gumam Farrel seraya tertawa getir. Rupanya ia sangat merindukan Retha, sampai berhalusinasi melihat seorang gadis yang mirip dengan Retha.
Baru dua hari tidak bertemu dan tidak berhubungan, Farrel sudah merasakan kerinduan dan kehilangan yang amat dalam. Tidak dapat Farrel bayangkan, jika Retha menghilang darinya lebih lama lagi.
Tidak bisa, tidak sanggup dan tidak kuat. Farrel tidak ingin kehilangan lagi, tidak ingin di tinggal lagi. Tidak ingin hal lama itu terulang lagi dengan orang yang berbeda namun ujungnya sama, kehilangan.
"Lo dimana sih, Re.." lirihnya Frustasi.
Tidak ada sedikit pun kata lelah di kamus Farrel. Sudah berjam-jam ia berkeliling seorang diri, mencari dimana sekiranya Retha berada, namun hasilnya nihil.
Sejak ia tahu di mana kota Retha tinggal, Farrel tidak tinggal diam. Ia langsung mengurus llpasport dan tiket agar ia bisa segera menyusul Retha.
Butuh dua hari untuk Farrel mengurus semuanya. Selain menunggu pasport-nya yang sudah habis masa berlakunya, Farrel juga masih mencari informasi di mana spesifiknya Retha tinggal.
Tentu saja. Sangat tidak mungkin Farrel bisa menemukan Retha di Kota sebesar ini, tanpa satu petunjuk apapun.
Baru saja Farrel sampai, ia sudah langsung berkeliling kota dengan berjalan kaki. Tanpa memerdulikan rasa lelah dan kantuk yang tak terhingga, hanya demi bisa menemukan Retha.
Segala upaya telah Farrel coba. Semua akun media sosial Retha kini telah menghilang, sepertinya cewek itu men-non aktifkannya. Nomornya, sudah tidak bisa di hubungi lagi.
Dan, yang paling parah, Retha juga menghapus akun LINE-nya.
Lalu, harus kemana Farrel mencarinya?
Farrel rasanya ingin membunuh siapa saja yang sudah membuatnya mabuk pada malam itu, sehingga mengatakan hal yang sebenarnya bukan terjadi.
Bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami, Farrel tidak akan menemukan Retha di sini. Rasanya, sia-sia saja ia mengurus keberangkatannya tanpa makan dan minum kemarin.
Farrel tidak memikirkan ujungnya. Ia hanya memikirkan, bagaimana caranya agar ia dapat bertemu Retha dan menjelaskan segalanya.
Bagaimana bisa menemukannya, bahkan sebuah clue dimana Retha tinggal saja ia tidak tahu.
Farrel menjilat bibir bawahnya yang mulai kering karena sudah beberapa jam ia tidak minum, menyisir ke belakang jambul tebalnya dan mulai berjalan lagi menyusuri Kota ini.
Kemana lagi Farrel harus mencari? Ia benar-benar buta informasi, sedikit pun tidak ada yang ia ketahui selain Retha berada di Kota ini.
***
Bosan, Retha bosan. Sudah dua hari Retha berada di sini, yang ia lakukan hanyalah, makan, minun, mandi, dan tidur. Begitu terus siklus hidupnya selama dua hari ini, biasanya kalau bersama Farrel pasti coowk itu akan membuat sesuatu yang bisa membuat Retha bahagia setiap saatnya.
Farrel lagi. Retha menggelengkan kepalanya, menghilangkan memori ingatannya bersama Farrel. Ia harus belajar untuk tidak mengingat Farrel dan mewek bawang seperti ini.
Benci, benci, benci! Begitu mulutnya berkata, namun tidak dengan hatinya. Cinta, cinta, cinta! Begitu kata hatinya, astaga, mengapa tubuhnya bisa tidak sinkron?! Merasakan Cinta dan Benci pada satu orang yang sama, apakah ia sudah mulai gila?!
Kesal, Retha beranjak dari kasurnya, menuju ruang tengah apartemennya. Memang, untuk sementara ia dan Ayahnya tinggal di apartemen, namun nanti mereka akan pindah ke sebuah rumah yang cukup besar di kawasan kota, tentunya dekat dengan kantor Ayahnya.
Retha menatap sebuah jendela besar di hadapannya. Jendela itu menampilkan pemandangan seluruh kota, Retha menengok ke bawah, pemandangannya cukup unik.
Trotoar penuh dengan para pejalan kaki, tidak seperti di Indonesia, trotoar di jadikan lapak untuk jualan dan banyak sepeda motor yang lalu lalang di sana.
"Bule di sini pada tinggi-tinggi, ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Berbeda dengan Bule itu, tubuh Retha lebih mungil. Mungkin tingginya hanya 160cm, dan Retha sempat minder, dulu. Apa lagi waktu ia bersama Farrel, bagaikan jempol dan telunjuk, mengingat tinggi Farrel yang sepertinya 180cm atau lebih.
Namun, karena Farrel selalu mengatakan 'nggak usah minder. Kamu itu udah di rancang Tuhan biar enak aku peluk dan cium kayak gini.' kemudian cowok itu mencium keningnya.
Tuhkan, flashback!
Retha mengerucukan bibirnya kesal. Kenapa saat sudah tidak lagi bersama, hal-hal kecil saja bisa membuat kita kembali mengingat dia? Tidak adil, mengapa saat bersamanya terasa biasa namun saat tidak rasanya sangat nano-nano?!
"Bisa jadi jomblowati gue, gagal move on kek gini." rutuk Retha pada dirinya sendiri.
Retha menggeleng-gelengkan kepalanya, menepuk-nepuk pipinya, seakan-akan ia sedang tidak sadarkan diri.
Lagi, pandangan gadis itu terarah ke bawah, pada orang-orang yang berlalu lalang di atas trotoar. Retha dapat melihat jelas wajah-wajah orang sini yang sangat berbeda dengannya, untung apartemennya hanya berada di lantai 3, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, pas lah.
"Astaga, gue sebegitu rindunya ya sama dia?!" rutuk Retha pada dirinya sendiri. "Masa gue ngeliat Farrel, sih?!"
"Tuhkan! Masa gue ngeliat Farrel lagi jalan di bawah," matanya menatap tajam pada cowok berjambul yang mengenakal flanel hitam putih itu.
"Loh?!" matanya membulat sempurna. "Ini bukan gue yang gila, itu emang Farrel!" pekiknya histeris. "Lah, lah, dia nengok!"
Retha refleks melompat mundur ke belakang. Ia menggigit bibir bawahnya, tadi Farrel melihatnya?! Astaga, bahaya, bahaya, bahaya!
Kalau Farrel sampai datang ke sini, bagaimana?! Retha sudah tidak ingin bertemu dengan Farrel, lagi. Tidak, Retha tidak mau. Ia harus menjauh, pergi dan menghilang dari cowok itu.
Bagaimana pun juga, Farrel yang sudah...
***
Tidak dapat di pungkiri, kaki Farrel sudah mulai lelah. Sudah hampir 12 jam ia berkeliling, mencari dan terus mencari. Tidak berbekal apapun selain keyakinan.
Ya, Farrel yakin ia akan menemukan Retha.
Kaki Farrel melangkah, membawanya ke tengah-tengah kota. Banyak gedung yang menjulang tinggi ke awan, sepertinya di sini pusat apartemen.
Farrel memerhatikan sekelilingnya yang hanya terdapat gedung-gedung tinggi besar. Mengingat gedung dan apartemen, Farrel lupa, bahkan ia belum memilih dimana ia akan menginap ke depannya.
Farrel begitu ceroboh, setelah meninggalkan kopernya di Bandara, sekarang ia lupa memesan hotel. Farrel lupa semuanya, karena memang dari Indonesia pikirannya hanya satu, mencari Retha.
Mata Farrel tidak sengaja menatap salah satu apartemen yang terletak di sebelah kanannya. Disana, di salah satu jendela, ada seorang gadis yang sepertinya juga memerhatikannya.
Awalnya Farrel mengira itu penampakkan, mengingat di sini banyak hal-hal semacam itu. Namun, setelah Farrel tatap semakin tajam dan menggunakan auto focus matanya dengan benar, itu bukan penampakkan!
"Retha?" gumamnya.
Farrel mengerjap-ngerjapkan matanya. Memeriksa kembali ke arah jendela tadi, dan seketika bahunya terkulai lemas. Gadis itu menghilang, ia tidak ada lagi di sana.
"Just me, and my imagination." gumam Farrel seraya tertawa getir. Rupanya ia sangat merindukan Retha, sampai berhalusinasi melihat seorang gadis yang mirip dengan Retha.
Baru dua hari tidak bertemu dan tidak berhubungan, Farrel sudah merasakan kerinduan dan kehilangan yang amat dalam. Tidak dapat Farrel bayangkan, jika Retha menghilang darinya lebih lama lagi.
Tidak bisa, tidak sanggup dan tidak kuat. Farrel tidak ingin kehilangan lagi, tidak ingin di tinggal lagi. Tidak ingin hal lama itu terulang lagi dengan orang yang berbeda namun ujungnya sama, kehilangan.
"Lo dimana sih, Re.." lirihnya Frustasi.