Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7 || Pembuat Huru-hara.

Semburat jingga menggantung indah di batas cakrawala, pelan tapi pasti berpamitan, mengundang rembulan malu-malu dibalik awan.

Jhon menikmati masa santainya, memandang langit namun wajah Aleta yang terbayang-bayang.

"Aleta …" sebut Jhon lirih bak embusan nafas, "aku merindukan mu."

Tok! Tok! Tok!

Seseorang mengetuk pintu, hanya dengan celana pendek dan dada terbuka, Jhon berbalik menarik handle.

"Good Night, Jho." Baru beberapa menit mereka terpisah, Erik sudah tak bisa menahan keinginannya bertemu dengan Jhon.

Pria itu berdiri di ambang pintu, memasang wajah bersahabat seraya senyuman singkat.

Tampang Jhon tampak malas, meski begitu dia tetap membukakan pintu, mempersilahkan Erik masuk lalu menutupnya kembali.

Buk!

Erik lngsung menjatuhkan diri pada kursi kesukaan Jhon setiap berkutat di depan layar televisi. Ia juga mengambil alih remot control televisi nya lalu memilih-milih chanel yang dianggap menarik.

"Kau tau apa yang paling ku suka darimu, Jhon?" Tiba-tiba Erik bertanya.

Jhon mengerti jawaban pertanyaan Erik, tapi ia tetap diam, membiarkan Erik terus mengoceh, sementara dirinya menikmati secangkir kopi.

"Kau tak banyak bicara, tetapi ketika kalau sudah bicara... aku tak akan bisa berbicara lagi," jawab Erik sendiri.

Jhon spontan melempar bantal sofa ke arah Erik, membuat pria itu tertawa renyah.

"Jaga rumahku, yah. Aku ingin keluar sebentar." Tanpa menunggu persetujuan Erik, Jhon sudah menyambar celana dan blazer sepanjang lutut kemudian melangkah keluar meninggalkan temannya berjaga rumah.

"Ck, dasar bucin," sungut Erik.

***

Dinginnya malam tak menciutkan nyali Jhon untuk menemukan cinderamata nya. Ia mendatangi club di sudut kota, mendaratkan pantat pada kursi bartender lalu pura-pura memesan bir.

"Yang paling enak," pinta Jhon, padahal tenggorokannya tidak bisa membedakan mana yang enak atau sebaliknya.

Sang bartender memilihkan botol kecil, kira-kira berisi 200 ml atau mungkin lebih.

"Ini favorit para pengunjung, tapi tidak tau jadi favoritmu atau tidak," jelasnya sambil menuangkan sedikit bir.

Jhon manggut-manggut saja, sesekali ia mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruang minim cahaya ini.

"Kau mencari seseorang?" Sang bartender sangat memahami gerak-gerik Jhon.

Jhon mengangguk singkat.

"Siapa? Aku hampir kenal semua pengunjung di sini," tanya bartender sekaligus menjelaskan dengan nada bangga.

"Seseorang... kecantikannya tidak bisa dideskripsikan melalui kata-kata," balas Jhon.

Pria berseragam hitam putih serta dasi kupu-kupu merah melekat di kerahnya turut mengikuti arah mata Jhon. Kelihatannya ia juga penasaran akan sosok yang Jhon maksud.

Tak sampai berjam-jam, seseorang yang Jhon tunggu akhirnya menampakkan batang hidungnya!

Aleta memasuki club bak model Victoria Secret. Sepasang matanya tajam dan menggoda, rambut panjangnya sengaja di kuncir ala Ariana Grande. Bermodalkan dress setinggi lutut tanpa lengan, juga sepatu boots tinggi membuat penampilannya semakin memukau, semakin mencuri atensi.

Melihat mata Jhon tak berkedip memandang Aleta, sang bartender pun mengangguk faham.

Jhon menyambar gelas bir yang sejak tadi menunggu disentuh, serta terus memandangi Aleta bak kamera pengintai.

Di lain sisi, Aleta berhenti di sudut ruangan. Dia duduk santai di sana lalu menyulut rokok yang diambilnya dari belahan dada.

Fyuh!

Kepulan asap membumbung, meruap bersama udara.

"Dia masih sama," lirih Jhon.

"Aku kenal dia," sambung sang bartender, "ku lihat kau bukan warga oriental, tapi bagaimana bisa kau mengenal dia?"

Bukannya menjawab, Jhon malah balik bertanya, "Kau juga kenal pria di belakangnya?"

Bartender menjawab, "Tidak, dia orang baru."

Jhon tampak berpikir kemudian teringat seniornya yang bekerja untuk Louison.

"Rupanya ia masih bisa bertahan," gumam Jhon.

"Kenapa kau tidak mendekatinya?" tanya sang bartender penasaran, karena sejauh ini Jhon tetap berdiri tanpa ada pergerakan apapun.

Jhon tidak bereaksi, dia justru beringsut dari duduknya. Lalu memilih pergi tanpa lupa meninggalkan lembaran Rubel.

Aleta sendiri masih duduk di sudut ruangan, mulutnya tak lagi mengepulkan asap rokok, melainkan mengunyah kacang goreng yang entah dari kapan ada di atas meja.

"Pieter?" panggil Aleta disela kunyahan.

"Iya, Nona," sahut Pieter.

"Ambilkan botol hijau paling atas, katakan jika Aleta Louison yang memesan," titah Aleta.

"Maaf, nona, kau tidak boleh minum alkohol sebanyak itu," kata Pieter berusaha merendahkan suaranya.

"Tenang saja, aku tidak akan mabuk. Ayo ambilkan!" Aleta kekeh ingin meminum, tenggorokannya sudah kering akibat lama tak menengguk air jahanam itu.

Enggan membuat tuannya marah, Pieter terpaksa mengikuti permintaan Aleta. Pria berjas rapi itu mendatangi bartender untuk meminta apa yang Aleta inginkan.

"Kau bodyguardnya?" Siapapun yang terlihat asing di mata sang bartender pasti akan ditanyai.

"Iya."

"Kalau begitu awasi dia! Dia sering membuat huru-hara." Peringatkan sang bartender.

Baru saja sang bartender menyelesaikan kalimatnya, huru-hara yang dimaksud pun terjadi.

Prang!

Sebuah nampan stainles beserta isinya berserakan di permukaan keramik. Dua manusia yang berdiri di dekatnya saling melempar tatapan setajam mata pedang.

Meski sempat menarik perhatian, sikap pengunjung sekeliling pada akhirnya tetap netral.

"Kau si wanita sialan itu 'kan!" Tunjuk seorang wanita yang sama saat party hari lalu. "Kau juga yang melenyapkan pacarku!"

Berdasarkan tuduhannya, Aleta menebak jika pria berambut pirang yang pernah ia mintai bantuan menyalakan rokok sudah mati ditangan Louison.

Aleta tersenyum menyipit!

"Bitch! Kau sudah menghancurkan hidupku! Pacarku dan sekarang kau masih bisa bersenang-senang!" Murka wanita serupa.

Aleta bertampang acuh tak acuh, membuat kemarahan wanita di hadapannya kian tersulut hingga dia mengambil botol bir, yang dipecahkannya lalu...

"Rasakan balasanku, Pelac**!!!" Wanita itu mengarahkan pecahan botol bir tersebut kepada Aleta.

Untungnya Pieter sigap menahan tangan wanita tersebut sampai membuatnya meringis kesakitan.

"Jauhkan tanganmu darinya!" Nada Pieter memerintah, sembari mendorong si wanita ke belakang.

Pieter berdiri tepat dihadapan Aleta bak tameng yang siap menerima serangan apapun.

Sementara di balik tubuh besar Pieter, Aleta menjulurkan kepalanya dengan senyum mengejek, alhasil memancing kembali kemarahan wanita di hadapannya.

"Breng**k!" Dilemparnya pecahan botol bir tadi ke arah Aleta dan Pieter namun keduanya lihai menghindari.

"Sialan! Wanita sepertimu tidak pantas dipanggil wanita!" Tak berhenti sampai disitu, ia mengambil asal benda-benda di sisinya dan melemparkan semua itu ke arah Aleta dan Pieter.

Tar!

Prang!

"Nona! Sebaiknya kau pergi dari sini, aku akan mengatasi wanita itu!" pinta Pieter cepat dituruti Aleta.

Aleta menyomot puntung rokok miliknya dari asbak yang kebetulan belum padam. Ia bergegas pergi dari balik tubuh Pieter.

"Kau juga ingin mati, hah!" seru si wanita melampiaskan kemarahannya pada Pieter.

"Itu adalah tugasku," jawab Pieter tak sedikitpun memiliki keraguan.

Prang! Tar!

Suasana semakin kacau, Pieter berusaha menangkis segala benda-benda yang wanita itu lemparkan. Dan begitu Pieter menyadari Aleta sudah tak ada di belakangnya, ia pun segera bertindak, menahan tangan si wanita, memelintir ke belakang lalu menjatuhkannya ke permukaan lantai.

Buk!

"Shit!" umpat si wanita seraya mengambil pecahan botol lagi dan segera bangkit. Namun, sebelum ia melempar pecahan botolnya ke arah Pieter, tak tahu dari arah mana Aleta muncul, tetiba sudah berdiri di belakang si wanita.

Bsst!

Puntung rokok miliknya yang masih terbakar, Aleta tempelkan pada leher si wanita.

"Aaa!" teriak si wanita.

"Ada tompel di lehermu." Tunjuk Aleta terbahak-bahak.

Rasa sakit membuat emosi wanita di hadapannya memuncak. Dengan kaki bersepatu, wanita itu menendang perut Aleta sekeras yang dimungkinkan.

Aleta yang tadinya tertawa terbahak-bahak, pun tersungkur jatuh.

"Nona!" Pieter lekas membantu Aleta bangun, tetapi tangannya malah ditepis.

"Lihat! Wajahmu sangatlah buruk!" Giliran wanita itu yang terbahak-bahak puas.

Aleta melompat bangun, dan tanpa komando menjambak rambut lawannya sampai terjadilah acara jambak-menjambak khas pergelutan wanita.

"Nona, berhenti!" Pieter memisahkan keduanya, tapi kekuatan kemarahan mereka seolah-olah terasa lebih besar dari keahlian bela diri Pieter dibuat.

Orang-orang disekitar mereka sempat menghentikan aktifitas, beberapa dari penghujung klub tampak merekam sambil terkekeh-kekeh.

Syukurnya tak lama kemudian seorang petugas datang memisahkan keduanya, menggotong keduanya secara paksa bahkan dilempar seperti sampah.

"Enyahlah dari sini kalian!" bentak penjaga klub.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel