6 || Pisau Cukur.
Jarum jam masih berputar satu arah, pergerakannya pelan tapi pasti merubah detik menjadi menit dan menit menjadi jam.
Semua berlalu begitu cepat hingga lima hari sudah Pieter bekerja dibawah keluarga Louison.
Mulanya Pieter tak begitu menggubris segala keanehan tuannya, lantaran ia sudah sering mendengar tentang Aleta yang seringkali bolak-balik masuk Hotel Torpedo. Tapi berbeda dengan hari ini.
Pieter dibuat bergidik ngeri kala ia memperhatikan Aleta mengendalikan pisau kecil untuk mencukur habis rambut Beni, anjing peliharaan Louison yang setiap hari ribut dengan Katy.
Sebagai seorang pecinta anjing, apalagi anjing peliharaan. Pieter turut bersedih menyaksikan anjing mungil seperti beni kehilangan pelindung kulitnya. Sehingga setiap bagian tulang beni tampak jelas Dimata.
Si Beni terus menggonggong dan berusaha melepskan diri. Tetapi cengkraman tangan dan kuku-kuku Aleta terbilang kuat. Hingga sulit bagi Beni untuk meloloskan diri.
"Huh … akhirnya selesai," ucap Aleta setelah rambut Beni tercukur habis. Ia membersihkan pisau cukurnya lalu menyerahkan kantong plastik berisi rambut Beni pada Pieter.
"Buang itu, Pieter. Aku jijik melihatnya." Lanjut Aleta.
Pieter tak habis pikir, berjam-jam lamanya Aleta menyentuh rambut tersebut, tapi kini ia mengatakan jijik.
"Aku ingin mandi, jangan masuk kamar!"
"Baik, Nona."
Pieter membungkukkan kepala dan berlalu pergi. Sedangkan Aleta melakukan ritual mandinya.
Pada bath tub berwarna putih mengkilau, terisi air dan busa melimpah Aleta memasukan diri tanpa melepas dress hitam yang masih dikenakan.
Ia sengaja menenggelamkan kepalanya ke dalam air hingga beberapa detik dapat bertahan.
"Aleta!!"
Blub … huahh
Gadis itu terpaksa menarik kepalanya seraya memukul air. "Ck, apa-apaan Daady!" Gerutu Aleta.
"Keluar kamu!"
Di depan pintu kamar Louison terus berteriak sembari mengetuk pintu kamar Aleta.
Sayang sekali Aleta tak acuh, ia membiarkan ayahnya teriak-teriak sampai suara Louison terdengar melemah.
"Ayah, ada apa?" Tanya Sky menepuk pundak Louison.
"Adikmu … adik kurangajar itu! … dia …" ucap Louison terpotong-potong.
"Tenang, Ayah! Tarik nafas … buang." Pinta Sky sambil mempraktekan. Pun diikuti Louison.
Merasa nafas Ayahnya kembali normal, Sky lanjut bertanya. "Ada apa, Ayah?"
"Lihat si Ben!" Tunjuk Louison pada Beni, anjing yang sedang duduk di depan perapian.
Sky terkejut disertai kelopak mata melebar. Apa yang ia lihat membuatnya menelan air liur.
"Gadis itu! Dia berulah lagi!"
Emosi Louison belum mereda, cara bicaranya masih tinggi dan kesal.
"Bukankah sudah ada Pieter?"
Sadar namanya disebut, tak jauh dari mereka berdua Pieter menundukan wajah.
"Tanya saja padanya, kenapa Aleta masih bisa berbuat hal mengerikan!"
Lantas Sky menoleh ke arah Pieter, pria itu seakan memberi kode agar Pieter menjelaskan sebab permasalahan ini.
Kaki Pieter melangkah beberapa hitungan, ia berdiri persis di belakang Louison. "Tuan … maafkan saya."
Sontak Louison memutar Badan, ia yang masih emosi mengeluarkan senjata api dari saku celananya kemudian ditodongkan pada Pieter.
"Ayah!"
Sky menurunkan paksa lengan ayahnya, ia mengedipkan mata berulangkali supaya Louison sadar bahwa ini salah.
Jika sampai Louison melepaskan peluru dan membuat Pieter mati, maka jawaban apa yang harus diberikan kepada Pak Romis?
"Stop, Ayah!"
Sky menggelengkan kepala, tapi dibalas lirikan singkat oleh Ayahnya.
Jari telunjuk Louison mulai bergerak menekan pelatuk, ia sama sekali tak bergeming meski Sky berulangkali menahan.
Di depannya, Pieter memejamkan mata. Rasa takut menjalar cepat pada tubuh pria itu.
Dorrr …
"Ayahhh!"
Tarrr …
Secara bersamaan Pieter membuka mata, ia melihat tatapan bengis Louison kepada Aleta yang mengarahkan tembakan ke sudut ruangan.
"Cck," decak Aleta menggelengkan kepala, "sayang sekali." Imbuhnya memperhatikan kepingan-kepingan guci antik koleksi Louison.
"Bocah sialan!" Maki Louison. "Dimana pisau cukurnya, hah?"
Aleta hanya mengedikkan bahu kemudian beranjak pergi begitu saja tanpa peduli Kemarahan Ayahnya.
"Aleta!" Suara Louison memekik Aleta anggap angin lalu.
Gadis itu semakin jauh dari hadapan mereka, ia meruap bersama dinding-dinding skat pembatas.
"Tenang, Ayah tenang ... Ayah punya riwayat jantung."
"Dan bocah itu sebabnya!"
Sedari tadi Pieter terdiam, wajahnya kembali menunduk dalam-dalam kala tatapan Louison mengarah padanya.
"Pieter …" panggil Louison terdengar memanjang.
"Iya, Tuan," sahut Pieter tetap menunduk.
"Kau masih ingin bekerja di sini?"
Cepat-cepat Pieter mengangguk, toh ia adalah bodyguard kelas utama. Hal yang barusan terjadi bukanlah hal mengejutkan yang baru ia alami.
"Baiklah, kalau begitu ikuti Aleta dan ingat! Jangan biarkan gadis itu menyentuh benda tajam, barang berat atau masalah lainnya."
"Baik, tuan."
"Ikuti dia!"
"Siap!"
Pieter bergegas mengikuti kepergian Aleta. Sementara Louison menjatuhkan pantat di atas sofa ruang tamu.
Ia memijat pelipisnya sembari memejamkan mata. Sepagi ini Louison harus mengingat kenyataan pahit lagi, bahwa ia memiliki seorang Puteri yang aneh.
"Sky!"
"Iya, Ayah."
"Pergi ke Radisson Blu Olympiyskiy Hotel, Klien kita menunggu di Lobi."
"Baik, Ayah."
Sky ikut pergi, tersisa Louison seorang bersama anjing peliharaannya.
**
Swastamita mengakhiri siang yang dingin. Cahaya merah yang menghilang digaris cakrawala sebelah barat itu tampak indah jika dilihat dari tempat tinggi.
Hal itu dilakukan oleh kedua pria untuk menikmati akhir dari tahap awal perjuangan mereka.
"Cheers …"
Keduanya kompak bersulang sebelum menengguk segelas bir sari gandum masing-masing.
"Emh …" Jhon agak menyipitkan mata merasakan bir yang mungkin terbilang asing untuk tenggorokannya.
Berbeda dengan Erik yang sudah bersahabat. Pria keturunan Afrika itu bisa menghabiskan bir hanya dalam sekali tegukan saja.
"Hahaha," tawa Erik melihat wajah berantakan Jhon, "jika tidak bisa jangan memaksa."
"Tidak … Aku sebenarnya sudah pernah mencoba, tapi terhitung sekali duakali saja."
"Oh yah?" Tatap Erik tak begitu percaya.
"Sungguh," balas Jhon meninju lengan temannya.
Lantas keduanya saling tertawa, sembari menuang birnya.
"Kau yang baru masuk beberapa hari sudah lulus, sayang sekali kita akan berpisah." Celetuk Erik sedikit murung.
"Lebai sekali cara bicaramu, memangnya rumah kita berjauhan, hah?"
Mereka kembali tertawa renyah, suara mereka senyap diantara kedinginan. Sehingga tak seorangpun tau jika di gedung ini masih ada dua manusia.
Dari atas keduanya melihat para pelatih dan penjaga gedung satu-persatu meninggalkan gedung. Tersisa seorang terakhir lalu tak ada orang lain lagi.
"Jangan terlalu banyak!" Rampas Jhon, membuang bir Erik. "Kita harus melompati satu atap ke atap lain, jika kau mabuk yang ada kau kau hanya akan tetap di sini."
Erik memukul lengan Jhon. "Sakit tidak?"
"Ck, kau 'kan tau aku mana mungkin merasa sakit."
"Dasar sombong! Itu bukti jika aku masih cukup sadar."
"Ayo buktikan!"
Mereka sudah melekukan lutut, telapak kaki mengentak lalu menginjak dengan bantuan tenaga dan terjadilah lompatan demi lompatan dari satu atap ke atap lain bak ninja Hatori, lompatan mereka diselingi berlari beberapa meter hingga mereka menemukan atap paling rendah kemudian melompat ke dasar tanah.
Brukkk …
Pendaratan dilakukan dengan sempurna dimana posisi kaki ke depan, lutut sedikit di tekuk dengan tumit kaki terlebih dahulu menyentuh tanah di ikuti dengan telapak kaki. Posisi tangan mengayun ke depan dan kepala tertunduk dengan mendorong berat badan ke depan supaya badan tidak terhuyung jatuh ke belakang.
Setelahnya mereka berdiri tegak, merapikan pakaian dan rambut.
"Lihat! Aku masih sadar," kata Erik.
Jhon meringis kecil, ia menepuk-nepuk punggung Erik sebelum keduanya jalan saling membelakangi.
"Sampai ketemu besok …"