Bab 4 . Melampaui Takdir
Di gudang bawah tanah.
BAK! BUK! BAK! BUK!
Pukulan dengan kayu besar, menghantam paha Zhu An Chi. Ya, An Chi duduk di kursi kayu reyot dengan kaki dan tangan, terikat.
Hantaman itu begitu kuat dan terasa begitu menyakitkan. Namun, An Chi hanya diam membeku, tidak mengeluarkan suara apa pun. Setelah kaki didaratkan 20 pukulan, kali ini An Chi ditelungkupkan di atas papan kayu. Kayu kembali menghantam, kali ini dihantam kuat pada bagian bokong.
Jiwa Eleanor yang berada di dalam tubuh Zhu An Chi, terus berteriak. Ini amat menyakitkan, bagaimana Zhu An Chi dapat setenang ini. Dua puluh pukulan, kembali dihantamkan. Saat itulah, teriakan Eleanor semakin kencang dan menggila. Pada akhirnya, Eleanor menyerah dan tenggelam dalam kegelapan yang tidak berujung.
***
"ARGHHH!" teriak Eleanor dan terbangun dari tidur panjangnya.
Napasnya terengah-engah dan alarm jam tangannya berdering nyaring. Tentu saja, detak jantungnya begitu kencang dan tekanan darahnya begitu tinggi.
Sekretaris Han dan para perawat, langsung menerobos masuk ke dalam tenda. Mereka selalu berjaga 24 jam di sekitar tenda.
"Tenanglah, Nona!" seru salah seorang perawat dan berusaha menenangkan tubuh Eleanor yang gemetar hebat.
Perawat lain memeriksa kondisi vital dan segera, menyuntikkan obat penenang ke dalam tubuhnya. Jika tidak, maka resiko gagal jantung dapat terjadi.
Perlahan, ya perlahan napas Eleanor mulai melambat dan kembali normal. Dirinya kembali tidak sadarkan diri, tetapi tidak lagi kembali ke tubuh Zhu An Chi. Eleanor tidak sadarkan diri, karena efek obat penenang. Namun, tidak ada yang berani memindahkan tubuhnya. Tidak ada yang berani, mengambil resiko.
Kembali, Sekretaris Han dan para perawat berjaga di sekitar tenda. Berharap Nona mereka, dapat segera sadar dan tidak ada hal buruk yang terjadi.
Eleanor membuka mata perlahan dan tatapannya, tertuju pada langit-langit tenda. Dirinya tidak langsung bangkit. Otaknya mencerna apa yang baru saja terjadi. Seperti biasa, Eleanor ingat semua yang terjadi. Ingat akan janji kencannya yang batal dan ingat akan kekerasan, yang dialami Zhu An Chi. Namun, ini kali pertama dirinya kembali seperti ini. Biasanya, sesakit apapun itu, Eleanor tetap menjalaninya sampai selesai bersama Zhu An Chi.
Apakah ada yang tidak beres? Apakah Zhu An Chi mati? Pikiran itu membuat detak jantungnya berdegup lebih kencang dan segera orang-orang berlari masuk ke dalam tenda.
Tidak ada yang salah dengan tubuh dan otaknya. Pengecekan dilakukan menyeluruh dan hasilnya, sempurna. Namun, kali ini Eleanor tidak langsung menuliskan apa yang dialami Zhu An Chi ke dalam buku diary. Eleanor lebih memilih beristirahat. Dirinya lelah, tubuh dan pikirannya amat lelah.
Eleanor sudah berbaring di atas ranjang, di kamar tidurnya. Jarum cairan infus dan vitamin sudah terpasang di lengannya. Ya, selalu seperti ini setelah tidur panjang. Tubuhnya tidak makan dan minum selama berhari-hari. Maka, dengan cara ini kekurangan nutrisi dalam tubuhnya dapat terpenuhi.
"Berapa lama aku tertidur?" tanya Eleanor.
"20 jam, Nona."
Bibi Luo menghidangkan bubur hangat di hadapan Eleanor. Ya, mangkuk bubur diletakkan di atas meja kecil.
"Makanlah, Nona. Bubur ini sudah tidak terlalu panas," ujar Bibi Luo.
"Minta Sekretaris Han untuk membuat janji temu dengan aktor itu!" pesan Eleanor sambil menyantap buburnya.
"Baik, Nona."
Malam itu, Eleanor tertidur dengan perasaan yang mengganjal. Sepertinya, akan terjadi sesuatu yang besar. Namun, apa itu? Dirinya, sama sekali tidak memiliki gambaran.
Keesokan harinya.
"Selamat pagi, Nona!" seru Bibi Luo bersemangat dan membuka tirai jendela kamar.
Eleanor merenggangkan tubuh dan mengucek matanya.
"Mengapa membangunkan diriku begitu cepat, Bi?" tanya Eleanor sedikit kesal.
"Ada dua tamu penting yang harus kamu temui!" seru Bibi Luo dan menarik selimut yang menutupi tubuh Eleanor.
"Siapa itu?" tanya Eleanor dan melepas jarum infus dari lengannya. Ya setelah begitu sering ditusuk seperti ini, Eleanor menjadi terbiasa melepaskan jarum-jarum itu.
"Aktor tampan itu akan datang siang ini dan di pagi hari, akan datang seorang Bikkhuni dari kelenteng yang didanai Keluarga Zhu!" jelas Bibi Luo, membantu Eleanor berdiri.
Untuk mandi, Eleanor selalu didampingi Bibi Luo. Sebab, dirinya tidak ingin mendadak jatuh tertidur di kamar mandi dan tidak ada yang tahu. Dirinya bisa saja meninggal, tenggelam.
Air hangat sudah memenuhi bathtub dan Bibi Luo membantu Eleanor keramas. Eleanor yang duduk di dalam bathtub, mengatur jam tangan canggih yang tidak pernah lepas dari pergelangan tangannya. Memeriksa vitalnya sendiri dan bersyukur, semua baik-baik saja.
Selesai mandi, Bibi Luo membantu mengeringkan rambut panjangnya. Tidak perlu diblow rapi, sebab rambutnya tetap akan diselipkan di dalam topi.
Eleanor mengenakan pakaian olahraga canggih, seperti biasanya. Semua pakaian itu memiliki warna yang sama, yaitu hitam, agar mekanismenya dapat bekerja dengan baik.
Mereka turun ke lantai bawah kastil, dengan menyusuri tangga putar yang amat tinggi.
"Tuan Besar juga berada di sini, Nona."
"Ayah datang?"
"Benar, Nona. Tuan Besar datang juga untuk menemui Bhikkhuni itu."
"Ayahku mulai mempercayai hal-hal gaib? Wow, ayah benar-benar putus asa!"
"Jangan berkata seperti itu, Nona. Bhikkhuni ini lain dari yang lain. Nona pasti akan tahu, saat bertemu dengannya nanti."
"Benarkah? Aku tidak sabar!" jawab Eleanor sedikit menyepelekan ucapan Bibi Luo.
Mereka tidak lagi berbicara dan Bibi Luo mengantarnya ke ruang tamu.
"Selamat pagi, Ayah!" sapa Eleanor bahagia.
Eleanor berlari dan masuk ke dalam pelukan hangat ayahnya itu.
"Kita kedatangan tamu!" tegur Arron Zhu, agar putrinya menjaga sikap.
Hubungan ayah dan anak ini amatlah baik. Setelah istrinya meninggal, Arron lah yang merawat putrinya, dibantu oleh Bibi Luo dan Sekretaris Han. Arron Zhu selalu membahas semua proyek dengan putrinya. Putrinya amatlah cerdas dan berbakat, tetapi sayang semua itu tidak dapat ditunjukkan kepada dunia.
Eleanor melepaskan pelukannya dan mengikuti arah tatapan sang ayah.
Seorang Bikkhuni berdiri di hadapan mereka. Jubah oranye lusuh membalut tubuh mungil sang Bikkhuni. Wajahnya terlihat begitu bersinar dan senyumannya itu, terasa menenangkan.
"Salam hormat, Bikkhuni," sapa Eleanor sopan dan memberi hormat. Dirinya tidak tahu bagaimana menyambut seorang Bikkhuni. Jadi, yang dilakukan Eleanor sama seperti cara Zhu An Chi memberi hormat pada orang yang lebih tua.
"Lima hari lagi, ulang tahunmu yang ke-25 akan tiba, bukan?" tanya Bikkhuni itu.
Eleanor membeku. Tanggal lahir yang diketahui publik adalah palsu. Mereka tidak pernah menyampaikan data diri yang sebenarnya, untuk khayalak umum. Jadi, bagaimana Bikkhuni itu tahu ulang tahunnya yang ke-25, lima hari lagi? batin Eleanor.
"Benar. Putriku akan berusia 25 tahun, lima hari lagi!"
Arron Zhu yang menjawab pertanyaan sang Bhikkhuni. Awalnya, Arron setengah hati menyambut kedatangan Bikkhuni ini. Namun, entah mengapa dirinya menjadi yakin setelah bertemu langsung dengan beliau.
"Di saat hari ulang tahunmu itu, tetaplah tinggal di kamarmu, di atas ranjang," pesan sang Bhikkhuni.
"Mengapa?" Eleanor bertanya.
"Sebab, kamu akan tidur panjang. Bukankah, lebih nyaman tidur di atas ranjang dan di kamarmu sendiri?" tanya sang Bhikkhuni kembali.
Tidur panjang? Apakah itu seperti berhibernasi? Berbulan-bulan? batin Eleanor ngeri.
"Tidak akan sampai berbulan-bulan. Mungkin hanya satu atau dua minggu. Itu tergantung dengan pencapaianmu nantinya," jelas sang Bhikkhuni tanpa ditanya.
"A-Apa, apa maksudnya?" tanya Arron Zhu dan melangkah maju, mendekati sang Bhikkhuni.
"Takdir setiap orang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa! Namun, untuk segelintir orang memiliki keistimewaan akan garis takdir. Keistimewaan, sama dengan tanggung jawab yang besar. Sebab, saat garis takdir seseorang berubah maka itu akan berimbas kepada orang-orang di sekelilingnya. Bahkan, mempengaruhi dunia!" ujar sang Bhikkhuni.
"Maksudnya?" Kali ini, Eleanor yang bertanya.
"Maksudnya, kamu memiliki keistimewaan itu! Namun, hasil akhir tidak dapat diprediksi. Mungkin menjadi lebih baik, bahkan bisa saja lebih buruk. Itu tergantung langkah yang kamu ambil. Saat kamu tertidur nanti, kamu akan memiliki kesempatan untuk melampaui takdir yang telah digariskan."
"Wow! Itu tidak masuk akal!" seru Eleanor apa adanya.
"Semua yang kamu lalui juga tidak masuk akal, bukan?" tanya sang Bhikkhuni kembali.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku persiapkan?" tanya Eleanor kembali.
"Tidak ada! Cukup hadapi itu dengan menjadi dirimu sendiri! Mungkin saat kamu kembali, penyakitmu akan sembuh."
"Benarkah?" seru Eleanor antusias.
"Ada satu hal lagi, kamu tidak akan tertidur secara mendadak sampai pada hari ulang tahunmu. Jadi, lakukan apa yang kamu inginkan dalam beberapa hari ini!" ujar sang Bhikkhuni dengan senyum yang menenangkan.