Bab 3 Dimulai dari Purnama
Bab 3 Dimulai dari Purnama
Sambil tiduran di kasurnya yang tipis setipis badannya saat ini, Hasbi masih memikirkan kejadian hari ini. Biasanya, setelah ia menang atau kalah judi, ia akan pulang dan tidur. Jangan salah sangka, walaupun Hasbi hobi berjudi, tapi dia tetap anak rumahan. Hasbi enggan untuk nongkrong dan mabuk karena itu bisa membuat uangnya habis dan tidak bisa berjudi. Padahal, judi bisa membuat uangnya habis lebih cepat.
Ya memang sebodok dan seabsurd itulah Hasbi.
“2 hari lagi, pas malam purnama. Kenapa harus nunggu purnama gitu? Apa tuyulnya baru turun gunung di malam purnama? Apa aku akan dijadikan tuyul?” pikiran absurd Hasbi seakan tak berhenti disitu. “Ya kali aku jadi tuyul. Mana ada tuyul gondrong sempakan nan cakep macam aku? Eh….. tapi bisa juga sih, siapa tahu dapat Muzdalifah.”
Hasbi lalu mendendangkan lagu milik Nasar. “Seperti lampu ya sayang, seperti mati lampu….”
Buggg….
Muka Hasbi dihantam seonggok guling yang warnanya sangat lusuh. Hasbi menyingkirkan guling jahanam dan mencari pelaku utamanya. Ia melihat adiknya, Hamash, yang tidur dengan gaya yang entahlah, dia sendiri tak tahu gaya apa itu.
“Kampret! Udah dibeliin Mekdi, makan kenyang lalu pules! Huuu, dasar anak manusia!”
Hasbi lalu memperhatikan adiknya. Sekilas, mereka berdua memiliki muka yang sama. Mungkin cetakannya sama, makanya hasilnya sama persis kayak gini. Bedanya, Hamash lebih berisi daripada Hasbi. Mungkin karena tubuhnya belum terkikis beratnya kehidupan yang beranjak dewasa.
Hasbi berharap adiknya tidak akan seperti dirinya. Setidaknya tidak semenyedihkan ini. “Hehehe… Mas Hasbi… “ Hasbi menatap lekat adiknya yang entah kenapa tidur di kamarnya, padahal sudah punya kamar sendiri. “Mas Hasbi kampret hehehe.” Mendengar igauan dari adiknya, Hasbi lalu melempar guling itu ke Hamash. Dasar adek tak tahu balas budi!
***
Pagi itu, di rumah Hasbi suasana berisik tak bisa mengusik tidur Hasbi yang seperti Cinderella kaporit. Namun, cuma 1 yang mengusik Hasbi. Bau osengan cabai ibunya yang aduhaiiii menyengak akan sukses membuat siapa pun yang menciumnya menjadi auto pilek.
“Hatchiii!!” Hasbi kemudian bangun dari tidurnya dengan rambut gondrong yang mencuat kesana kesini. Astaga, ibu kalo goreng cabai memang nggak terkira!
Hasbi menggosok dan menutup hidungnya. Berharap agar ia tak bersin berkali-kali karena ulah ibunya. Sebenarnya, bau cabai ini adalah alarm manjur buat semua orang di rumah. Kalau sudah ada bau menyengak ini, artinya sudah jam 5 pagi dan itu tandanya, Hasbi harus membantu ibunya mengulek dan memasak sambal goreng untuk dijual.
Segoblok dan se-enggak bergunanya Hasbi, ia tetap bisa diandalkan untuk mengulek cabai. Ibunya ini sepertinya sengaja tidak beli blender agar Hasbi bisa dimanfaatkan.
“Hasbiiii!!!!!” teriak ibunya.
“Iyaa!!!” Mau tidak mau, Hasbi bangun dan segera membantu ibunya atau piring plastik akan melayang ke badannya.
***
Duag… duag… duag…
“Ham, kamu ngapain sih?!” teriak Hasbi dari luar kamar mandi sambil menyampirkan handuk di bahunya.
“Ya mandi, Mas,” jawab Hamash sambil menyiramkan air ke badannya.
“Ck.” Hasbi jengkel. Hamash ini kalau mandi, lamanya nggak ketulungan. Ibunya saja kalah lama dibandingkan Hamash. Padahal ibunya itu wanita lho yang pasti perlu tampil syantek dan Hamash itu mau mandi lama atau pun cepat, tetep aja buluk.
Brak…
Pintu kamar mandi terbuka. Maklum saja ya suara pintunya sangat nyaring karena terbuat dari seng. Bodo amatlah ya dengan yang namanya estetika, yang penting bisa digunakan buat menutup kamar mandi biar privasi terjaga.
Hamash kemudian keluar dari kamar mandi. Biasanya, orang yang keluar dari kamar mandi itu bawa handuk, pakaian kotor atau peralatan mandi lainnya. Tapi Hamash justru bawa HP.
“Buruan mandi Mas!” suruh Hasbi sambil memperhatikan layar ponsel pintarnya.
“Dia nggak nyadar kalau Masnya belum mandi juga karena dia,” gerutu Hasbi lalu mendorong minggir si Hamash agar menyingkir dari depan kamar mandi.
Brak…….
Tak lama kemudian, terdengar suara orang mandi yang diiringi dendangan aneh dari mulut Hasbi. “Naik kereta api, dut… dut… dut.”
“Mas Hasbi, awas cepirit!” sahut Hamash yang belum beranjak dari sekitaran kamar mandi. Niat hati ingin bersantai sambil mengikuti kelas online malah mendengar kentut Hasbi yang aduhai menjijikkan.
Hasbi yang mendengar komplain dari Hamash justru melanjutkan nyanyiannya sambil menyabuni tubuh. “Ke Bandoonggg, Suroboyo!!!”
Hamash hanya bisa makslum. Dia kadang heran, kesalahan apa yang dia perbuat di masa lampau hingga mendapatkan mas yang luar binasa tak tertolong itu? Sibuk memikirkan Hasbi, membuat Hamash tak bisa berkonsenstrasi. Ia kemudian duduk di pinggir sumur. Karena ia kurang hati-hati, ia tergelincir dan… Plung…
“Mas Hasbi!!!! Huaaaaaaa!!!!!” teriak Hamash histeris yang membuat Hasbi segera keluar dari kamar mandi. Rambut basah, handuk kumal melilit area privasinya, badan yang masih basah, area mulut yang penuh dengan busa membuat Hamish semakin histeris. “Mas Hasbi!!!!!!!!!!”
“Rasah bengok-bengok. Setan e tangi! (nggak usah teriak-teriak, setannya bangun!)” kata Hasbi sambil berkacak pinggang dari pintu kamar mandi.
“Mas Hasbi setannya!” Hasbi hanya melotot. Rambut gondrong yang kalau basah menjadi agak kriwil, badan basah, handuk lusuh, mulut berbusa karena sedang sikat gigi. Perfect! Hasbi bisa lolos casting jadi setan!
“Itu … Ngapain kamu teriak-teriak?”
Mendengar pertanyaan itu, Hamash hanya bisa mbrebes mili. Ia ingin menangis kalau mengingatnya. “HP-ku jatuh ke sumur, Mas. Huaaaa!!!”
“Salahnya sendiri! Udah tahu ada sumur, masih aja dibuang ke situ. Nggak tahu apa kalau nggak semua orang punya kemampuan terjun ke sumur?!”
“Hamash nggak buang. Terjatuh HP-nya.”
“Lha trus hubungannya sama mas apa? Kamu yang main HP kan?” Hamash mengangguk. “Salahnya Mas Hasbi?” Hamash menggeleng. “Terus, Mas Hasbi harus terjun buat ngambil HP-nya?” Hamash menganggu.
“Terjun sendiri!” Hasbi lalu masuk ke kamar mandi, menutup pintu dengan kasar dan memilih melanjutkan mandinya.
“Pokoknya Mas Hasbi yang harus beliin HP-nya. Kalau nggak ada HP, aku nggak bisa sekolah mas!” kata Hamash sambil menggedor pintu. Berisik sekali.
“Yeyus hubungannya hama has habi hapa?” tanya Hasbi dalam bahasa planet.
“Ya hubungannya Mas Hasbi kan masnya aku. Jadi kalau HP-ku ilang atau rusak, Mas Hasbi yang beliin.”
“Cuih…” Kemudian terdengar orang berkumur dan meludahkan sesuatu. “Minta ibuk sana!”
“Nggak mau, nanti aku dirotan!” Hamash bergedik ngeri kalau meminta ibunya. Sebenarnya tidak masalah kalau rusak yang bukan karena kesalahannya. Tapi karena ini kesalahannya, ibunya tidak akan bertoleransi.
“Yowes (ya udah).” Hamash gembira karena sepertinya Hasbi hendak membelikannya ponsel. “Kamu ngamen aja, biar duitnya banyak trus bisa beli HP baru!” Senyum Hamash luntur seketika.
“Asu!!!” umpat Hamash. Memang, kalau meminta sesuatu pada masnya itu, ujung-ujungnya kecewa. Mungkin tadi malam baru kesambet jin baik hati karena membawakan makanan dari Mekdi.
Hasbi sendiri hanya terkekeh mendengar adiknya mengumpat. Salah sendiri, HP kok dibuang. Hamash yang mendengar suara mengejek dari dalam kamar mandi langsung bad mood. Ia kemudian pergi dari situ karena percuma, apa sih yang bisa diharapkan dari mas hobi judi macam Hasbi?
***
Hasbi sedang bersantai karena ia sudah selesai kelas online hari ini. Niat hati ingin merem sebentar, tapi teriakan ibunya membuatnya tak bisa tidur.
“Hasbi!!! Itu bajunya dicuci dong! Ibuk masih sibuk di warung, kamu ngapain leyeh-leyeh di sini?” Terlihat ibu Hasbi di dekat pintu dapur sambil memegang sendok sayur. Ibunya memang hanya berjualan di tanah agak lapang di dekat rumahnya. Jadi, sering pulang misalnya mengambil sayur cadangan.
Hasbi langsung duduk. “Iya Bu.”
“Awas kalau tidur lagi trus pas Ibu pulang, cuciannya masih menggunung!” Setelah itu, Ibu Hasbi pergi dan meninggalkan Hasbi yang terbengong.
Dengan berat hati, Hasbi beranjak dari tempat duduknya kemudian beranjak mengumpulkan baju kotor untuk dicuci. Walaupun Hasbi ini tukang judi, tapi dia masih sayang ibunya. Dia nggak mau jadi batu kayak Malin Kundang. Pegel.
Hasbi kemudian meletakkan pakaian kotor di belakang rumah. Ia menaruh deterjen ke ember yang sudah diisi air. Hasbi merogoh kantong yang ada di semua pakaian yang akan dicuci, berharap menemukan selembar uang biru untuk modal judi malam itu. Bukannya uang, ia justru menemukan kartu nama. Butik Arkana.
Ia terdiam seketika dan berlari ke rumah. Mengecek kalender dan ternyata, hari ini adalah malam purnama.
Hasbi galau. Ia ingin pergi tapi dia tak mau jadi manusia srigala dan setetek bengek tumbalnya. Kalau dia tidak pergi, dia penasaran dan ingin tahu apa sih yang akan ditawarkan oleh manusia macam Dika?
Hasbi mondar mandir sambil memegang kartu nama tersebut. Ia berpikir keras dan kemudian berhenti. “Oke, nanti malam aku akan pergi. Bodo amatlah jadi manusia serigala, nggak ada manusia serigala setampan aku!” kata Hasbi pada dirinya sendiri.
Siap jadi manusia serigala, Hasbi?