Bab 3 Tukang Ngintip!
Bab 3 Tukang Ngintip!
BUKKKK !! Lemparan sepatu kedua yang dilempar oleh Bening membuat amarah Benua tak bisa di bendung lagi.
“Turun kau sini!! Beraninya kamu lempar sepatu ke muka gue!” bentak Benua dengan tangan yang terkepal kuat seraya ingin menonjok Bening saat itu juga.
“Apa?! Bisa-bisanya ya kamu mengintip begitu, kamu pikir bagus, Mas? Tidak sopan!” sahut Bening yang kesal terhadap Benua. Dia merasa kesal dengan sikap Benua tentu saja.
Tanpa sadar Bening memanggil Benua dengan sebutan ‘Mas’ kembali, namun bedanya kini lebih banyak orang lebih tepatnya teman-teman Benua yang tidak kalah keren dan stylish—nya dengan Benua.
Orang-orang semakin tertarik dengan pertengkaran Bening dan Benua. Mereka menjadi bergerombol semakin ingin menyaksikan Benua yang ditantang begitu oleh siswi baru.
“Wah Ben, ada apa kamu dengan dia? Bisa-bisanya dia manggil kamu, Mas begitu, hahaha!!!” ejek dari Ferdian salah satu teman Benua, lebih tepatnya teman satu genk!
“Iya nih, kok kawanku tidak bilang-bilang dapat gadis Bening seperti ini,” sahut Nathan sambil mengerlingkan matanya genit pada Bening yang sudah turun dari atas pohon.
“Aku tidak ada apa-apa dengannya! Dia memang selalu menyusahkan!!! Dia itu kera! Buktinya naik-naik pohon seperti itu,” gerutu dari Benua, lebih tepatnya mendumal tentu saja.
Benua yang merasa benar-benar kesal sampai ia lupa bibirnya kini berdarah karena pecah akibat lemparan sepatu dari atas pohon.
“Sini lo!” Tarik tangan Benua yang seakan mencubit lengan Bening membuat Bening mengerinyit kesakitan.
“Aduuhhh!! Sakit,” rintih Bening mencoba menyeimbangkan langkah kakinya sendiri. Masalahnya kakinya hanya memakai satu sepatu saja, sisanya hanya beralas kaus kaki saja.
“Kamu bilang begitu sakit?! Kamu tidak lihat bibirku sampe begini gara-gara kamu?!” bentak Benua sambil menunjukan bibirnya yang berdarah akibat perbuatan Bening tadi.
Bening benar-benar terkejut dan refleks tadi melihat Benua yang ada di bawah pohon, ia berpikir bahwa Benua mengintipnya padahal Benua hanya lewat dan tidak sengaja berada di bawah pohon yang sedang Bening panjat.
“Maaf, Mas. Aku tidak tahu, kalau itu sampai membuat kamu begini,” gusar dari Bening karena takut akan Benua yang marah terhadapnya kini. Dia juga merasa bersalah melihat sudut bibir Benua jadi robek dan berdarah.
“MAS LAGI!! MAS LAGI!! Aku sudah bilang jangan pernah lagi panggil aku Mas, pokoknya kamu mesti ikut aku pulang dan melakukan apa yang aku minta, karena kamu juga sudah membuat banyak kerugian buatku!!!” bentak dan ancam dari Benua yang mulai mengeluarkan tingkah otoriternya terhadap Bening.
Benua yang marah, kini berniat mengerjai Bening, karena ia pikir bahwa Bening kini benar benar membuatnya malu dengan memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’ di depan teman-temannya itu.
Benua pergi ke parkiran motor, diikuti oleh Bening di belakangnya.
Kini hanya rasa takut yang sedang dimiliki Bening. Bagaimana tidak? Bening di minta melakukan semua perintah dari Benua, anak dari Pak Sulaiman yang kini ia buat memar bibirnya.
Ketika Bening menunggu angkutan umum di depan gerbang sekolah, Benua berhenti dengan motornya tepat di depan Bening.
“Aku sudah bilang kamu harus ikut aku pulang! Kenapa kamu malah menunggu di sini?!” sentak Benua dengan nada kasarnya.
“Tidak apa-apa Mas, aku pulang sendiri saja, masalah tadi aku minta maaf. Aku akan lakukan apa yang diperintahkan mas Benua di rumah,” jawab Bening dengan nada lirih disertai rasa yang ogah-ogahan.
Pria yang sudah menunggangi kuda besinya itu berdecak kesal.“ Tidak usah banyak alasan kamu! Naik cepat!!! Aku tidak mau orang-orang banyak yang melihatku pulang denganmu, naik!!!” bentak Benua.
Akhirnya Bening pun mengikuti permintaan Benua untuk naik ke motornya. Sepanjang jalan perasaan takut Bening kian bertambah, bagaimana tidak, Bening tahu bahwa ia sedang bersama pria yang sedang memendam marah kepadanya.
“Aku sudah bilang jangan panggil aku, Mas! Panggil saja Benua! Kamu jangan membuatku malu dong!!! Cukup dengan aku antar kamu pulang pergi ke sekolah karena ini amanat papa,” cakap Benua memecah hening yang terjadi antara Bening dan Benua sedari tadi, nada bicaranya masih tak santai alias masih terkesan ketus, galak dan mendumal kepada Bening.
“Iya... aku hanya tidak enak saja, karena bagaimanapun juga kamu anak dari majikan ibuku dan Pak Sulaiman juga sudah baik padaku, sudah mau sekolahkan aku di sini,” tutur Bening.
Perempuan itu masih canggung, dia duduk mundur-mundur terus, takut terlalu menempel dengan Benua. Apalagi dengan keadaan motor Benua yang terbilang pose seksi.
Bahkan saat berboncengan pertama kali, ketika berangkat bersama saja dia bingung bagaimana caranya menaiki motor Benua, setelah akhirnya dengan lancang memegang bahu Benua agar dirinya bisa duduk di belakang Benua.
Belum lagi kecepatan motor itu di atas rata-rata. Sekali Benua memutar gasnya saja saat itu juga rasanya Bening terlempar hebat seperti ditarik gaya gravitasi yang kuat. Ingin berpegangan dia bingung karena tak ada sisi pegangannya. Tak pegangan dia takut jatuh! Hanya karena soal boncengan saja dia dilema. Makanya gadis itu lebih memilih untuk naik angkot daripada harus dibonceng Benua keseringan begini.
“Pokoknya aku tidak mau kamu panggil Mas kalo di luar rumah ya! Nanti dibilang apa sama teman-teman aku!” perintah Benua dengan nada yang lugas.
“Iya Mas... eh iya Ben,” jawab Bening dengan nada pasrah.
Bening kini semakin pusing memikirkan apa yang akan terjadi lagi dengannya, semua yang dialaminya di sekolah hari ini tidak mungkin ia ceritakan kepada ibunya yang telah menaruh harapan besar kepadanya, namun kepada siapa dia akan bercerita, kini semua hanya bisa Bening simpan semuanya sendiri.
Sepanjang jalan Bening hanya terdiam memikirkan takdir apa lagi yang sedang Tuhan ciptakan untuknya, semilir angin yang berhembus tanpa sadar membuat air mata Bening terjatuh, semua perubahan kehidupan yang Bening hadapi setelah bapaknya meninggal, ini merupakan titik terberat baginya, karena ia harus berjuang tinggal di ibukota dengan segala kesulitan yang ia hadapi namun ia tidak bisa bercerita kepada siapapun termasuk ibunya.
Bening hanya bertekad bahwa ia tidak akan mengecewakan ibunya yang selelu berjuang untuk menjadikan kehidupan Bening menjadi lebih baik, dan juga kepada Pak Sulaiman dan istrinya yang telah bersedia membiayai sekolah Bening.
Tak sadar kini motor Benua memasuki pagar megah rumah, Bening buru buru menghapus airmatanya dan mengukir senyum yang lebar karena ingin bertemu dengan ibunya.
“Bagaimana Nak sekolah kamu hari ini?” Dengan nada lembut ibunya menyapa sambil terlihat buih-buih keringat yang belum kering di dahinya.
Binar di mata ibu menandakan harapan sekaligus beban buat Bening saat ini... Namun Bening hanya bisa memendamnya saja tanpa bersuara.
“Alhamdulillah Bu, sekolah hari ini lancar Bening juga senang mendapat teman baru disekolah,” ucapnya sambil merapikan baju yang tampak sedikit berantakan.
“Yo wis, kalo begitu kamu makan dulu ya, makanannya ada di ruang belakang, ibu ingin menyiapkan makanan untuk Den Benua dulu...” jelas ibunya, tergopoh-gopoh pergi mengantarkan makanan.
‘Anak orang kaya memang enak ya?’ gumamnya dalam hati.
“Iya bu,” imbuh Bening dengan nada lemas.
Ketika Bening ingin mengambil makanan di ruang belakang terdengar suara Benua yang datang menghampiri ibunya yang berada di dapur itu.
“Bi, lihat Bening ga?” tanya Benua.
“Di belakang Den, ingin mengambil makanan katanya,” jawab ibu Bening dengan jujur.
“Saya minta tolong panggilkan Bening ya Bi?” perintah yang terdengar benar-benar memerintah ibunya membuat Bening keluar.
“Ada apa Mas? Tolong kalau menyuruh Ibu dengan nada yang baik ya?” ketus Bening yang agak kesal dengan Benua.
“Eh, tidak apa-apa Ning, ibu ndak apa-apa,” sahut ibunya dengan wajah polos, menyela ucapan Bening.
“Kamu lupa apa yang sudah aku katakan tadi? Kamu harus ikuti semua perintahku.”
Yang Bening pikir dengan sesampainya dia di rumah Bening bisa merasakan ketenangan sedikit.
Ternyata Bening terus di ganggu oleh Benua atas perilakunya tadi.
Salahnya juga yang sudah mencari gara-gara dengan Benua.
[NEXT PART]