Bab 12 Sisi lain Benua
Bab 12 Sisi lain Benua
Benua memang terlahir dari kalangan orang tua yang berkecukupan, Benua memiliki barang-barang mewah yang jarang sekali dimiliki oleh teman-temannya, namun sebenarnya Benua adalah anak remaja lelaki yang kesepian bagaimana tidak Benua yang tidak mempunyai adik atau kakak, dan dia juga tidak terlalu dekat dengan sepupu-sepupunya, bahkan yang lebih menyedihkannya adalah orang tua Benua yang selalu meninggalkannya sendiri sedari dia beranjak remaja.
Dahulu sedari kecil dia selalu bersama nenek kesayangannya, namun ketika ia kelas 6 sd neneknya meninggal ketika sedang menemaninya tidur, Benua yang benar-benar terpukul akan kejadian itu berubah menjadi bocah pendiam dibanding biasanya, Benua merasa dunia nya hilang, sumber kebahagiannya kini telah tiada, orang tuanya pun menemaninya pasca meninggal neneknya itu hanya beberapa bulan selebihnya dia hidup sendiri.
Benua pernah merasa berada dimana semesta benar-benar tidak adil terhadapnya, dia yang tidak mempunyai siapapun selain neneknya, kini Tuhan pun mengambil neneknya untuk selamanya. Dia benar-benar merasa sendiri sampai ketika dia mengenal kedua sahabatnya sekarang, Ferdian dan Nathan pada saat SMP kelas 8, dia sedikit bisa menemukan bahagiannya lagi walaupun hanya sebatas teman, ternyata mereka berdua benar-benar selalu ada untuk Benua dan membuat Benua bisa merasa hidup sampai saat ini.
Sampai saat ketika Bening datang di hidupnya, walaupun kesan pertama bertemu tidak terlalu indah namun Benua ternyata merasakan hal aneh yang belum pernah ia rasakan terlebih dahulu, Benua yang entah mengapa merasa ingin terus-terusan menjaili Bening, melihat wajah Bening, melihat binar mata Bening, bahkan Benua yang di kenal cuek terhadap perempuan bisa merasakan khawatir akan keadaan Bening ketika mendengar Bening sedang dalam keadaan bahaya.
“Ini makanannya Benua,” ucap Bening yang tiba-tiba memecah lamunan Benua, sambil menyodorkan makanan yang sudah dibuatkan susah payah olehnya saat ini.
“Hah?” Benua bingung.
“Ini makanan yang kamu minta tadi,” jelas Bening dengan nada agak tinggi.
“Sudah jadi?” tanya Benua dengan tatapan yang kosong setelah melamun.
“Sudah. Ini ambil, aku mau pulang, Ben,” ucap Bening
“Kamu bisa temenin aku di sini? Makan bersama saja, sini ... tidak apa-apa,” pinta Benua sambil menepuk-nepuk sisi kasurnya.
“Lah kamu kenapa sih? Aku mau pulang saja Ben,” jawab Bening aneh, dia sudah ingin mengistirahatkan tubuhnya.
“Pokoknya aku mau kamu temani aku makan dulu. Nanti kamu, aku antar pulang,” tutur Benua yang tampak memaksa.
Bening tak mau berdebat lagi dengan Benua, kepalanya pun sudah mulai terasa sakit kembali, dia hanya duduk dan memilih tetap diam.
“Kau mau makan juga?” tanya Benua menawarkan makanan.
“Tidak, terima kasih,” jawab Bening dengan nada datar.
“Kamu kenapa sih? Jutek seperti itu, aku salah apa?” tanyanya dengan kesal. Pria itu lantas menghela napasnya pelan. “Ya sudah kalau begitu aku antar kamu pulang saja sekarang,” sungut Benua langsung bangun dari duduknya lalu mengambil jaket.
“Aku tidak apa-apa, cuma kepalaku sakit lagi, jadi kalau mau makan dulu, makan saja, atau aku pulang sendiri pun tidak apa-apa,” jelas Bening yang takut Benua salah paham atas tindakannya.
“Aku kira kamu marah, ya sudah kamu tunggu sini, aku ambilkan obat. Nanti malam sebelum tidur kamu minum,” tutur Benua yang malah ingin memberikan obat untuk Bening.
Bening yang merasa benar-benar pening kepalanya, hanya bisa mengiyakan apa yang dikatakan Benua, menurutnya dengan mengikuti apa yang Benua katakan membuat hidupnya jauh lebih mudah, karena berdebat dengan Benua pun ujungnya harus Bening yang mengalah, dan sekarang Bening tidak memiliki cukup energi untuk berdebat dengan Benua
.
Setelah Benua turun dari atas undakan kamarnya, dia memberikan Bening sebuah obat.
“Ini obatnya, nanti malam kamu minum saja saat mau tidur,” ucap Benua.
“Iya terima kasih ya Ben?” sahut Bening penuh terimakasih. Dia masih tersenyum meski wajahnya meringis menahan sakit di kepalanya saat ini.
“Ayo aku antar pulang, kasihan aku lihat muka kamu,” ujar Benua sambil terkekeh.
Bening berdecak sebal. Sejak kapan Benua akrab dengannya? “Aku tak perlu dikasihani kok, aku bisa pulang sendiri,” kilah Bening sambil berdiri.
Ketika Bening ingin bangun dari duduknya, kepalanya seperti memutar dan pandangannya pun hanya menghitam, ia seakan-akan siap terjatuh.
“ADUHHHH!” rintih Bening merasakan sakit.
Benua yang refleks langsung memegang tangan Bening seraya merangkul Bening saat ini.
Detak jantung Bening yang mendadak berdetup dua kali lebih kencang seperti yang tadi ia rasakan ketika Bening terhimpit di daun pintu tadi.
“Makanya kalau aku bilang itu jangan ngeyel, aku tak akan berbuat apa-apa,” gerutu Benua yang ingin sekali memukul Bening saat ini, namun ia tetap memapah Bening untuk keluar rumah.
“Iya, maaf ya,” ucap Bening pasrah.
Sampai mereka bedua di halaman depan, Benua membukakan pintu mobil, membiarkan Bening masuk dan Benua menyusulnya masuk.
Di perjalanan menuju rumah kontrakannya Bening, Bening hanya menutup wajahnya dengan tangannya, Benua mengetahui bahwa itu Bening lakukan untuk menahan pusing yang sedang ia rasakan. Jarak rumah Benua dan Bening tidak terlalu jauh, jadi Bening pun tak perlu menunggu lama untuk tidak di rumahnya, namun karena rumah Bening terdapat di dalam gang, Benua bingung harus mengantarnya sampai mana.
“Sudah sampai, kamu antar aku sampai depan gang saja, aku tidak apa-apa,” sela Bening seakan mengetahui bahwa Benua bingung bagaimana menurunkannya.
“Tak usah bawel, kamu diam saja,” sungut Benua risih karena Bening menyuruhnya untuk menurunkan Bening di pinggir jalan.
Jujur saja bukan tipe Benua untuk menurunkan perempuan di depan gang, baik siapapun yang dia antar maka dia harus mengantarnya sampai depan rumah, apalagi keadaan Bening saat ini, mengingat bahwa tadi ketika Bening ingin bangun saja ia ingin jatuh, apalagi dia harus berjalan sendiri menuju rumahnya.
Akhirnya Benua menumpang parkir sementara di tukang besi tua yang berada di dekat gang rumahnya Bening, Benua turun lalu membukakan pintu Bening.
“Ayo turun,” ujar Benua mengulurkan tangannya.
“Memang tidak apa-apa parkir di sini?” tanya Bening mengapa Benua memarkir mobilnya di depan toko besi tua milik orang lain.
“Tidak apa-apa, aku sudah bertanya tadi. Lagi pula aku sebentar kok,” jelas Benua.
“Pak numpang bentar ya pak?” ucap Benua sopan. Bening sampai bingung, teman sekolah sekaligus anak bos ibunya ini bisa sopan juga.
“Iya, Dik tidak apa-apa,” sahut lelaki paruh baya yang kiranya punya toko besi tua ini.
Akhirnya Benua berjalan sambil memegang Bening yang masih sangat lemah, dan tengah merasa pening di kepalanya, mungkin karena Bening masih kekurangan oksigen dan minum air mineral jadi tubuhnya begini.
“Sudah sampai ini, kuncinya mana?” tanya Benua.
“Ini kuncinya di sini, nih,” sahut Bening memberikan kunci kepada Benua.
Benua membuka kunci pintu dan membuka pintu, lalu membiarkan Bening masuk kedalam.
“Aku langsung pulang tidak apa-apa kan?” tanya Benua memastikan bahwa tak apa jika dia pulang.
“Iya tidak apa-apa, terima kasih Ben,” sahut Bening.
“Nanti aku suruh Ibumu juga untuk segera pulang, biar kamu ada yang menemani,” jelas Benua.
“Iya,” sahut Bening benar-benar lemas.
“Jangan lupa diminum itu obatnya, besok kamu berangkat denganku saja ke sekolahnya. Paham?” perintah Benua yang terdengar sangat tegas terhadap Bening.
“Heumm iya..” jawab Bening dengan wajah yang benar-benar pucat saat ini.
Akhirnya Benua pun pulang, karena ia juga mengetahui bahwa Bening sudah cukup lelah hari ini, dibalik sikap jailnya Benua yang menyebalkan namun sebenarnya Benua adalah orang yang peduli terhadap seseorang jika Benua menganggap orang itu penting.