Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9. Sang Ballerina

Hari demi hari Krystal menjalani kehidupannya sebagai istri kedua Kaivan Bastian Mahendra. Lebih tepatnya mungkin hanya istri simpanan. Selama ini tidak ada yang tahu bahwa dirinya adalah istri Kaivan. Bahkan Krystal pun tidak memberitahukan tentang dirinya yang menikah diam-diam dengan Kaivan pada kedua temannya. Yang tahu Krystal adalah istri Kaivan hanya pelayan dan sopir di rumah ini. Ya, Krystal tidak pernah menyangka hidupnya akan seperti ini. Kepergian kedua orang tuanya, telah membuat hidup Krystal benar-benar terpuruk. Dia berjuang bersama dengan sang adik untuk tetap bisa bertahan hidup. Namun, kenyataannya takdir membawa Krystal hanya menjadi istri simpanan.

Tadi malam Krystal pun tidur sendirian tanpa ada Kaivan di sampingnya. Kesepian. Itu yang Krystal alami. Tetapi Krystal tidak bisa melakukan apa pun. Dia menyadari posisinya hanya sebagai istri simpanan. Kelak jika dirinya mengandung dan melahirkan maka dirinya akan berpisah dengan Kaivan.

Kini Krystal tengah mematut cermin. Memoles wajahnya dengan riasan tipis. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Krystal. Pementasan balet yang sebelumnya dia telah persiapkan sebelum kejadian adiknya kecelakaan. Belakngan ini Krystal memang jarang latihan kala adiknya berada di rumah sakit. Pikiran yang kacau membuat Krystal tetap tidak bisa tenang.

Suara dering ponsel terdengar, membuyarkan lamunan Krystal. Dia mengambil ponselnya dan menatap ke layar—terlihat nomor Maya yang tengah menghubunginya. Krystal menggeser tombol hijau sebelum kemudian meletakan ke telinganya.

“Ya, Maya?” jawab Krystal saat panggilan terhubung.

“Krystal, kamu di mana? Aku sudah sampai,” ujar Maya dari seberang sana.

“Aku sebentar lagi jalan.”

“Astaga, cepat, Krystal. Kita tidak boleh terlambat.”

“Iya, Maya. Aku jalan sekarang.”

Krystal menutup panggilan itu. Dia langsung menyambar tas dan ponselnya—lalu berjalan meninggalkan rumah. Namun, tiba-tiba langkah Krystal terhenti kala melihat seorang pelayan melangkah menghampirinya.

“Nyonya,” sapa sang pelayan.

“Ya?” Krystal menatap sang pelayan yang berdiri di hadapannya.

“Tadi saya mendapatkan telepon dari Tuan Kaivan. Sebelumnya Tuan Kaivan menghubungi nomor ponsel Anda tapi nomor ponsel Anda sibuk, Nyonya,” ujar sang pelayan dengan sopan.

“Ah, itu. Tadi temanku menghubungiku. Apa yang Kaivan katakan?” tanya Krystal. Sebelumnya dia mendapatkan telepon dari Maya—teman sesama Ballerina. Mungkin saat dirinya tengah melakukan panggilan telepon dengan Maya; Kaivan menghubunginya.

“Tuan hanya menanyakan keberadaan Anda, Nyonya,” jawab sang pelayan memberitahu.

Krystal mengangguk. “Hari ini aku ingin pergi. Mungkin aku akan pulang malam. Kalau Kaivan datang, kamu bisa katakan padanya aku latihan balet.”

“Baik, Nyonya,” jawab sang pelayan itu lagi.

Krystal tersenyum ramah. Kemudian, dia berjalan meninggalkan rumah. Seperti biasa Krystal sudah menghubungi taksi untuk segera menjemputnya. Dia tidak mungkin mau menggunakan sopir di rumah ini. Meski sebelumnya Kaivan sudah mengatakan dirinya bisa menggunakan sopir yang telah disiapkan, namun Krystal tidak mau menjadi pusat perhatian teman-temannya.

***

Saat Krystal tiba di tempat pementasan balet. Dia langsung segera membayar taksi itu—lalu berjalan cepat menuju pintu belakang gedung.

“Oh, Krystal. Akhirnya kamu sampai juga,” seru Maya dan Nadia bersamaan.

“Maaf… Tadi pagi aku bangun sedikit terlambat,” ujar Krystal memberitahu.

Maya menghela napas dalam. “Hingga detik ini kamu belum bilang pada kami di mana kamu tinggal sekarang, Krystal.”

“Iya, Krystal. Kami tidak tahu di mana kamu tinggal. Apa sangat jauh dari tempat ini?” sambung Nadia yang penasaran.

“Ah, itu.” Krystal mencari-cari jawaban yang tepat. Sejak kemarin memang Krystal selalu diam berpura-pura tidak mendengar kala Maya dan Nadia menanyakan di mana dia tinggal.

“Aku tinggal—”

“Krystal, Maya, Nadia, ayo segera bersiap ke panggung. Acara akan segera di mulai.” Suara salah satu teman sesama Ballerina menghentikan percakapan Krystal, Maya, dan Nadia.

“Ya,” jawab Krystal dan kedua temannya serempak. Kali ini Krystal kembali terselamatkan. Dia tidak perlu mencari-cari alasan di mana dirinya tinggal pada kedua temannya itu.

Tanpa menunggu lama, Krystal langsung mengganti pakaiannya. Sesaat dia mengatur napas kala pementasan balet akan segera dimulai. Meski ini bukan pementasan pertama baginya tetap saja ada rasa cemas dalam diri Krystal.

Saat Krystal sudah memakai pakaian Ballerina. Dia melangkah dengan anggun bersama sang Ballerino yang menjadi lawannnya. Krystal dan sang Ballerino itu menundukan kepala mereka, menyapa para pengunjung yang datang.

Suara alunan musik Italia berbunyi lembut memenuhi aula yang megah itu. Krsytal lebih dulu melangkah maju. Lalu dia berjinjit dan menari dengan berputar mengikuti alunan lagu. Sang Ballerino menyeimbangi tarian Krystal. Tepat di belakang Krystal dan sang Ballerino ada para ballerina yang ikut menari dengan indah.

Namun tiba-tiba, di saat Kystal tengah menari mengukiti alunan lagu tatapannya teralih pada pasangan yang baru saja tiba. Pasangan yang terlihat serasi duduk di kursi exclusive paling depan. Raut wajah Krystal menegang. Rasanya dia ingin berhenti menari. Sayangnya, itu tidaklah mungkin. Krystal dituntut untuk tetap professional.

“Kaivan.”

Krystal bergumam begitu pelan. Ya, yang duduk di kursi depan adalah Kaivan bersama dengan Livia. Jantung Krystal berdebar. Ini pertama kalinya Kaivan melihat dirinya menari.

Di sisi lainnya, Kaivan sudah sejak tadi memberikan tatapan dingin pada Ballerina yang tengah menari bersama dengan Ballerino. Sorot mata Kaivan terlihat tegas dan penuh arti. Setiap gerakan tubuh Krystal tidak luput dari pandangannya.

“Kaivan, bukannya itu—” Livia mengerutkan keningnya, menatap seorang Ballerina cantik yang tengah menari bersama dengan Ballerino.

“Krystal seorang Ballerina,” jawab Kaivan dingin.

“Ah, begitu.” Livia mengangguk paham. Dia mendongakan kepalanya, menunjukan wajah anggun dan angkuh. Dia pun selalu memeluk mesra lengan Kaivan.

Krystal memilih mengabaikan kehadiran Kaivan. Dia terus menari mengikuti alunan lagu. Kini sang Ballerino mengangkat tubuh Krystal tinggi dengan tangan kanannya. Pun Krystal mengangkat tinggi kaki kanannya—menyentuh kepalanya.

Suara tepuk tangan terdengar memenuhi ruangan megah itu. Para pengunjung tak henti menatap kagum Krystal yang menari. Sedangkan Kaivan sejak tadi terus memberikan tatapan dingin pada Krystal. Terutama kala pakaian Krystal terlihat begitu seksi.

Saat pementasan berakhir, Krystal dan para Ballerina serta Ballerino menundukan kepala mereka pada para pengunjung—lalu melangkah menuju ke belakang panggung.

“Kaivan, ayo kita pulang,” ajak Livia dengan nada memaksa. Tampak dia tidak suka berlama-lama di tempat itu.

Kaivan mengembuskan napas kasar. Dia langsung bangkit berdiri bersama dengan Livia meninggalkan ruangan megah itu.

Di lobby, Kaivan hendak masuk ke dalam mobil bersama dengan Livia. Namun gerakan Kaivan terhenti kala melihat Krystal muncul seorang diri.

Langkah Krystal pun terhenti melihat Kaivan dan Livia. Tatapannya tersirat tatapan penuh arti. Krystal tetap berusaha untuk memberikan sebuah senyuman ramah seolah Kaivan dan Livia adalah pengunjung yang melihat pementasan baletnya.

“Krystal, apa kamu mau pulang bersama denganku?” Andre—sang Ballerino datang dan tiba-tiba merengkuh bahu Krystal.

Ya, gerakan Andre yang tiba-tiba merengkuh bahu Krystal itu membuat Kaivan terus menatap dingin dan penuh arti.

“Ah, tidak, Andre. Aku pulang naik taksi saja,” jawab Krystal tenang.

“Kamu yakin?” ulang Andre memastikan.

“Iya, aku naik taksi saja. Terima kasih, Andre,” jawab Krystal.

Andre mengangguk. Kemudian melangkah menuju halaman parkir. Di sana Krystal masih berdiri dan di tatapan Kaivan juga Livia. Didetik selanjutnya, taksi datang memasuki lobby. Pun Krystal segera masuk ke dalam taksi itu meninggalkan Kaivan dan Livia tanpa bicara sepatah kata pun.

“Kaivan, ayo kita pulang,” bujuk Livia dengan nada penuh paksaan.

“Kamu pulang duluan. Ada yang harus aku kerjakan. Persiapkan dirimu juga, besok pagi kamu akan terbang ke London. Besok aku akan mengantarmu ke bandara.”

“Tapi—”

Belum sempat Livia berucap, Kaivan sudah mendorong tubuh Livia masuk ke dalam mobil. Lalu dia meminta sang sopir untuk mengantar Livia pulang. Tampak wajah Livia yang terlihat begitu kesal. Namun, Kaivan tidak mengidahkannya wajah Livia yang terlihat kesal padanya. Tak berselang lama, mobil yang membawa Livia pun mulai meninggalkan tempat itu. Sedangkan Kaivan masih berdiri di area lobby kala mobil yang membawa Livia mulai lenyap dari pandangannya.

“Krystal.” Kaivan bergumam pelan dengan sorot mata yang tampak begitu dingin.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel