11. His Doll
Jane melihat ke sekeliling ruangan yang di gunakan untuk menyekapnya, ruangan yang terbilang cukup luas namun hanya di isi sebuah ranjang yang ia tempati. Terdapat dua pintu, pintu utama yang di gunakan untuk keluar selalu terkunci, sementara pinty kedua adalah sebuah kamar mandi. Dan sama sekali tidak ada jendela, hanya dinding polos yang membuat siapa saja bisa mati bosan di sini.
Jane menebak ruangan ini berada di lantai dua, terbukti suara derap langkah yang menaiki tangga dan Jane yakin itu pasti adalah Uncle Dane yang membawakannya sarapan pagi. Jane sudah berada di sini selama 3 jari, sehingga Jane sudah hafal rutinitas Pamannya itu.
Pagi-pagi sekali ia akan membawakan Jane sarapan pagi, saat Dane masuk k3 kamar penyekapannya. Jane harus sudah mandi dan terlihat manis duduk di atas ranjangnya serta mengenakan dress yang di sediakan oleh Dane, imbalannya pria itu tidak akan merantai kedua pergelangan tangan dan kakinya. He said, be a good girl for Uncle...
Sakit jiwa...
Batin Jane, ia sudah seperti boneka milik Daniel yang siap di mainkan kapan saja oleh pria itu. Dress kebesaran berwarna putih dengan motif yang biasanya di kenakan oleh seorang pengantin serta rambut lurus yang telah tersisir rapi, Jane harus menuruti Dane tentu saja jika ia tak ingin tubuhnya menjadi memar.
Pintu terbuka setelah Dane membuka kunci ruangan tersebut, pria itu tersenyum menampakan deretan gigi putihnya kearah Jane seraya membawa nampan makanan berdiri di ambang pintu. Melihat pintu terbuka Jane ingin sekali lari ke sana dengan kencang tanpa menoleh ke belakang, tapi ia sama sekali tidak memiliki keberanian selain menunggu Arthur menolongnya. Ia yakin, cepat atau lambat Suaminya itu pasti akan mencarinya.
"Good girl..." puji Dane, Jane bergidik ngeri mendengar suara bariton yang menggema di ruangan kosong ini. Pria itu berkata seraya tersenyum layaknya orang gila, ingin sekali Jane melepaskan dress yang membuatnya nampak seperti orang bodoh.
Daniel menaruh nampan tersebut di pinggir ranjang lalu menuju kamar mandi guna mencari sesuatu di dalam lemari pakaian, Jane mengernyit bingung. Apa sebentar lagi pria itu akan menyuruhnya berganti pakaian yang lebih bodoh lagi? Sepertinya Pamannya itu harus segera di bawa ke Rumah Sakit Jiwa.
Jane terkejut setelah melihat Dane keluar dengan membawa sebuah lipstik berwarna merah, Jane beringsur menjauh namun lengannya di tarik dengan kuat oleh Dane.
"Shh! Diam Jane, aku hanya menambah sentuhan terakhir padamu" kata Dane seraya mencengkram kedua pipi Jane dan mengoleskan lipstik tersebut meski sang pemilik bibir meronta.
"Nah, cantik kan?" Daniel tersenyum puas, sementara Jane hampir menangis menahan perih di kedua pipinya, belum lagi karena pelecehan pria itu kepadanya.
Ingin sekali Jane mengumpat dan berkata kasar, namun hal tersebut akan membuat Dane marah dan menyakiti dirinya dengan tamparan keras atau jambakan di rambutnya. Sepertinya Jane benar-benar menjadi boneka Daniel yang penurut.
"Makanlah Jane! Aku telah membuat telur mata sapi dengan kentang, serta susu.."
"...karena aku tahu kau sangat menyukai susu bukan?" Tanyanya antusias, sementara di saat-saat penyekapan seperti sekarang ini. Tidak seorangpun yang berniat menelan makanan meski dalam keadaan lapar sekalipun, pikirannya hanya tertuju pada pintu keluar dan berpikir bagaimana caranya untuk kabur.
Hanya itu...
Meski begitu, Jane tetap menelan makanannya dengan berat hati. Takut membangunkan singa pemarah yang emosinya tidak stabil seperti Dane.
"Kau suka masakanku?" Tanyanya lagi, sungguh Jane tidak tahu rasa masakan ini karena lidahnya tidak lagi dapat mencecap rasa. Ia hanya berniat mengisi perutnya tanpa ada kekerasan yang lagi akan di timbulkan oleh Dane.
"Jane, aku bertanya padamu..." katanya dengan kedua tangan bersidekap di depan dada, Jane mengangguk meng-iyakan. Salah jawaban dapat membuatnya menjadi bulan-bulanan Dane, dan Jane sudah sangat tersakiti oleh berbagai penyiksaan yang di lakukan pria itu terhadapnya.
"Arthur pasti memperlakukanmu dengan baik sehingga kau menjadi sepenurut ini Jane, iya kan?" Tanyanya lagi, Jane berharap ia tidak menjadi orang gila. Tidak sebelum dirinya keluar dari sini, tapi tiga hari berada di sini tak kunjung Arthur menemukannya. Apa suaminya itu sadar jika dirinya menghilang? Apa Mary memberitahunya? Bahkan hingga saat ini Jane masih bertanya-tanya bagaimana keadaan Ben.
Terlalu banyak melamun makanan di piring itu telah habis begitupun dengan segelas susu yang di sediakan Daniel, pria berambut gondrong itu masih memerhatikannya sedari tadi sambil tersenyum bangga pada Jane yang telah menghabiskan makanannya.
"Baiklah Jane, karena kau sangat menurutiku. Sekarang maukah kau melihat-lihat keluar?" Tanya Dane menyingkirkan piring dan gelas kotor tersebut dari Jane, seketika kedua mata Jane terbuka lebar. Seperti mendapat sebuah peluang yang besar untuk segera kabur dari tempat ini, mungkin ia bisa saja berteriak meminta tolong kepada orang-orang dan berlari kencang saat pria itu tak menyadarinya.
Berbagai rencana pelarian diri telah berputar di kepala Jane, berharap salah satunya dapat ia lakukan dengan lancar sehingga ia dapat bertemu kembali dengan Arthur dan Ben.
"Tentu Uncle, aku ingin menghirup udara segar" balas Jane antusias, Dane tersenyum miring, seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan untuk bermain-main dengan Jane.
Daniel segera beranjak dari duduknya dan membantu Jane berdiri, wanita itu sedikit kesulitan karena dress bodoh yang membalut tubuhnya ini. Belum lagi lipstik yang menempel di binirnya itu sama sekali tidak teratur dan membuatnya makin terlihat seperti orang bodoh.
Orang bodoh yang di rawat oleh orang sakit jiwa, betapa lengkapnya penderitaan Jane.
Daniel menuntun Jane dengan menarik sebelah tangannya, wanita itu sedikit girang ketika melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu. Kamar yang begitu pengap dengan cahaya minim. Mereka menelusuri lorong, turun dari beberapa anak tangga dan Jane melihat ada sebuah dapur serta ruang TV di bawah sana. Ia mengernyit, ini seperti sebuah rumah batin Jane.
Kedua mata Jane berbinar, ketika dirinya telah tiba di pintu utama dan Dane membukanya begitu saja tanpa ada kunci dan gembok yang tebal.
Pintu terbuka, Jane menghirup udara segar lalu menghembuskan nafasnya seraya tersenyum lebar. Kaki telanjangnya melangkah keluar dan menginjak tanah serta rerumputan, pohon di sekeliling membuat tempat inu begitu asri dan rindang.
Sangking terbuai Jane hampir lupa dengan misi pelarian dirinya, Jane melihat ke belakang dan pria itu hanya berdiri di ambang pintu terus melihat kearahnya. Sangat aneh! Ia melebarkan pandangan, mencari cara agar dapat melarikan diri.
Tapi, begitu sadar jika tempat yang ia huni selama tiga hari ini adalah hutan belantara. Pupuslah semua harapan Jane, bahunya lesu dan ia terduduk di atas rerumputan di sambut baik oleh tawa keras Daniel.
"Kau pikir kau dapat lari dariku Jane? Kau tidak akan bisa kali ini, bahkan Arthur tidak akan pernah bisa menemukanmu meski ke ujung dunia sekalipun..."
"You're gonna be My Submissive forever..." ujar Danie dan dunia Jane seperti runtuh mendengarnya.