Bab 4 Rencana Barata
Pukul enam sore hujan turun begitu derasnya. Jihan kini menutup jendela kamar dan ruang tamu. Setelah selesai dia menemui suaminya di kamar, Jihan menggeleng pelan melihat suaminya telah bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek.
"Neng sini. " Kang Barata melambaikan tangan, meminta istrinya datang. Jihan segera naik ke ranjang, wanita itu melepaskan kemben dan rok jariknya. Pria tampan itu langsung menindih tubuh istrinya dan mulai mencumbunya.
Sore yang dingin menjadi panas akibat percintaan pasangan suami istri ini. Suara lenguhan dan desahan menggema di kala derasnya hujan.
Kang Barata terus menggempur istrinya dengan berbagai gaya hingga empat ronde lamanya yang menghabiskan durasi dua jam lebih.
"Akang, ampun kenapa akang kuat banget sih. " gumam Jihan yang kelelahan setelah melayani sang suami. Barata terkekeh melihat istrinya terkapar tak berdaya, dia mendekapnya dari samping agar tak kedinginan.
"Neng, besok kita ke kampung kamu ya menemui ibu. " ajak Barata tiba tiba.
"Iya Kang. " jawab Jihan sambil tersenyum lebar, wanita itu menciumi dada sang suami membuat Barata menggelinjang geli. Wanita itu langsung pias merasakan sesuatu kembali terbangun, dia menatap horor suaminya yang kini tersenyum miring padanya.
Dan mereka mengulangnya lagi dan lagi seakan tidak pernah bosan untuk melakukan hal itu.
Tengah malam kegiatan panas itu terhenti, Jihan berada dalam pelukan suami perkasanya ini. Barata menciumi pucuk kepala istrinya dengan penuh kasih sayang. "Akang cinta sama kamu neng, hanya eneng yang akan menjadi istri dari akang. " gumam Barata dengan lembut.
Pria itu segera memejamkan kata, menyusup istri nya yang tidur duluan.
Pagi datang begitu cepat, sebelum pergi Barata sempat menghubungi Kang Hardi untuk mengurus usahanya membuat gerabah. Dia telah siap dengan motor, Jihan ke luar dan segera membonceng di belakang. Mereka menyapa warga yang lewat di sana, perjalanan menuju ke kampung Riwangi membutuhkan waktu satu jam melalui jalan raya.
Tiba di rumah ibunya, keduanya langsung turun dari motor. Ibu Lastri ke luar, terkejut melihat putrinya kembali. Wanita paruh baya itu menyuruh mereka masuk ke dalam. Keduanya saling berpelukan melepas rindu, ibu Lastri menciumi wajah sang anak.
"Oh ya Bu,kenalkan ini kang Barata suami aku. " ucap Jihan dengan lembut.
Barata langsung mengenalkan dirinya pada sang mertua. Raut wajah bu Lastri terkejut mendengar siapa nama orang tua Barata. Jihan sendiri mengerutkan kening melihat ekspresi dari ibu nya.
"Bu ada apa, kenapa ibu hanya diam? " tanya Jihan penasaran.
"Kau tahu nak gara gara ayahnya Barata, kita kehilangan bapak kamu. " Bu Lastri menceritakan kisah pilunya dulu pada sang anak. Jihan terhenyak, perempuan itu terdiam saat ibunya mengguncangkan tubuhnya.
"Kepergian Ayah merupakan takdir Bu, bukan salah mendiang ayahnya kang Barata. " ucap Jihan menyakinkan ibunya. Bu Lastri justru berteriak marah pada putrinya, Jihan sendiri telah melakukan hubungan dengan Barata.
Plak
Jihan tak menyangka jika ibunya justru marah besar padanya. Bu Lastri terus menyalahkan Barata dan ayahnya, Jihan menangis tergugu apalagi saat kata kata kasar keluar dari mulut ibunya. Perempuan itu bangkit dan pergi mengambil barang barang pentingnya.
"Enggak bu, kang Barata itu suami sahku dan mana mungkin aku menceraikannya." kekeh Jihan.
"Tapi Ibu akan menjodohkan kamu dengan juragan Aryo. " balas Ibu tak mau kalah. Jihan tetap kekeh dengan pilihannya, Bu Lastri marah dan justru mengusir putrinya itu. Melihat istrinya di maki mertuanya, Barata langsung mengajak Jihan pergi dari sana.
Ismi dan Saras yang melihat kehadiran Jihan menjadi terkejut, mereka telah menyaksikan pertengkaran Jihan dengan Bu Lastri. Keduanya langsung mendatangi Bu Lastri dan menghasutnya agar semakin membenci Jihan.
Kini mereka telah pulang ke rumah Barata, setelah memarkir sepeda motornya, pria itu menyusul istrinya ke dalam. Pria tampan itu mengeratkan pelukannya, meminta maaf atas kesalahan mendiang ayahnya. "Ini bukan salah akang dan
keluarga akang, tapi kepergian bapak memang sudah takdirnya. " gumam Jihan lirih.
"Kenapa Ibu begitu kasar seperti itu, apa benar aku hanya anak pembawa sial untuk ibu Kang. " gumamnya pilu.
"Eneng udah neng, kamu bukan pembawa sial neng. Kehadiran kamu justru membawa hidup akang berwarna, jangan di pikirkan ucapan ibu ya neng. " bisik Barata dengan lembut.
Barata mengepalkan kedua tangannya, melihat istrinya hancur seperti ini membuatnya ikut terluka. Pria itu berusaha menenangkan sang wanita tercinta. Dia ke luar dari kamar dan membuatkan minuman untuk Jihan setelah itu kembali ke dalam kamarnya.
"Sayang ayo di minum dulu biar tenang!
Jihan menyesap teh yang di buatkan suaminya, lalu menaruh gelasnya di atas meja. Perempuan itu mengusap air matanya dengan kasar, hatinya tak baik baik saja saat ini. Ucapan ibunya terus terngiang dalam kepalanya, kecewa tentu saja. Dia menoleh kearah sang suami, Jihan merasa bersalah dan pasti suaminya sakit hati akan ucapan ibu tadi.
"Aku tahu pasti akang sakit hati dengan ucapan ibu tadi, maafin sikap ibu ya
Kang? " pinta Jihan dengan lirih.
"Akang enggak papa neng, maaf karena akang kamu pergi meninggalkan ibu
kamu. " sesal Barata dengan nada sendunya.
Jihan menggeleng, dia melarang suaminya menyalahkan dirinya sendiri. Dia sangat paham bagaimana watak keras yang di miliki ibunya. Wanita itu siap menerima konsekuensinya, apa lagi dirinya telah menikah yang berarti dirinya harus ikut kemanapun suaminya pergi.
"Oh ya neng, siapa itu Juragan Aryo? " tanya Barata penasaran.
"Juragan Aryo itu pemilik perkebunan terluas di kampung eneng Kang, tapi yang aku dengar juragan Aryo telah beristri dan istrinya sedang sakit gitu!
Barata melepaskan kemben istrinya, menyusupkan wajahnya di buah melon wanitanya. Jihan sendiri membiarkannya sesekali melenguh sambil mengusap kepala sang suami. Wanita cantik itu terus bercerita, dia menjerit pelan kala Barata menyentuh daerah rawannya lalu melepaskan jariknya.
Ciuman nya turun ke bawah, lenguhan Jihan kian keras. Barata melepaskan celananya lalu mulai menyatukan tubuh mereka berdua siang itu. Tangan keduanya saling bertautan satu sama lain.
Gerakan itu terus maju mundur namun teratur, suara ketukan membuat Barata segera mengakhiri percintaan panas mereka kali ini. Mereka segera bangun dan membersihkan diri. Setelah selesai mereka ke luar dari kamar, Barata langsung membuka pintu setelah selesai memakai kemeja.
"Eh Pak RT, silakan masuk!
Pak Rt langsung masuk ke dalam, Jihan datang menyedihkan minuman untuk tamu suaminya. Perempuan itu memakai pakaian tertutup dengan selembar kain di bagian atasnya. Jihan ikut duduk di sebelah Barata, memperhatikan obrolan suaminya dengan pak RT.
"Gini pak saya ingin membuat pesta pernikahan kami secara kecil kecilan sebagai bentuk peresmian, bagaimana menurut pak RT? "
" Tentu saja pak Barata, tolong ambilkan berkas berkas istri kamu!
Jihan bangkit, dia pergi ke kamar. Tak lama wanita itu menyerahkan bekas kopian kartu pengenal dan lainnya pada pak RT. Pak RT segera mengambilnya, lalu menyimpannya dalam map serta tak lupa mencatat Jihan sebagai warganya sekarang.
"Memangnya acaranya kapan pak
Barata? " tanya pak RT
"Satu minggu lagi pak. " jawab Barata sambil tersenyum.
Pak RT setuju, dia juga menyarankan agar Jihan ikut dalam kegiatan di kampung sini, tentu saja Jihan setuju. Setelah selesai pria tambun itu menyesap tehnya lalu berpamitan pada Barata dan istrinya.
Setelah kepergian pak RT, Jihan melepaskan kain yang tersampir di pundaknya. Wanita itu menatap suaminya dengan lekat, tak setuju dengan rencana suaminya barusan.
"Neng Jihan sayang, ini hanya pesta kecil sebagai peresmian agar orang orang tak menuduh kita kumpul kebo istilahnya. " ucap Barata memberi pengertian istrinya. Jihan menghela nafas kasar, dia mengangguk setuju dengan keputusan Barata.