Bab 8 Diculik Bocah Bau Kencur
Bab 8 Diculik Bocah Bau Kencur
Gaida terbangun dari tidur lelapnya. Namun, pemandangan yang pertama ia tangkap ialah gelap. Pergerakannya juga seperti dibatasi. Ia mengeong dan meronta-ronta di dalam sak semen yang dibawa oleh seseorang.
Gaida dalam wujud kucing, menggunakan cakar tajamnya untuk merobek sak yang membelenggunya sejak tadi. Setelah sekian lama berusaha, Gaida akhirnya mampu menciptakan lubang di sak. Ia semakin gencar mencakar sak itu hingga lubang dari sak semakin membesar. Gaida melompak keluar dari dalam sak semen tadi.
"Ngeong! Miaw nyaw nyaw!" teriaknya frustrasi. Bahasa itu memiliki arti, "brengsek! Siapa yang menculikku, woy!"
Gaida yang masih dalam wujud kucing, melihat seorang bocah yang berjalan membawa sak tadi. Mungkin bocah itu tak menyadari bahwa kucing yang ia tangkap telah terlepas.
Bocah berusia sekitar 10 tahun itu menoleh ke belakang saat menyadari sak yang ia bawa menjadi ringan.
"Al, kucingnya kabur!" seru bocah lain yang berdiri di samping bocah pembawa sak tadi.
Bocah yang dipanggil Al tadi berbalik dan mengejar kucing berwarna oranye itu. Ia berlari diikuti rekannya.
"Jangan kabur, Pus! Aku akan mengenalkanmu pada kucingku!" seru bocah yang masih berseragam merah putih itu. Namanya Aldo.
Gaida berlari sekuat tenaga. Ia harus kabur dari bocah itu. Apa kata bocah gemuk tadi? Akan mengenalkan Gaida dengan kucing miliknya? Yang benar saja? Siapa juga yang mau pacaran sama kucing! Gaida berseru dalam hati.
Gaida bersembunyi di gang sempit, belakang tong sampah besar. Ia mendengar derap langkah kaki mendekat. Ia semakin meringkuk di belakang tong sampah, agar bocah-bocah tadi tidak mengetahui keberadaannya.
"Sudah ketemu belum kucingnya, Al?"
tanya bocah lain pada bocah yang membawa Gaida dalam sak tadi.
"Nggak ketemu, Ben. Kayaknya kabur." Aldo menyahut. Ia tertunduk kecewa.
"Ya sudah, kita pulang saja yuk, Al! Besok kita cari kucing lain ke pasar saja," ajak bocah yang bernama Beno pada temannya.
"Baiklah, mari kita pulang!" putus Aldo pada akhirnya.
Setelah mendengar langkah kaki kedua bocah itu menjauh, Gaida pun bernapas lega. Ia keluar dari persembunyiannya dengan tatapan waspada.
'Fiuhh! Syukurlah bocah-bocah ingusan itu sudah pergi,' batin Gaida, begitu lega.
Namun, tanpa ia sadari, ada sosok bayangan besar yang berada di belakangnya. Gaida menoleh. Di belakangnya, sudah ada anjing besar berwarna hitam. Air liur anjing itu menetes hingga mengenai ekor panjang Gaida.
"Guk! Guk! Guk!" Anjing itu mengonggong, seketika itu juga Gaida langsung mengambil langkah seribu.
Namun, tak pernah Gaida sangka, anjing itu malah mengejarnya. Ah, sepertinya ia lupa bahwa ia sedang dalam wujud kucing saat ini.
Dengan sekuat tenaga, Gaida lari menghindar dari kejaran anjing. Beberapa menit berlalu, tapi anjing itu tak melepaskan Gaida begitu saja.
Gaida masih terus berlari tanpa arah dan tujuan. Saat di depannya ada pohon jambu air, ia memanjat pohon itu dengan cakar-cakar yang ia miliki. Kini Gaida berpegangan erat di salah satu dahan. Ia mengeong ketakutan.
Di bawahnya, masih ada anjing hitam jenis Great Dane yang memiliki tinggi 32 inci, yang biasanya dipelihara sebagai anjing penjaga rumah. Entah siapa pemilik anjing mengerikan itu, kenapa membiarkan anjingnya perkeliaran bebas? pikir Gaida.
Gaida masih tidur telungkup, tangan dan kakinya memeluk dahan besar. Ini sudah lebih dari puluhan menit, tapi anjing yang di bawah sana tak kunjung pergi. Pegangan Gaida pada dahan besar semakin melemah.
***
Eric pergi ke kantor agensi Pandawa Entertainment. Ini untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di halaman kantor agensi. Selama hidupnya, ia belum pernah masuk ke dalam kantor agensi milik ayahnya itu.
Setelah tercenung beberapa saat di halaman kantor, ia mengurungkan niatnya untuk masuk. Ia berbalik dan pergi dari halaman luas kantor itu. Sebelum kembali mengayuh sepedanya, Eric berbalik dan melihat tulisan besar di bagian atas gedung berlantai 30 itu.
"Pandawa Entertainment." Eric menggumamkan nama itu disertai senyum yang sulit diartikan. Ia mengayuh sepedanya kembali, menjauh dari kantor agensi yang menaungi artis idolanya, Gaida Larasati.
Sepertinya, Eric akan mencari Gaida ke seluruh sudut kota kecuali ke tempat tadi. Di sana sudah pasti ada Rafael dengan tatapan merendahkan yang akan menyambutnya. Ah, Eric begitu muak dengan tatapan itu. Ia lebih memilih menghindar dari pada harus membuat kakaknya emosi tiap kali melihatnya.
Saat sudah mengayuh pedal sepedanya beberapa saat, Eric berpapasan dengan mobil van mewah yang biasa Gaida tumpangi selama ini. Eric langsung menghentikan sepedanya, ia memutar balik dan mengejar mobil van mewah itu.
Beberapa menit telah berlalu, Eric masih mengikuti laju mobil van tadi. Napas Eric sudah ngos-ngosan karena mengejar mobil van tadi. Eric berhenti sejenak, mengatur napasnya yang sudah tak beraturan. Eric mengambil air mineral yang selalu ia bawa di dalam tas punggungnya.
Mobi van mewah berwarna hitam tadi, berhenti di depan sebuah cafe. Eric masih mengawasi itu dari kejauhan. Dari dalam mobil, keluar seorang perempuan berambut panjang dikuncir tunggal. Eric tahu sosok itu. Itu adalah Beby, manager dari Gaida, artis idolanya.
"Mungkinkah Kak Beby akan menemui Gaida?" gumam Eric.
Setelah menstabilkan napasnya, Eric bergegas mendekat. Ia memankirkan sepedanya tepat di belakang mobil van yang dikendarai manager dari Gaida.
Eric memutuskan memasuki cafe, melihat secara jelas siapa yang ditemui manager dari idolanya itu.
Eric duduk di salah satu kursi tak jauh dari Beby berada. Ia menurunkan topi untuk menutupi sebagian wajahnya dan mencoba mencuri dengar.
"Apa kau sudah menemukannya, Pram?" Ini suara dari managernya Gaida. Eric tahu jelas itu. Karena dia satu-satunya berempuan si meja itu. Ada dua lelaki yang duduk di hadapan Manager Beby.
"Anda meninggalkannya di mana, Nona? Kami sudah mencari di lokasi yang Anda tunjuk, tapi tak ada seorang pun di sana," sahut salah satu lelaki tadi.
"Oh iya, kami menemukan pecahan ponsel ini di sana?" Lelaki yang lain berucap.
"Sial! Ke mana perginya dia? Kalau dia sampai melapor pada produser atau malah ke polisi, habis aku!" desis Manager Beby. Dari suaranya terdengar ada nada kecemasan.
Eric masih memasang tajam telinga. Sebenarnya, siapa yang sedang mereka bicarakan? Mungkinkah mereka membicarakan Gaida? pikir Eric.
"Lalu, apa selanjutnya yang harus kami lakukan, Nona?" tanya salah seorang lelaki.
Ekor mata Eric melirik ke arah Manager Beby. Terlihat perempuan itu membisikkan sesuatu.
Eric semakin menajamkan pendengarannya.
Namun, tiba-tiba ada sekelompok pelajar yang memasuki cafe. Mereka saling bercanda dan begitu berisik, hingga Eric tak dapat mendengar lagi percakapan Manager Beby dan kedua lelaki tadi.
"Hassh! Sialan!" geram Eric sembari mengacak-acak poninya. Setelah itu, ia memakai topinya kembali.
***
Rafael dipanggil untuk menemui pimpinan Pandawa Entertainment ke ruang kerja pimpinan. Dengan malas, akhirnya Rafael menuruti. Ia mengerti di sepanjang jalan menuju ruang kerja pimpinan agensi besar ini. Ia memikirkan kemungkinan pasti lelaki paruh baya itu membahas masalah yang itu-itu lagi. Rafael begitu malas tiap kali membicaran bahasan yang selalu saja membuat emosinya membuncah.
Rafael masuk begitu saja ke ruang kerja luas khusus pimpinan. Di ruang luas ini terdapat sofa dan di dekat jendela berdiri sosok lelaki paruh baya yang tentu saja Rafael kenal.
Rafael duduk di sandaran sofa. Ia tidak perlu bersikap sopan pada lelaki paruh baya itu. Salah satu lelaki yang menjadi penyebab ibunya depresi saat itu. Rafael menatap tajam papan nama--terbuat dari kaca--yang berada di meja. Di situ tertulis 'CEO RENO YUDHISTIRA'.
"Anda memanggilku, huh?" ketus Rafael. Ia duduk dengan seenaknya di sandaran sofa sambil memainkan pulpennya.
Sosok lelaki yang sebelumnya berdiri di dekat jendela, kini berjalan tenang ke arah Rafael. Ia tersenyum ramah dan menepuk pelan bahu Rafael.
"Bagaimana kabarmu, El? Kenapa tak pernah pulang ke rumah, eum?" tanya CEO Reno, ramah.
Rafael mengalihkan wajahnya. Ia tersenyum sinis mendengar ucapan pimpinan yang tak lain adalah ayahnya sendiri.
Bersambung ....