Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Kisah Masa Lalu Eric

Bab 5 Kisah Masa Lalu Eric

Gaida tiba-tiba saja diajak oleh managernya ke sebuah bangunan kuno untuk syuting video musik. Namun, ia benar-benar tak menyangka jika managernya tega meninggalkan Gaida di tempat aneh itu. Gaida termaksa bermalam di bangunan yang disebut Istana Kutukan tadi.

Saat hari mulai pagi, Gaida memutuskan untuk pergi berjalan kaki saja keluar dari wilayah aneh dan terkesan angker itu. Ia menggunakan tangan dan kakinya untuk berjalan, karena merasa kakinya sangan pegal jika tak dibantu tangan untuk menopang tubuhnya.

Gaida kini melewati gapura besar dan keluar dari bangunan aneh yang katanya Istana Kutukan itu. Ia terus menuruni jalanan bukit yang begitu sepi itu. Entah ini hanya perasaannya atau apa, tapi dia merasa pohon-pohon di sekitarnya terlihat jauh lebih besar dan tinggi.

Gaida mendengar ada suara kendaraan dari arah jauh. Ia berencana menghentikan kendaraan itu dan menumpang hingga ke jalan raya. Gaida menghadang kendaraan, yang ternyata jenis truk, dengan berdiri di tengah jalan.

Ckiittt!

Suara decitan rem terdengar begitu memekakkan telinga. Gaida sampai terlonjak dan refleks melompat ke samping karena itu.

Gaida menggerutu, memangnya sopir itu tak melihat orang sebesar dirinya? Hampir saja tadi ia tertabrak truk jika telat menghindar, pikirnya.

Sang sopir truk menyembukan kepalanya ke jendela truk.

Ia menatap tajam sambil berteriak, "Woy! Kucing sialan! Kau ingin mati, hah?"

Teman di sebelahnya menyahut. "Kau sudah gila? Untuk apa berbicara dengan kucing, hah? Ayo, kita lanjutkan perjalan!"

Sang sopir truk akhirnya menuruti saran temannya. Ia kembali menginjak gas dan berlalu meninggalkan Gaida sendiri di pinggir jalan.

Gaida begitu geram dengan julukan yang diberikan sopir truk tadi. Apa katanya tadi? Kucing sialan? Yang berhak menjuluki Gaida sebagai 'Kucing Betina' hanyalah Rafael, batin Gaida.

Sepertinya, sekarang ini sudah jarang orang peduli dengan sesama. Di sepanjang jalan, Gaida merutuki sopir truk tadi. Begitu bodohnya lelaki tua itu hingga mengabaikan pesona yang terpancar dari sosok Gaida Larasati. Gaida bersumpah dalam hatinya jika bertemu paman-paman itu lagi, ia akan memberi mereka pelajaran.

Setelah berjalan beberapa menit, Gaida melihat mobil pick up berhenti di pinggir jalan tak jauh darinya. Gaida melihat sekilas ke semak belukar yang berada di sisi kiri jalan. Di sana ada seorang pria yang menghadap pohon. Gaida sontak mengalihkan wajah, tapi ia sudah terlanjur melihat kegiatan pria itu. Benar, pria itu--sepertinya mobil pick up--tengah memenuhi panggilan alam di bawah pohon besar.

'Cih! Tidak punya sopan! Buang air kecil sembarangan!' batin Gaida kembali.

Saat pria tadi masih menyelesaikan tugasnya, Gaida naik ke belakang mobil pick up. Ia melompat begitu lincah. Gaida merasa tubuhnya begitu ringan saat ini, mungkin dietnya berhasil. Ia memilih meringkuk di antara sayuran yang pria itu bawa di mobil pick up-nya.

Setelah beberapa saat, mobil pick up kembali melaju. Gaida mengembuskan napas lega setelahnya. Ia terus-terusan mengusap hidung dan menjilati punggung tangannya. Entah demi apa, Gaida pun tak tahu. Yang jelas kegiatan itu begitu menyenangkan baginya kini.

***

Saat itu hujan begitu deras. Petir menyambar disertai guntur adalah yang paling Eric ingat. Semuanya masih tergambar jelas dalam ingatannya. Kejadian yang membuat Eric terjebak di situasi yang bahkan ia pun tak mampu untuk pergi atau menghindar. Pilihannya hanya satu, Eric harus menjalani apa yang sudah tergariskan untuknya ini.

Tuan Reno Yudhistira memasuki kediamannya bersama seorang bocah berusia 10 tahun, dialah Eric polos yang tidak tahu apapun. Tuan Reno menganyun-ayunkan gandengan tangan bocah tersebut. Ketika berada di ruang tamu, Tuan Reno menghentikan langkah sejenak. Ia berjongkok di hadapan bocah tadi sambil memegang kedua bahunya.

"Eric, mulai sekarang, ini adalah rumahmu. Semua yang ada di sini juga milikmu. Satu lagi, panggil aku 'ayah', mengerti?"

Eric hanya mengangguk. Sebenarnya ada puluhan pertanyaan yang ingin ia utarakan, tapi ia kesulitan mengungkapkan itu semua. Tak tahu memulainya dari mana. Tak tahu akibatnya jika ia melontarkan pertanyaan itu.

Setidaknya, saat ini Eric sudah bisa bernapas lega, keluar dari panti asuhan yang memiliki cerita menyeramkan di dalamnya. Tak ada yang tahu rahasia di dalam panti asuhan itu. Dan ia akan menutup mulutnya hingga mati, tak akan menceritakan semua derita selama di panti asuhan. Eric yang masih berusia 10 tahun sudah menanggung beban berat di pundaknya.

Ketika ada yang mengulurkan tangan dan membawa Eric keluar dari tempat seram berkedok panti asuhan itu, Eric bernapas lega.

Saat itu, Eric hanya memilih diam. Ia bersumpah akan menuruti apapun perintah lelaki yang menamai dirinya 'ayah' itu. Eric juga tak akan pernah ia menceritakan segala kejadian yang ia lalui selama di panti asuhan itu kepada keluarga barunya.

Prang!!

Terdengar suara benda pecah, seketika Tuan Reno dan Eric menoleh ke sumber suara. Dilihatnya, seorang wanita terlihat mengeram marah. Raut mukanya terlihat begitu menyeramkan.

"Kau! Beraninya kau membawa anak sialan itu ke ruma hku, Reno!" jerit nyonya itu , frustrasi. Ia mengambil serpihan gelas yang pecah. Mengacuhkannya tepat ke arah Tuan Reno dan Eric.

Eric membeku di tempat. Tubuhnya gemetar ketakutan. Ia tak mengenal wanita itu.

"Apa maksudnya ini, Reno?! Kau membawa anak sialan dari pengkhianatanmu waktu itu, hah?" Satu-satunya wanita yang berada di ruangan ini kembali berteriak. Eric tidak tahu siapa tante itu, tapi dia terlihat begitu menyeramkan di mata Eric.

"Sayang, dengarkan dulu penjelasanku! Aku tidak dapat menelantarkannya begitu saja. Dia juga darah dagingku," ujar Tuan Reno, berdiri beberapa langkah di hadapan wanita tadi, mungkin istrinya pikir Eric. Eric belum terbiasa memanggil lelaki itu ayah, sebelumnya ia memanggil dengan 'Tuan Reno' saja.

"Lalu, apa arti Rafael bagimu, hah?" bentak istri Tuan Reno kembali.

"Kau bicara apa, Erina? Tentu saja Rafael itu putra sulungku, tapi," Tuan Reno memandang Eric yang masih berdiri di belakangnya, "Eric juga putra bungsuku."

"Persetan dengan semuanya, Reno! Sekarang putuskan! Usir anak haram itu, atau aku dan Rafael saja yang pergi dari rumah ini!" sentak nyonya yang dipanggil Erina tadi. Ia juga masih mengacungkan pecahan gelas, siap melu kai suami dan Eric yang disebut sebagai anak haram tadi.

Eric tak menampilkan ekspresi apapun, telinganya sudah kebal mendengar cemooh-cemoohan orang akan dirinya. Sejak kecil banyak julukan yang ia sandang. Mulai dari anak buangan, anak terkutuk, anak pembawa sial, hingga anak haram sekalipun. Eric sudah kenyang mendengar semua cemoohan itu. Namun, meski begitu tubuh Eric masih gemetaran saat ini. Ia bahkan mengigit bibir bawahnya karena rasa sakit yang tiba-tiba menghujam dada. Eric memilih diam, memperhatikan kembali percakapan orang-orang dewasa itu.

"Jangan memberiku pilihan sesulit itu, Sayang. Kita bisa membicarakannya." Tuan Reno berjalan mendekat. Saat ia rasa istrinya sudah lebih tenang, ia membuang pecahan gelas yang berada di genggaman istrinya. Ia menarik wanita tadi ke dalam pelukan. Memeluknya begitu erat.

Tante yang dipanggil Erina tadi meronta, ia memukul-mukul dada suaminya. Tangisnya pecah dan terdengar begitu memilukan. Seperti tangis kekecewaan. Di tengah isak tangisnya, wanita itu masih sempat mengutuk Eric kembali.

"Buang anak terkutuk itu ke tempat asalnya, Reno! Aku tidak suka melihatnya di hadapanku huhuhu," teriak wanita tadi yang masih jelas Eric dengar.

Pada akhirnya, Tuan Reno memilih mengajak istrinya pergi dari hadapan Eric. Mereka menuju ke lantai atas. Setelah beberapa saat, terdengar kembali keributan dan benda-benda pecah dari lantai atas. Eric memandang ke atas dengan tatapan kosong.

Eric menangkap bayangan sosok remaja yang entah sejak kapan berada di belakang pilar, tak jauh dari Eric berada.

Eric berjalan ke arah remaja itu. Usianya terlihat lima tahun lebih tua dari Eric. Ia menatap Eric dengan tatapan dingin dan mengancam.

Mengabaikan rasa sakit yang masih menghujam dada, Eric berusaha menyapa remaja tampan itu. Eric mengulurkan tangannya.

"Hai, Kakak! Namaku Eric, mau berteman denganku?" sapa Eric, menampilkan senyum yang begitu menggemaskan.

Remaja yang berada di hadapan Eric masih terdiam. Napasnya memburu seperti menahan amarah. Ia mendorong Eric dan sengaja menjatuhkan Eric ke pecahan gelas yang masih berserakan di lantai.

"Jangan memanggilku 'kakak', Sialan!" bentak remaja itu.

Eric mengadu kesakitan karena kedua telapak tangan yang ia jadikan sanggahan ketika ia jatuh, tertusuk beberapa pecahan beling. Eric mencabuti beling-beling yang menusuk telapak tangannya. Saat ia mencabuti beling itu, darah menetes mengalir hingga ke pergelangan. Ia sama sekali tak mengeluh. Ia bersumpah tidak akan menangis seberapa berat pun kehidupannya. Menangis pun akan percuma. Tak akan ada yang mempedulikan tangisannya.

Eric bangun gelagapan saat mendapati mimpi tentang masa lalunya itu. Keringat dingin bercucuran dari pelipisnya. Ia tersenyum setelah itu. "Kheh! Kehidupan yang konyol," gumamnya, menertawakan nasibnya sendiri.

Bersambung ....

_________

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel