Bab 4 Keluarga Eric
Bab 4 Keluarga Eric
Gaida duduk di salah satu batu besar yang berada di tengah-tengah paviliun. Entah apa fungsi batu ini, Gaida tak tahu. Kenapa bisa ada tiga batu besar berukuran sama di tengah paviliun seperti ini? pikirnya.
Tanpa Gaida sadari, di batu itu tertulis sebuah tulisan 'Ki Jaga Bumi'.
"Sialan si Beby itu! Berani sekali dia meninggalkanku di sini! Awas saja nanti! Aku akan memberinya hukuman!" geram Gaida sembari menghentakkan kakinya ke tanah.
Petang mulai menyongsong. Langit yang sebelumnya gelap karena mendung, kini terlihat semakin gelap. Hawa dingin juga semakin menusuk hingga ke tulang.
Gaida kembali merasakan perasaan aneh. Bulu halus di tengkuknya meremang. Ia mengusap kasar kedua lengannya. Gaida mengambil ponsel, tapi tak ada sinyal sedikit pun. Dia pun ingat, tempat ini memang berada di atas bukit. Bahkan, ia tadi menggunakan mobil gunung untuk sampai ke tempat ini.
"Aasshh! Sialan! Ke mana perginya si Beby gila itu?" Gaida bangkit sambil memijit dagunya.
"Apa jangan-jangan ... dia sengaja meninggalkanku?" Gaida melotot saat memikirkan kemungkinan itu.
Gaida berjalan mondar-mandir saat ini, mencari sinyal agar bisa menghubungi seseorang dan memberi tahu keberadaannya.
Saat sibuk berjinjit untuk mencari sinyal, tanpa sengaja Gaida tersandung salah satu dari ketiga batu besar tadi. Bahkan suara 'Dugh!' terdengar saat lutut Gaida saat menabrak batu itu.
Gaida begitu kesal, ia menendang batu yang ia tabrak tadi.
"Brengsek! Siapa yang menaruh batu di sini, woy!" teriaknya geram.
Angin tiba-tiba berembus kencang kembali. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya hingga membuat Gaida menutup mata. Sontak juga ponsel terjatuh dari genggamannya.
Saat membuka mata, Gaida tersentak saat melihat ponselnya sudah hancur. Layarnya retak, baterai dan penutup belakangnya berserakan di tanah. Padalah tadi ia merasa menjatuhkannya pelan.
Gaida memungut kembali ponsel. Memasukkan baterai dan menyalakannya, tapi tidak bisa.
"Brengsek! Kenapa lagi ini ponsel!" geram Gaida sembari menendang batu besar yang ada di hadapannya kembali.
"Gara-gara batu sialan ini, lutut dan ponselku jadi korban!"
Ctar!!
Tiaarr!!
Kilatan cahaya sesaat terlihat menyilaukan mata dari langit. Disusul suara gemuruh yang juga terdengar begitu memekakkan telinga. Setelah itu hujan turun deras membasahi bumi.
Kilatan petir dan suara guruh semakin terdengar bersahutan di langit.
Gaida merasakan perasaan aneh. Jantungnya berdegup sangat kencang, lebih dari biasanya. Tubuhnya menggigil kedinginan. Ia beringsut, duduk dan berbaring di tanah. Meringkuk memeluk lutut. Matanya tiba-tiba terasa berat dan detik berikutnya semua menggelap.
**
"Eric, bagaimana kuliahmu?" tanya seorang lelaki paruh baya yang duduk di sebelahnya. Dia adalah Tuan Reno Yudhistira, ayah dari Eric. Mereka tengah makan malam bersama di meja makan saat ini.
Eric mengangguk singkat.
"Hmm, baik-baik saja, Ayah," sahut Eric.
Tuan Reno melihat kursi kosong di sebelah kanannya. Ia berada di ujung meja makan, sedang Eric berada di sebelah kirinya.
Mata Eric terfokus juga ke arah yang dilihat oleh ayahnya. Di sana biasanya putra sulung keluarga Yudhistira berada. Dan di tempatnya duduk ini, dahulunya selalu diduduki nyonya dari keluarga ini.
"Kakakmu tidak pernah pulang ke rumah?" tanya Tuan Reno. Ia sembari terus menikmati hidangan makan malam yang disiapkan pembantunya.
Eric tak langsung menjawab. Ia minum sejenak dan kembali melahap makanannya.
"Bukankah Ayah yang dulu mengajarkan untuk tidak berbicara di meja makan, eum?"
Tuan Reno tersentak. Ia tak pernah menyangka jika sikap putra bungsunya jadi dingin seperti ini.
Sebenarnya, Tuan Reno ingin sekali memahami perasaan kedua putranya, tapi pekerjaan sudah menyita banyak waktunya.
Kini suasana di ruang makan kembali hening. Tak ada yang berucap, hanya terdengar denting sendok, garpu dan piring yang saling beradu. Mereka tenggelam dalam pemikirannya masing-masing.
Tuan Reno kembali memandang kursi yang berada di sisi kanannya. Biasanya ia akan mendengar putranya selalu bercerita mengenai apapun yang terjadi di sekolahnya saat kecil. Waktu begitu cepat berlalu, putranya tengah tumbuh menjadi pria dewasa.
Ah, mungkin bukan gara-gara putranya beranjak dewasa ia bersikap berubah. Lebih tepat putra sulungnya berubah sejak ia membawa Eric ke keluarganya.
Tuan Reno beralih melihat Eric yang saat ini tengah menikmati makan malamnya. Ini semua bukan salah bocah itu. Bahkan, Tuan Reno membawa Eric ke keluarga ini saat usia Eric baru berusia 10 tahun.
Kesalahan apa memang yang dilakukan bocah berusia dini seperti itu? Semua ini murni kesalahan dirinya.
"Baiklah, aku sudah selesai makan malamnya, Ayah. Aku permisi ke kamar dulu untuk belajar," ujar Eric sembari bangkit dari duduknya.
Tuan Reno menyuruh Eric untuk mendekat ke arahnya. Ia mengusap lembut rambut putra bungsunya.
"Terimakasih karena sudah bertahan selama ini, Nak! Pasti berat untukmu, kan?" ucap Tuan Reno, lembut.
Eric menggenggam lengan ayahnya, lantas berucap, "aku bisa bertahan lebih dari ini, Ayah. Anda tidak perlu khawatir! Suatu saat nanti, aku yakin akan bisa mendapatkan pengakuan dari kakak." Eric tersenyum di sisi ayahnya.
Tuan Reno bangkit. Ia memeluk putra bungsunya, menepuk pelan punggung itu. "Ayah yakin padamu. Kau adalah orang yang begitu kuat seperti ibumu," ujar Tuan Reno.
Eric melepaskan pelukan ayahnya karena merasa sedikit risih.
Tuan Reno menatap mata indah di balik kacamata tebal putranya. Mata dengan iris warna serupa dengan iris mata wanitanya itu begitu indah.
"Eric, ayah mohon kuliahlah dengan benar. Pandawa Entertainment akan kamu dan kakakmu urus untuk ke depannya."
Eric menampilkan senyuman sinis.
"Aku tidaklah berhak akan semua itu, Ayah. Jadi, jangan buat hubunganku menjadi lebih buruk dengan kakak. Tidak usah memberiku posisi apapun di agensi."
Setelah berucap seperti itu. Eric pergi begitu saja meninggalkan ruang makan. Pikirannya selalu kacau jika membahas tentang kakaknya atau pun segala hal mengenai label menejeman artis milik ayahnya itu.
Semua itu begitu memuakkan baginya. Tiap mendengar itu seolah luka-luka Eric semakin menganga dan terasa perih.
Ah, Eric benar-benar ingin terlepas dari semua itu. Namun, ini adalah takdir yang harus ia jalani. Meski tatapan merendahkan kerap kali ia terima dari sorot mata kakaknya. Eric mencoba ingin terus bertahan. Ia akan mencoba sampai di mana batas kesabarannya.
Melupakan sejenak problem hidupnya, Eric kini bergelung di tempat tidur. Entah kenapa, beberapa kilasan masa lalu muncul dalam ingatannya. Tubuh Eric tiba-tiba menggigil ketakutan.
**
Kicauan burung membangunkan Gaida dari tidurnya. Ia mengucek mata sejenak, masih enggan untuk bangun. Ia masih tiduran di tanah kemudian menggeliat sejenak, merilekskan otot-otonya yang dirasa kaku.
Gaida kembali mengucek matanya dan melihat sekeliling. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi.
Ah, benar ia ingat perlahan. Ia pergi ke atas bukit bersama managernya untuk syuting video musik. Namun, ia malah ditinggalkan di tempat aneh ini oleh managernya.
Saat menjelang malam, tiba-tiba terjadi hujan disertai petir dan guntur. Setelah itu, Gaida tertidur dan baru bangun pagi ini.
Gaida merasa cacing-cacing di perutnya sedang mengadakan konser. Ia bahkan tidak makan malam kemarin. Ia harus menuntut managernya untuk bertanggung jawab atas kesialan yang menimpanya ini.
Gaida melihat tangannya yang entah kenapa tiba-tiba terlihat begitu menggiurkan itu. Gaida menjilati punggung tangannya, rasanya aneh tapi tidak tahu kenap itu terlihat enak di lidahnya. Gaida kembali menjilati punggung tangan satunya. Setelah itu, ia mengusap-usap hidungnya yang gatal.
Gaida tidak dapat berdiam diri saja. Ia harus keluar dari tempat ini sekarang juga. Ia berjalan menggunakan kaki. 'Ah, kenapa tiba-tiba kakiku begitu pegal, ya?' batinnya.
Pada akhirnya, ia memutuskan untuk merangkak agar beban tubuhnya dapat ditumpu oleh tangan dan kaki. Hmm, begini tidak buruk juga, pikirnya.
Gaida menggunakan tangan dan kakinya untuk berjalan. Ia melewati gapura besar dan keluar dari bangunan aneh yang katanya Istana Kutukan itu.
Gaida terus menuruni jalanan bukit yang begitu sepi ini. Entah ini hanya perasaannya atau apa, tapi dia merasa pohon-pohon di sekitarnya terlihat jauh lebih besar dan tinggi.
Gaida mendengar ada suara kendaraan dari arah jauh. Ia berencana menghentikan kendaraan itu dan menumpang hingga ke jalan raya.
Ckiittt!!!
Bersambung ....