Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Keseharian Eric di Kampus

Bab 3 Keseharian Eric di Kampus

Hari ini dilaksanakan ujian tengah semester. Seperti kebanyakan di kampus lain, di sini pun akan gaduh ketika waktu mengerjakan soal tinggal beberapa menit. Apalagi petugas TU tengah keluar saat ini.

Eric mengikuti ujian mata kuliah Teknik Dasar Penyutradaraan.

"Psstt! Yuna pilgan nomor lima sampai dua puluh," bisik Arjun pada Yuna yang berada di bangku sebelah kanannya.

Yuna menunjukkan kertas jawaban. Hanya beberapa nomor yang terjawab.

Pandangan Arjun beralih ke arah Bima yang duduk di belakang Yuna.

"Psstt! Bim, Bima!"

"Kertas jawabanku masih bersih, Jun. Karena kata orang 'bersih itu indah'. Hehehehe," jawaban Bima, sudah tahu maksud Arjun memanggilnya tadi.

"Dewa! Jawabannya nomor—“

Belum sempat Arjun menyelesaikan kalimatnya, ia sudah diberi tatapan tajam oleh Dewa dengan mata beriris hitam kelam itu.

"Tidak boleh, Jun! Kata ayah gak boleh nyontek kalau ujian!" ketus Dewa dengan suara yang coba ia lirihkan sebisa mungkin.

"Psstt ... Arjun! Coba lihat belakangmu, Jun!" bisik Yuna sambil menunjuk ke arah Eric.

"Kelihatannya Eric tenang sekali. Mungkin dia bisa jawab semua soalnya," lanjut Yuna.

Arjun menghela napas panjang. Gengsi sekali dia jika harus meminta bantuan pada pemuda culun bernama Eric itu. Ah, tapi situasi ini benar-benar mendesak.

Pada akhirnya, ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, dan memundurkan bangkunya sedikit ke belakang. Ia menoleh dan berucap lembut, "Eric?" "Heum?" sahut Eric.

"Soal yang kemarin, maaf, ya?" ujar Arjun, sok akrab

"Oke, lupakan saja!" putus Eric.

"Jadi, apa aku boleh menyalin lembar jawabanmu?" tanya Arjun. Ia berucap sambil menampilkan wajah memelas seperti orang meminta sumbangan.

Arjun menaruh banyak harapan pada pemuda yang selama ini ia rundung itu. Selama ini, Eric terlihat seperti kutu buku. Ia jarang bergaul dengan teman sejurusannya.

Eric lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan. Itu semua yang membuat Arjun yakin bahwa pasti jawaban Eric banyak yang benar.

Eric terlihat diam seolah memikirkan sesuatu. Detik berikutnya, ia memutuskan untuk memberikan lembar jawabannya kepada Arjun untuk disalin.

Arjun menerimanya dengan gembira. Ia seolah mendapat peluang untuk mewujudkan mimpinya sebagai sutradara.

"Tapi, kalau banyak salahnya jangan salahkan aku lho, Jun!" Eric berujar.

Arjun tak menggubris saat Eric memperingatkannya. Ia terlalu fokus menyalin lembar jawaban Eric pada lembar jawabannya.

Setelah beberapa menit, akhirnya Arjun sudah menyalin semua jawaban Eric. Ia mengembalikan kertas jawaban Eric dan menghembuskan napas lega.

"Bim, lihat itu si Arjun!" bisik Dewa pada Bima yang berada di bangku depannya. "Sepertinya dia sudah mengerjakan semua soalnya."

Bima menoleh ke arah Arjun yang berada di bangku samping kirinya. Terlihat Arjun yang sudah santai sambil menaruh kepalanya di bangku. Arjun, Dewa dan Bima adalah sahabat karib sejak lama.

"Huus, mempercayai Arjun bisa mengerjakan semua soal itu sama halnya mempercayai adanya naga. Sama-sama MITOS!" ucap Bima sambil melirik ke arah Arjun.

"Oi, apa-apaan kalian?! Kalian sedang membicarakanku, huh?" bentak Arjun. Ia menatap heran ke arah Bima dan Dewa.

"Nggak, Jun Sialan!" teriak Dewa frustasi sambil mengunyah kertas soalnya. Kelakuan Arjun yang sok pintar itu semakin membuatnya kesal.

"Sadewa?! Jangan buat ribut!" tegur Pak Dosen yang mengawasi ujian dari ambang pintu.

Dewa kembali ke posisi duduknya dengan tenang. Ia mengangguk pelan. "Baiklah, Pak."

***

Tak seperti hari-hari biasanya, saat ujian seperti ini, mahasiswa dan mahasiswi pulang lebih awal. Seperti biasanya Dewa dan Bima selalu menebeng mobil Arjun.

"Hasshh ... kenapa soalnya tadi sulit sekali? Ini menyebalkan!" gerutu Arjun di balik kemudi.

"Bagaimana dengan kalian?" Arjun melirik ke arah jok belakang, tempat Bima dan Dewa berada.

"Cukup sulit memang, tapi untungnya aku sudah belajar dengan sistem kebut semalam." Dewa menjawab dengan santai sambil merilekskan tubuhnya di sandaran kursi.

"Kalau aku menggunakan cara klasik," sahut Bima.

"Heh? Cara klasik? Maksudnya?" tanya Dewa keheranan.

"Iya cara klasik. Menghitung kancing, buwahahahaha," tawa nista Bima yang dibalas tatapan horror dari Arjun dan Dewa.

"Dasar bocah bodoh!" gerutu Dewa yang tentu saja terdengar sampai ke telinga Bima yang berada di sebelahnya.

"Kau mengataiku ya, Setan?!" Bima mencengkeram rahang Dewa.

"Namaku Dewa bukan setan!" bentak Sewa sambil menjambak rambut agak panjang Bima dengan kejam. Dan mereka terlibat pertikaian yang tak berguna seperti biasanya. Namun, beberapa menit kemudian mereka sudah berbaikan. Sungguh kekanakkan.

Arjun masih tenang dalam posisinya, mendengarkan keributan dari jok belakang. Ia begitu yakin dengan jawabannya yang menyalin jawaban Eric tadi. Pasti nilainya bagus.

***

Setelah pulang kuliah, Eric langsung menuju tempat lokasi di mana Gaida akan melakukan syuting video musik. Butuh pengorbanan untuk mendapat alamat ini. Ia bahkan harus merelakan uang jajannya demi membeli informasi ini.

Saat ini Eric sudah sampai di tempat lokasi. Ia datang ke sini naik sepeda gunung tadi. Lokasinya cukup jauh. Ini terletak di puncak bukit.

Di area luas dengan bangunan-bangunan kuno itulah akan dilakukan syuting video musik Gaida dengan judul lagu 'Cinta Tragis'.

Lokasi ini biasanya juga digunakan untuk syuting serial laga kolosal oleh PH-PH besar. Meski terkenal dengan keindahannya, tapi kawasan ini juga mempunyai sisi mistis.

Eric melihat semua kru tengah mempersiapkan semua peralatan. Ia bersembunyi di balik gapura besar, mengawasi kegiatan mereka. Matanya awas memandang ke seluruh penjuru, mencari keberadaan sosok bidadari yang turun dari Surga, begitu para fan fanatik Gaida menyebut gadis itu.

"Ke mana Gaida? Kenapa belum datang juga?" tanya seseorang pada lelaki yang tengah membenarka lighting.

"Entahlah, Pak Sut. Aku sudah mencoba menghubungi managernya, tapi dia bilang masih ada di jalan."

"Sial! Semua sudah siap, tapi Gaida malah belum datang. Anak itu benar-benar tak tahu diri jadi artis. Aku sangat benci perangainya," gerutu lelaki yang dipanggil Pak Sut tadi.

Eric mencuri dengar percakapan mereka. Eric menggeram marah saat mendengar ada orang yang berani mengolok Gaida-nya, tapi ia coba meredam itu.

Hari sudah menjelang malam, tapi artis yang ditunggu-tunggu oleh semua orang di situ tak kunjung hadir. Mereka saling bertanya keberadaan Gaida, tapi tak ada seorang pun yang tahu.

"Bagaimana ini, Pak Sutradara? Aku ada jadwal lain setelah ini," ujar Yuji, aktor yang akan muncul di MV itu.

Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Pak Sutradara memutuskan, "baiklah, kita ambil gambar adegan Yuji dan Mikha dulu. Kita lewati bagian Gaida. Besok kita lakukan sisanya bersama Gaida."

Setelah mendengar keputusan sutradara, semua kru bersiap di tempatnya masing-masing.

Eric masih setia menunggu kedatangan Gaida hingga proses syuting selesai hingga jam 7 malam. Semua kru bergegas pulang. Tak terkecuali Eric. Ia pulang dengan perasaan kecewa. Gagal sudah ia mengambil moment di balik layar pembuatan MV Cinta Tragis. Padahal kalau diposting di channel yutubnya, bisa membalikkan modalnya tadi.

"Aku harus meminta ganti rugi pada admin sialan itu!" gerutu Eric sembari terus mengayuh pedal sepedanya.

***

Di tempat lain, Gaida terbangun di tengah ruangan gelap, pengap dan lembab. Ia melihat sekeliling ruangan, tapi tak ada siapa pun. Ia mengambil senter yang tergeletak tak jauh darinya.

Ia mengusap keningnya yang memerah, entah terantuk apa tadi. Gaida mencoba mengingat-ingat.

Ah iya, dia ingat saat ini. Siang tadi, ia bersama managernya pergi untuk syuting MV. Saat memasuki salah satu ruangan di Istana Terkutuk itu, tiba-tiba saja Gaida dikagetkan dengan suara lengkingan nyaring. Setelah itu, Gaida merasa ada yang memukul tengkuknya hingga ia jatuh pingsan.

"Sialan! Kenapa aku harus mengalami ini semua, coba?" Gaida menggerutu.

Ia mencoba bangkit dan menyadari sesuatu. Ia segera berlari ke luar ruangan. Mata Gaida membola saat tak melihat lagi mobil beserta managernya tak berada di luar gerbang. Ia mengumpat sekenanya. "Manager sialan! Tak tahu diri! Berani sekali dia meninggalkanku! Huwaakkkhh, Bedebah!" teriaknya begitu nyaring.

Brak!

Lagi-lagi terdengar suara pintu yang menutup dan membuka. Gaida tak berani menoleh. Ia memilih untuk pergi dari istana itu dan berlari ke sebuah paviliun yang berada di sisi Utara istana.

Gaida duduk di salah satu batu besar yang berada di tengah-tengah paviliun. Entah apa fungsi batu ini, Gaida tak tahu. Kenapa bisa ada tiga batu besar berukuran sama di tengah paviliun ini.

Tanpa Gaida sadari, di batu itu tertulis sebuah tulisan 'Ki Jaga Bumi'.

Bersambung ....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel