Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 17 Kenangan Rafael

Bab 17 Kenangan Rafael

“Kau tidak punya hak untuk menolak perintahku, Bodoh! Buka pintu kamarmu! Sekarang!” Rafael berteriak penuh penekanan. Sekian detik ia menunggu untuk Eric membukakan pintu untuknya, tapi sepertinya, Eric masih kekeh untuk tidak membiarkan Rafael mengetahui privasi pemuda itu.

Rafael tidak tahan lagi. Didorongnya tubuh Eric ke samping hingga Eric jatuh terjerembab. Ia langkahkan kakinya memasuki kamar yang Rafael rasa punya hawa-hawa aneh itu. Saat baru memasuki kamar Eric, pemandangan yang tertangkap oleh mata kelam Rafael adalah poster besar seorang wanita yang ia kenal. Benar, poster seksi Gaida Larasati terpampang nyata di depannya.

Rafael menutup mulutnya agar Eric tak melihat jika ia mengulas senyum saat ini. ‘Inikah yang disebut bocah itu sebagai privasinya?’ batin Rafael.

Rafael mundur beberapa langkah dan kembali menutup pintu kamar Eric, pelan. Ada rasa menyesal saat ini. Kecurigaannya tadi seolah tak berdasar. Ia melihat Eric yang masih duduk di lantai, bersandar pada tembok. Rafael melewatinya begitu saja.

Eric sudah siap menerima segala amarah kakaknya. Entah sudah berapa macam doa yang ia panjatkan tadi agar Rafael tak menghajarnya karena menyimpan kucing. Namun, apa-apaan itu? Kenapa kakaknya tak berteriak dan kini malah melewatinya begitu saja. Eric penasaran. Ia bangkit dan menahan lengan kakaknya.

“Tu-tunggu! Kak El enggak marah?” tanya Eric, terbata.

Rafael berbalik sejenak. Ia menatap tajam tangan Eric yang berada di lengannya.

Eric menyadari itu, ia buru-buru menarik tangannya dan bertindak seolah membersihkan jas Rafael. Ia sadar, ia dianggap sebagai kuman selama ini oleh kakaknya itu. Tapi sungguh, Eric tak pernah peduli tentang apapun itu. Ia tak peduli pandangan orang lain akan dirinya.

Rafael terlihat membenarkan jasnya. Ia masih membelakangi Eric. “Untuk apa aku harus marah hanya karena kau memasang poster artisku, eum?” ujar Rafael. Setelah itu ia berlalu, pergi menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Eric mengangguk, mengerti. Ia melihat punggung Rafael yang semakin menjauh. Ia begitu mengagumi sosok itu. Jika Gaida adalah idolanya, maka Rafael adalah panutan bagi Eric.

Sekian detik Eric mengagumi sosok kakaknya itu, tanpa sadar ada yang terlewatkan olehnya. Eric baru menyadari setelah ia masuk ke kamarnya. Eric menepuk jidatnya dan berlari ke arah jendela. Dilihatnya kucing oranye itu tengah berjalan menuju gudang belakang. Eric mengelus dadanya.

“Syukurlah! Kakak tak sempat melihatmu, Puss,” gumam Eric, lega.

**

Rafael berada di kamarnya saat ini. Ia berjalan ke arah nakas dan membuka salah satu laci. Diambilnya sebuah album bersampul biru dari situ. Rafael membawa album itu dan duduk. Dibukanya tiap lembar album berisi foto-foto yang berkisah masa lalunya. Di antara belasan foto itu, mata Rafael terfokus pada foto seorang perempuan memakai dress pendek dan topi pantai. Foto yang sama dengan poster yang terpasang di kamar Eric tadi.

Namun, itu hanyalah sekelumit kisah masa lalunya. Rafael pernah menjalin hubungan dengan Gaida, tapi tak ada seorang pun yang tahu. Biarlah itu hanya akan menjadi kisah masa lalu yang menghiasi masa-masa muda Rafael. Kini ia harus fokus dengan bidangnya sebagai produser eksekutif. Ia harus profesional dan tidak memperlakukan salah satu artisnya secara istimewa.

Sebuah panggilan masuk dari ponsel Rafael. Ia segera mengangkat dan menyahut. Matanya terbelalak seketika seusai mendengar ucapan dari seberang telepon.

Setelah mendengar orang yang berada di seberang telepon tuntas dengan ucapannya, Rafael mengakhiri panggilan. Ia bergegas menuju ke lemari dan memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam tas ransel.

**

Malam ini, terasa seperti malam-malam sebelumnya bagi Eric. Tak ada lagi keberadaan ayah dan kakaknya. Padahal dua hari ini Eric cukup bahagia meja makan ini terisi ayah dan kakaknya, meski Eric tak pernah dapat kesempatan untuk duduk di antara mereka. Namun, itu sudah cukup baginya. Tapi saat ini, bahkan tak ada yang pulang hanya sekedar untuk makan malam.

Seusai menghabiskan makanan sehatnya, Eric segera pergi ke kamar. Beberapa hari ini, ia makan bakso jadi saat ini ia harus diet dan menghindari makanan yang lezat, tapi mematikan bagi tubuh Eric itu.

Eric menyibukkan diri untuk membuka buku-buku pelajarannya. Ia membiarkan jendela terbuka. Meski dingin, tapi udara segar selalu membawa sedikit kelegaan di dadanya yang kerap kali sesak. Apalagi sesak setiap kali memikirkan betapa kesepiannya pemuda itu.

“Meow~~!” Suara manja kucing oranye itu kembali terdengar.

Eric segera menoleh ke sumber suara. Dilihatnya kucing itu berdiri di kusen jendela dan mengibas-ibaskan ekornya. Eric mengulas senyum. Ia bersyukur masih ada makhluk itu di sini. Ia bangkit dari kursi meja belajar, lalu menuju kucing itu. Direngkuhnya hewan berbulu warna oranye itu.

“Syukurlah masih ada kamu, Puss! Jadi, aku tak merasa kesepian lagi.” Eric berseru sembari mendekap kucing itu semakin erat.

Gaida yang masih dalam wujud kucing lagi-lagi mencakar lengan Eric. Seketika itu juga Eric melepaskan kucing yang terus berontak saat ia peluk itu.

Kucing oranye itu berjalan santai dan melompat ke meja belajar Eric dan duduk tenang di sana. Kebiasaannya yang menjilati punggung tangan sembari mengibas-ibaskan ekornya juga menjadi rutinitasnya akhir-akhir ini.

Eric begitu gemas melihat itu. Ia melompat kegirangan dan duduk di kursi dekat meja. Ia menguyel-uyel bulu lembut kucing orange itu.

“Ngaong!” Gaida yang berwujud kucing memekik. Lama-lama muak juga ia diperlakukan oleh bocah aneh itu.

Eric tak mengetahui maksud pekikan kecing itu. Ia malah meletakkan kepalanya tepat di perut kucing yang saat ini berada di meja belajarnya. Ia kembali membuka bukunya dan tenggelam dalam bacaannya.

Gaida berusaha terus menghindar, tapi tangan Eric tak membiarkannya. Pada akhirnya, Gaida menyerah. Ia membiarkan kepala pemuda itu menggunakan perutnya sebagai bantal.

Gaida mengawasi Eric yang terlihat begitu rajin membaca beberapa halaman buku itu.

‘Dia terlihat begitu rajin. Tapi seingatku, bocah berkaca mata ini salah satu mahasiswa terbodoh di kelas. Ia juga sering membolos sepertiku. Jadi, kenapa ia sok sibuk belajar seperti ini?’ batin Gaida tak mengerti.

Tanpa semua orang sadari, meski Eric terlihat fokus membaca, tapi angannya mengawang di angkasa. Entah apa yang dipikirkan pemuda itu.

Beberapa menit setelah itu, Gaida sudah terlelap, masih di meja belajar Eric. Eric menyadari kucingnya telah tertidur. Ia membenarkan posisinya. Ikut taruh kepalanya di meja. Dihadapkannya kepala kucing itu ke wajahnya.

“Jika semua orang di dunia ini membenciku, kuharap kau satu-satunya makhluk yang tak menaruh kebencian terhadapku ya, Puss?” lirih Eric sembari mengusap lembut bulu kucinya.

Ia ikut memejamkan mata, memasuki alam bawah sadarnya semakin dalam.

**

Duagh! Bugh!

Arjun melayangkan beberapa tinjunya tepat di wajah Eric.

Bukannya melawan, Eric malah tertawa aneh. Menertawakan tonjokan teman yang menganggap dirinya rival itu. Kali ini tonjokan Arjun terasa tak bertenaga sama sekali. Berbeda dengan tonjokan-tonjokan pemuda berambut gondrong itu sebelumnya.

Saat ini mereka berada di halaman belakang kampus. Semua kejadian ini terjadi setelah pembagian KHS yang membuat Arjun naik pitam karena merasa dibohongi oleh Eric. Bagaimana tidak? Ia rata-rata mendapatkan nilai E karena menyontek Eric. Bahkan, nilai Bima dan Dewa saja jauh lebih bagus darinya.

Arjun benar-benar merasa dibodohi oleh Eric. Padahal, Arjun sudah menaruh kepercayaan penuh bahwa ia akan mendapat nilai bagus karena menyontek Eric. Namun, kenyataan benar-benar di luar ekspektasinya. Arjun merasa kecewa.

“Apa hanya segitu kekuatanmu, Jun?” tanya Eric sambil tersenyum remeh.

Arjun membenturkan punggung Eric ke dinding dan menarik kasar kerah baju Eric.

“Brengsek kau, Sialan! Kau sudah membodohiku, hah?!” bentak Arjun tepat di depan wajah Eric yang tak menampilkan ekspresi sekali pun, walau Arjun sudah menonjoknya berkali-kali.

“Lakukan saja, Jun! Sudah lama kan kau tak menonjokku? Kuberi kau kesempatan menonjokku lagi.” Eric terus memprovokasi Arjun.

Arjun benar-benar marah saat ini. Ia kembali menarik kerah baju pemuda yang dibencinya itu. Eric sama sekali tak melawan. Ia malah terlihat sudah sangat siap menerima beberapa tinju Arjun lagi.

Bersambung ....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel