Bab 16 Alergi Rafael
Bab 16 Alergi Rafael
Rumah Utama Keluarga Yudhistira adalah jenis rumah modern, tapi terdapat sentuhan tradisional yang cukup kental di beberapa bagian. Seperti pembangunan paviliun yang berada di kanan bangunan utama. Paviliun itu dibangun dengan desain Jawa kental. Banyak ukiran indah menghiasi tiap pilar, pintu, dan jendela paviliun.
Di bangunan utama, desain modern mendominasi. Kedua bangunan itu seolah ingin menunjukkan perbedaan besar antara keduanya. Mungkin dahulu Tuan Reno memikirkan konsep ‘meski sangat berbeda, tetapi dapat berdamping jua’. Entahlah. Hanya beliau yang tahu.
Diinn! Diinn!
Suara klakson berkali-kali terdengar begitu memekakkan telinga. Seseorang yang berada di dalam mobil seolah berseru untuk segera dibukakan pintu gerbang.
Beberapa detik setelah itu, berlari seorang lelaki paruh baya memakai seragam satpam. Ia berlari dari halaman samping rumah dan segera membukakan pintu untuk seseorang yang membunyikan klakson tadi.
Seusai gerbang besi bercat hitam itu dibuka lebar, segera masuk mobil mewah berwarna hitam itu. Detik berikutnya, Rafael keluar dari sana. Ia menatap tajam satpam yang masih sibuk menutup pintu gerbang kembali.
“Kheh! Tidak becus!” gerutu Rafael sembari membenarkan jasnya.
Lelaki yang baru saja menutup gerbang berlari ke arah Rafael. Ia tertunduk. “Ma-maafkan saya, Tuan Muda El. Saya tadi sedang makan,” ucap satpam itu sedikit kikuk karena takut.
Rafael mengibaskan tangannya di udara, mengisyaratkan lelaki tua itu untuk segera pergi dari hadapannya.
Sang satpam mengerti. Ia menunduk kembali sebelum undur diri.
“Oh iya, Pak Jono!” panggil Rafael saat akan menaiki anak tangga menuju rumahnya.
Pak Jono, satpam keluarga ini, langsung berlari kembali mendekat ke arah Rafael. “Iya, ada apa, Tuan Muda?” sahutnya, canggung. Selama 5 tahun ia bekerja di rumah ini, yang paling ia takuti adalah sosok tuan muda pertama keluarga ini. Bahkan, tuan besarnya saja tidak semenyeramkan si sulung keluarga ini.
“Ada siapa saja di rumah? Apa ayah juga di rumah?” tanya Rafael sejurus kemudian.
“Hanya ada Den Eric, Tuan Muda. Rukmini pergi belanja ke pasar. Tuan besar sudah pergi beberapa jam yang lalu, Tuan Muda,” sahut Pak Jono, masih dengan tertunduk. Bahkan, untuk menatap mata Rafael saja ia tak berani.
Rafael mengangguk setelahnya. Ia kembali menaiki beberapa anak tangga dan berbalik kembali saat sudah sampai di tangga terakhir. “Eh, tunggu! Tunggu!” seru Rafael kembali.
“Iya, ada apa lagi, Tuan Muda?” sahut Pak Jono.
“Kenapa bapak panggil saya ‘Tuan Muda’ sedang pada bocah itu ‘Aden’, heh?” Pertanyaan yang selalu mengganjal hati Rafael akhirnya terlontar juga.
“Heh?!” Pak Jono memekik tak percaya mendengar protesan tuan mudanya itu.
Rafael menyadari kekonyolannya. “Ah sudah! Lupakan sajalah, Pak!” putus Rafael. Ia berbalik dan berjalan cepat menuju pintu utama. Ia merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia mengutarakan pertanyaan konyol tadi pada seorang satpam? Memangnya kenapa dengan kedua panggilan itu? Bukankah ‘Tuan Muda’ terdengar lebih berwibawa dari hanya panggilan ‘Aden’? Rafael mengacak rambutnya sendiri.
“Sial! Kenapa juga aku harus iri hanya karena bocah itu lebih dekat dengan seorang satpam?” gerutu Rafael, kesal. Entah kenapa, tiap kali membahas apa pun yang berhubungan dengan Eric bawaannya ia ingin marah saja. Sepertinya keberadaan Eric selalu memicu emosi Rafael.
Brak!!
Rafael membuka pintu utama dengan kasar. Ia pulang hanya untuk mengambil beberapa berkas yang tertinggal di kamarnya. Namun, Rafael merasa penat. Menghilangnya salah satu artisnya, membuatnya frustrasi akhir-akhir ini. Ia sudah mengerahkan beberapa suruhannya untuk menemukan artis yang hilang, Gaida Larasati, itu.
Sebenarnya, Rafael bisa bersikap acuh dan mengabaikan itu. Ia masih memiliki puluhan artis dan aktor lain yang harus diurus juga. Namun, mengingat Gaida sudah belasan tahun berada di bawah naungan agensi milik keluarganya, membuat Rafael harus menemukan salah satu penghasil uang bagi agensi miliknya itu.
Rafael mengistirahatkan dirinya sejenak di sofa ruang tengah. Ia berbaring dan melonggarkan dasi yang semakin menyesakkan itu. Sepertinya ia butuh berlibur beberapa hari setelah ini. Masalah-masalah di agensi sudah membuat kepalanya pening. Ia berencara kembali ke kantor setelah jam makan siang nanti.
Baru beberapa detik merilekskan tubuhnya, tiba-tiba hidung Rafaek terasa gatal.
“Achoo!” Suara bersin yang berkelas dari seorang Rafael Yudhistira.
“Achew! Hatchiuu!” Lagi-lagi terdengar suara Rafael berkali-kali. Ia menggosok-gosok hidungnya hingga memerah. “Sial! Kenapa hidungku tiba-tiba gatal sekali? Apa ini flu?” gerutunya.
Cklek! Terdengar kenop pintu diputar. Rafael menoleh ke asal suara itu hanya untuk melihat Eric keluar dari kamarnya. Rafael segera mengalihkan wajah, mengabaikan eksistensi Eric.
Eric yang memang sedang menyembunyikan sesuatu dari kakaknya, mencoba bersikap sewajarnya. Ia berjalan tenang menuju dapur, meski dalam hati ia berdoa agar kakaknya itu segera pergi.
Rafael yang melihat Eric berjalan tanpa menoleh ke arahnya merasa curiga. Biasanya bocah itu selalu menyapa dan memberikan banyak pertanyaan pada Rafael, meski pada akhirnya akan diacuhkan juga oleh dirinya.
Namun, pagi ini bahkan Eric tak menyapa dirinya. “Kurang ajar sekali dia! Dia mengabaikanku sekarang, hu?!” geram Rafael.
Rafael bangkit. Sepertinya ia harus memberi sedikit pelajaran pada bocah tak tahu diri itu. Saat Rafael berjalan melewati depan pintu kamar Eric, bersinnya semakin menjadi. Hidungnya semakin memerah.
“Achoo! Hatchiu! Achew!” Suara bersin berkelas lagi-lagi terdengar. Rafael menutup hidungnya menggunakan lipatan lengan. “Ini aneh. Kenapa bersinku semakin menjadi saat berada di depan kamar bocah itu,” gerutunya. Rafael memegang kenop pintu, hendak memeriksa ke dalam kamar. Apa yang menyebabkan dirinya jadi bersin-bersin seperti itu? Pikirnya.
Saat Rafael memutar kenop pintu, tiba-tiba Eric sudah berada di hadapannya. Ia menghalangi pandangan Rafael dan kembali menutup pintu kamarnya. Eric berdiri tepat di depan pintu, bersandar pada daun pintu. Eric menampilkan senyum termanisnya, tapi Rafael selalu menyalah artikan itu sebagai senyuman tengil yang membuatnya kesal.
“A-apa kakak me-merlukan sesuatu?” tanya Eric terbata. Ia meletakkan kedua tangannya di bingkai pintu sisi kiri dan kanan. Tak akan membiarian Rafael melewatinya.
Rafael mengerutkan kening. Ia benar-benar merasa curiga. Tak biasanya Eric berani menghalanginya seperti ini. “Kau menyembunyikan apa di kamarmu, hah?” bentak Rafael.
“A-apa? Me-memangnya kau kira aku dapat menyembunyikan apa darimu, eum?” Eric balik bertanya. Ia berusaha bersikap sewajarnya, tapi peluh yang menetes di dahi telah mengkhianatinya. Ia terlihat begitu gugup.
“Bisa saja kau menyembunyikan seorang gadis atau lebih parahnya menyembunyikan jasad orang mati, ‘kan?” tebak Rafael. Meski itu semua tidak mungkin, tapi entah kenapa itu keluar begitu saja tadi dari mulutnya.
Eric tersenyum mendengar tebakan kakaknya itu. Ia tak menyangka bahkan kakaknya itu dapat bersikap konyol juga. “Hahaha, yang benar saja, Kakak? Apa seperti itu pandangan kakak terhadapku, eum?” ucap Eric. Ia masih kekeh berdiri di depan pintu kamarnya.
Rafael kembali mengernyit. Ia semakin merasa curiga. Biasanya Eric tak pernah berani membantah ucapannya. Tapi sekarang? Eric bahkan terlihat seolah meremehkan Rafael. “Kalau bukan gadis atau jasad yang kau sembunyikan, lalu apa, eum?” sungut Rafael kembali.
“Oh ayolah, Kak El! Aku juga punya privasi sepertimu, dan aku berhak melarang siapa saja untuk tahu privasiku. Bukankah seperti itu kehidupan kita selama sepuluh tahun ini, heh?” ungkap Eric.
Sebenarnya kalimat-kalimat itu sudah lama ingin ia lontarkan. Selama ini ia diperlakukan seenaknya di rumah ini, harus menuruti semua perintah Rafael. Tak diberi hak apapun.
Namun, Eric sudah muak dengan semua sikap mereka terhadapnya. Eric ingin melakukan apapun sesuai keinginannya. Tanpa tekanan, tanpa takut seseorang akan menghajarnya. Eric butuh hak untuk menentukan hidupnya sendiri. Baiklah, ia memang terkadang suka hiperbolis.
Plak!!
Eric merasakan pipi kirinya memanas. Tamparan tadi begitu keras hingga membuat tubuh Eric sedikit terhuyung ke samping. Ia menggosok pipinya yang memerah. Ditatapnya Rafael yang masih berdiri di hadapannya.
“Kau tidak punya hak untuk menolak perintahku, Bodoh! Buka pintu kamarmu! Sekarang!” Rafael berteriak penuh penekanan.
Bersambung ....