Bab 15 Gaida di Mata Eric
Bab 15 Gaida di Mata Eric
Semuanya seolah telah direncanakan. Pertemuan mereka ini seolah memang ada yang mengaturnya. Gaida yang masih dalam wujud kucing mengikuti langkah Eric menuju ke dalam rumah pemuda itu. Rumah luas itu nampak sepi, tak ada seorang pun yang Gaida temui sejak saat ia masuk melalui pintu belakang bersama Eric tadi.
Eric berjongkok di depan kucingnya berada. Ia menepuk pelan kepala kucing itu.
“Apa kau ingin melihat-lihat dulu rumahku, Puss? Ah, tunggu! Aku tak pantas sebenarnya menyebut ini rumahku, lebih tepatnya rumah ayahku. Hmm, tapi belum tentu juga sih dia ayah kandungku. Baiklah, ini adalah rumah dari lelaki yang menyuruhku memanggilnya ‘ayah’? Kau mengerti kan, Puss?” ujar Eric.
‘Ucapanmu itu terlalu berbelit-belit, Bocah! Aku tidak ada waktu untuk mencerna kalimatmu yang pemborosan kata itu,’ gerutu Gaida dalam hati. Ia berlenggang menyusuri ruangan tengah sembari mengibaskan ekor panjangnya.
“Eh tunggu, Puss! Aku punya hadiah untukmu!” seru Eric. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil sesuatu.
Gaida tidak terlalu peduli. Ia melompat ke sofa yang berada di ruang tengah. Ia menampilkan acara tv yang sedang menayangkan serial India berjudul Sellatan.
‘Siapa juga di rumah ini yang suka sekali nonton telewood ini? Telewood yang mendrama banget,’ gerutu Gaida dalam hati. Ia memencet-mencet remot dan berhenti di siaran kompetisi memasak. Gaida dalam wujud kucing berbaring, ia menopang dagu menggunakan kedua tangan. Tak lupa ia sesekali menjilati kedua tangannya. Entahlah, ini sudah menjadi kebiasaan sejak berubah menjadi kucing terhitung 4 hari ini.
Setelah beberapa menit berkutat di dapur, Eric akhirnya muncul juga di hadapan kucing oranye itu. Eric menunjukkan kardus bekas wadah mie instant ke arah Gaida.
“Tada! Aku punya hadiah untukmu, Puss!” Eric berseru heboh, hingga membuat Gaida yang asyik menonton tv terlonjak.
Eric mengangkat kucing itu dan memasukkan ke kardus. Setelah itu, Eric meletakkan kardusnya di meja. Ia memandang kucing yang menampilkan ekspresi datar itu.
“Bagaimana, Puss? Kau menyukai hadiahku, kan? Percayalah, aku dengan susah payah mendapatkan itu. Aku harus memindahkan semua isinya ke rak,” adu Eric seolah ia kembali melakukan perbuatan sangat terpuji.
Gaida menatap Eric dengan tatapan tidak suka. Ia melompat keluar dan kembali duduk di sofa.
“Miaw! Ngaong nyaw nyaw meow.” Gaida berseru. Ia ingin berucap agar Eric tak mengganggu kegiatan bersantainya itu.
Eric yang tidak mengerti bahasa hewan, kembali memasukkan kucing itu ke dalan kardus dan membawanya ke dalam kamar.
**
Beby berjalan gelisah menuju ke ruangan produser eksekutif. Ia mengetuk pintu dahulu sebelum lelaki yang berada di dalam ruangan mempersilahkannya untuk masuk. Lelaki itu menyurug Beby duduk.
“Ada masalah apa lagi, eum?” tanya Rafael, matanya masih terfokus pada layar laptopnya.
“Maafkan saya, Pak. Tapi saya tidak dapat menghubungi Gaida beberapa hari ini. Nanti siang ada pemotretan untuk Majalah Gawl, lalu bagaimana ini? Saya tidak punya bekerjaan lain selain menjadi manager Gaida,” adu Beby dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kau sudah mencoba menghubungi keluarganya, huh?” ujar Rafael.
“Sudah, Pak. Bahkan, saya pergi ke semua tempat yang biasa dikunjungi Gaida, tapi saya tidak dapat menemukannya. Gaida menghilang seperti di telan bumi.” Beby berucap. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
“Kheh! Omong kosong! Aku yakin pasti saat ini perempuan itu tengah membuat masalah, entah di mana. Kau tenanglah! Dia tidak mungkin diculik. Jika media menyadarinya, bilang pada mereka kalau Gaida sedang berlibur ke luar negeri,” putus Rafael. Ia sudah memikirkan langkah yang akan ia lakukan setelah ini.
“La-lalu? Untuk pemotretan nanti siang?” tanya Beby, terbata.
Rafael menarik sudut bibirnya.
“Meski kau adalah manager Gaida, tapi sekarang aku akan merekrutmu menjadi manager Mikha Kirana untuk sementara. Dan semua job yang Gaida terima, kau cobalah bernegosiasi. Bujuk mereka menggunakan Mikha dahulu selama Gaida menghilang,” putus Rafael.
Beby mengangguk, mengiyakan. Ia bangkit, menunduk dan undur diri.
Rafael menatap sample album Gaida yang akan rilis beberapa minggu lagi itu.
“Sial! Ke mana perginya wanita itu? Bisa rugi besar aku kalau perilisan album ini dibatalkan. Gaida juga harus muncul di beberapa show untuk promosi. Lalu, aku harus mencarinya ke mana?” gerutu Rafael sembari mengusap wajahnya, frustrasi.
**
Saat berada di kamar Eric, pemandangan pertama yang Gaida tangkap adalah poster dirinya yang berukuran sangat besar, sekitar 4x6 meter. Poster seksi Gaida yang memakai dress biru yang tertiup angin dan memakai topi pantai, terpampang nyata di dinding itu.
Gaida terlonjak hingga melompat ketika menatap posternya sendiri, yang terlihat seperti baliho di pinggir jalan. Foto itu ia ambil ketika berlibur dengan temannya di pantai tahun lalu. Itu merupakan koleksi pribadinya. Bahkan, media pun tak tahu tentang foto itu.
‘Bagaimana bisa pemuda ini menyimpan foto pribadiku? Bahkan ia menyetak ulang seukuran baliho. Apa-apaan dia ini? Jangan-jangan dia stalker mesum lagi?’ pikir Gaida.
Eric menyadari reaksi berlebihan kucing itu saat melihat poster pujaannya.
“Oh iya, ini foto jodohku, Puss. Kalau sampai minggu depan tak ada yang mencari, aku akan mengadopsimu dan dia adalah calon mama kamu,” celoteh Eric, si cerewet yang berubah jadi pendiam jika berada di depan banyak orang dan saat lapar saja.
“Ngaong! Nyaw miaw meow,” pekik Gaida. Ia ingin berteriak, ‘Aku tidak berencana jadi anak ataupun istrimu, Sialan!’
Eric meletakkan kucing itu ke meja belajarnya.
“Kau tahu, Puss? Sebenarnya, aku sangat mencintai Gaida dari saat aku masih balita.”
“Ngaong!” Gaida memekik sambil mencakar lengan baju Eric. ‘Bodoh! Bagaimana seorang balita bisa tau tentang cinta, hah?’ batin Gaida.
“Saat itu aku pertama kali melihatnya di tangga lagu anak. Dia debut dengan lagu ‘Badut Pesta’ kalau tidak salah. Saat itu usiaku baru lima tahun dan sangat menyukai video musiknya yang menampilkan banyak badut di situ,” ungkap Eric. Mengenang masa-masa terindah di antara kenangan buruk di masa kecilnya.
‘Sial! Aku debut lagu itu saat usiaku sudah sepuluh tahun, sedang bocah ini masih lima tahun. Berarti selisih usia kita lima tahun, dong?’ batin Gaida. Ia masih mengeong menanggapi setiap cerita pemuda cerewet itu.
“Dan sejak saat itu hingga remaja, aku terus mengikuti perjalanan karirnya. Di acara penerimaan mahasiswa baru tahun lalu, tak kusangka dia adalah seniorku. Aku begitu senang sampai rasanya itu hanya mimpi. Di tahun ini malah tak kusangka, kami jadi seangkatan. Mungkin Tuhan menunjuk dia sebagai jodohku,” terang Eric kembali.
‘Jangan ingatkan itu, Bocah! Aku tetap tinggal di semester dua hingga dua tahun. SD, SMP, dan SMA masing-masing pernah tidak naik kelas selama satu tahun. Jika dijumlahkan, aku tidak naik kelas selama 5 tahun. Huwaakkh, memalukan!’ jerit Gaida dalam hati.
“Saat kami satu angkatan, aku berkali-kali ingin menyatakan cinta padanya, tapi tak pernah ada kesempatan. Bahkan, mungkin ia tak menyadari perhatianku selama ini,” ujar Eric. Ia mengerucutkan bibirnya kecewa atas sikap pengecutnya sendiri.
‘Tunggu! Jika dia bilang kita seangkatan, apa mungkin bocah ini si culun yang selalu menggangguku itu?’ batin Gaida. Ia perlahan mengingat sosok pemuda culun dan pendiam yang sering mengawasi gerak-geriknya di kampus.
“Aku pernah sekali menolongnya. Waktu itu, dia diserang para haters karena skandal dia menjalin hubungan dengan aktor top Reiji. Para haters mengerjainya hingga dia jatuh pingsan. Saat itu aku menggendong dia dipunggung dan berlari hingga ke rumah sakit. Aku benar-benar merasa seperti sang hero yang menyelamatkan heroinnya. Meski aku berakhir pingsan juga karena kelelahan. Hahaha, konyol kan, Puss?” Eric bercerita semua ingatannya tentang Gaida pada kucing itu.
‘Bodoh! Sebenarnya kau bisa menghubungi ambulance saja, Bocah! Kenapa repot-repot gendong aku, coba? Nyari kesempatan banget!’ gerutu Gaida dalam hati.
Di tengah curahan hati Eric tentang dirinya dan Gaida, tiba-tiba terdengar suara pintu dibanting dari arah pintu utama. Eric dan kucing Gaida terlonjak bersamaan. Mereka saling pandang.
“Mampus aku kalau kita ketahuan, Puss!” pekik Eric.
**
Rafael membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke tas ransel.
Bersambung ....