Bab 14 Kemarahan Rafael
Bab 14 Kemarahan Rafael
Eric meletakkan barang belanjaannya di meja dapur dan duduk sejenak. "Bibi, aku ingin meminta sesuatu pada Bibi, boleh?" ujar Eric sembari menampilkan wajah imut penuh harap pada wanita paruh baya yang selama ini merawatnya itu.
"Minta apa, Den?" sahut Bibi Rukmini, lembut.
Eric menarik kursi yang berada tak jauh darinya, ia mengisyaratkan untuk Bibi Rukmini duduk di kursi sampingnya itu.
Bibi Rukmini mengangguk. Ia mengikuti isyarat tuan mudanya untuk duduk.
"Mau bicara apa memangnya, Den? Sepertinya begitu serius," ucap Bibi Rukmini penasaran.
Eric mendekatkan bibirnya ke telinga Bibi Rukmini dan membisikkannya sesuatu. Namun, respons bibi itu sungguh berlebihan. Ia bangkit seketika dan berjalan mundur menjauhi Eric.
"Jangan bercanda, Den Eric! Tuan Rafael akan marah besar jika tahu itu." Bibi Rukmini memekik tertahan. Ia menoleh ke segala penjuru, berharap tidak ada siapapun yang mendengar percakapan mereka saat ini.
"Nah, makanya aku minta sama Bibi untuk membantuku. Jangan sampai kakak tahu bahwa aku menyembunyikan kucing itu. Ya ya? Bibi bantuin jaga kucingnya, ya?" pinta Eric dengan menangkupkan kedua tangan. Jangan lupakan, ia juga menampilkan puppy eyes kebanggaannya, membuat siapa saja yang melihat tidak tega untuk menolak. Tak terkecuali Bibi Rukmini tentunya.
Setelah tercenung beberapa saat, akhirnya Bibi Rukmini mengangguk pada akhirnya. Selama ini, mungkin hanya dialah yang begitu mengerti dan memanjakan Eric di dalam keluarga ini.
Eric berteriak kegirangan. Ia bangkit dan memeluk bibi paruh baya itu. Ia sungguh bersyukur masih ada orang yang peduli terhadapnya seperti Bibi Rukmini-nya ini.
"Terimakasih banyak, Bibi! Bibi memang yang terbaik di dunia!" seru Eric kegirangan. Ia sembari mengacungkan 2 jempolnya ke arah bibi.
"Tapi, bibi hanya sanggup memberi makan kucing itu saja, Den. Bibi juga tak berani jika disuruh membawa kucing itu ke dalam rumah," ujar Bibi Rukmini.
"Tenang saja, Bi! Yang penting, bibi lapor aja kalau Kak El lagi keluar atau lagi ada di rumah. Toss dulu!" ujar Eric. Ia mengangkat telapak tangannya di udara dan melakukan high five bersama Bibi Rukmini.
**
Rafael mendorong Eric begitu keras hingga jatuh terjerembab.
"Lancang sekali kau, hah?! Kau sudah merasa menjadi tuan muda di tempat ini, eum?" bentak Rafael pada Eric yang masih terduduk.
"Maafkan aku, Kak El! Aku tidak bermaksud memasuki ruang rahasiamu ini. Aku tadi hanya mencarimu untuk mengajak makan malam," terang Eric.
Rafael mendekat ke Eric yang masih terduduk di lantai ruang rahasianya ini. Ia tadi dikejutkan saat mengetahui Eric ternyata berada di ruang rahasianya.
Rafael benar-benar murka. Ia berjongkok di hadapan Eric. Dicengkeramnya rahang Eric begitu keras.
"Kuperingatkan sekali lagi, Sialan! Jangan berani lagi memasuki kamar ataupun menyentuh barang-barang milikku, mengerti?!" Rafael berteriak tepat di depan wajah Eric.
Eric mengangguk beberapa kali sebagai jawaban. Tangan Eric yang menyangga tubuhnya di belakang sejak tadi, kini gemetaran mendapati kemurkaan kakaknya itu.
Rafael bangkit dan berjalan menjauh dari Eric terduduk. Ia menepuk kedua tangannya seolah membersihkan kotoran karena telah menyentuh Eric.
Eric yang terlalu naif, meraba wajahnya sendiri. Mungkin saja ada kotoran yang membuat tangan kakaknya kotor karena telah menyentuhnya.
"Sekarang, pergilah! Kali ini kuanggap sebagai ketidak tahuanmu. Tapi, sekali lagi kulihat kau masuk tanpa izin ke kamarku, kupastikan aku akan mengusrimu saat itu juga," ancam Rafael, tanpa menoleh ke arah Eric.
Eric mengangguk kembali. Suaranya seolah tercekat di tenggorokan, tak dapat bersuara. Ia selalu tak berani menyahut apalagi membantah ucapan kakaknya itu. Eric hendak berdiri, tapi ia merasa kakinya benar-benar nyeri.
Mungkin terkilir saat didorong Rafael tadi.
Rafael berbalik menatap Eric dengan tatapan dingin. Ia mengernyit mengetahui bocah itu tidak segera angkat kaki dari kamarnya. Ia berjalan mendekat dengan langkah berat. Bahunya terlihat naik turun seolah menahan amarah.
Eric menyadari itu. Sebelum ia terkena semprotan yang kedua kalinya, ia berjalan merangkak menuju keluar kamar kakaknya yang kejam itu. Saat sudah berada di luar kamar Rafael, Eric bersandar di dinding. Tubuhnya merosot dan duduk di lantai. Ia menekan dadanya.
"Sumpah, menyeramkan sekali. Dia itu manusia atau malaikat pencabut nyawa, coba? Bisa gitu ada manusia yang seremnya minta ampun. Sepertinya nama Rafael kurang cocok dengannya, dia lebih pantas diberi nama Izrail, sang pencabut nyawa," gerutu Eric.
Prang!
Terdengar sebuah benda pecah dari balik dinding Eric berada.
"Apa ada yang mengatakan sesuatu, hah?!" teriak Rafael dari kamarnya.
Eric menyadari amarah kakaknya itu, mungkin Rafael mendengar gerutuan Eric tadi. Sebelum dipenggal oleh Rafael, Eric memutuskan kabur. Ia berjalan terseok-seok menuju kamarnya. Gagal sudah makan malam semeja dengan keluarga utuhnya. Namun, ini lebih baik daripada melihat Rafael merasa tidak nyaman karena kehadirannya, pikir Eric.
**
Seusai semua penghuni rumah menyantap makan malam mereka, Eric mengendap-endap menuju ke gudang belakang rumah. Ada sebungkus makanan di tangannya. Ia membuka pintu gudang dan masuk menggunakan senter. Ia tak ingin menyalakan lampu gudang, itu akan membuat curiga orang rumah jika melihat dalam gudang terang.
"Puss! Kau di mana, Puss? Aku datang bawa makanan. Keluarlah!" Eric menyenter ke seluruh sudut ruangan, mencari keberadaan kucing oranye yang ditemuinya tadi pagi.
Tak ada yang menyahut. Eric semakin dalam menyusuri gudang yang berisi barang-barang tak terpakai keluarganya. Ia terus mencari meski dengan langkah terseok-seok. Memang benar, kakinya tadi terkilir. Untung saja kakinya sudah diurut oleh Pak Jono, satpam di rumahnya. Jadi, kaki Eric tak sampai membengkak meski masih terasa ngilu.
"Puss! Kamu di mana sih? Kalau dengar suaraku, jawab!" teriak Eric tertahan.
Saat mendekati ke sofa lusuh yang berada di sudut ruangan, tanpa sengaja Eric mengginjak benda berbulu. Setelah itu terdengar ngaongan nyaring diikuti cakaran di kaki Eric yang kebetulan hanya memakai celana jeans pendek.
"NGAONG!" pekik kucing yang ekornya tanpa sengaja diinjak Eric.
Eric berjongkok di depan kucing itu. "Hahaha, maafin ya, Puss! Nggak sengaja. Kamu sih aku panggil-panggil enggak nyahut," gerutu Eric.
"Miaw nyaw nyaw ngaong!" sahut kucing itu yang memiliki arti, "Aku sedang enak-enak tidur tadi, Bocah!”
"Wah, pasti kamu sudah lama nungguin ya, Puss? Maafin, ya? Soalnya aku nunggu orang rumah sepi dulu, baru bisa mengunjungimu," ucap Eric. Ia membuka buntalan berisi nasi dan ikan lele, meletakkannya di depan kucing tadi.
"Maaf, ya, Puss! Tidak ada makanan kering khusus kucing di rumah, jadi aku bawakan nasi sama ikan lele dulu aja, ya?" sambung Eric.
'Iya, ini sudah cukup kok. Ditambah sambal ini mestinya pasti lebih enak,' sahut Gaida dalam hati.
"Tahu tidak? Aku seolah sedang menyembunyikan selingkuhan kalau seperti ini terus. Maaf sekali lagi karena telat, ya? Aku hampir melupakanmu tadi," gumam Eric.
Gaida yang masih dalam wujud kucing memakan nasi dan lele tadi sambil membantin, 'Aku hampir mati kelaparan, Sialan! Lama sekali datangnya, hah? Mana dikunci dari luar lagi.'
Eric membiarkan sejenak kucing itu menikmati makannya. Ia mengusap bulu halus kucing itu.
"Besok, kalau ayah dan Kak El sudah berangkat kerja, aku akan membawamu ke dalam untuk melihat-lihat rumahku," janji Eric. Ia masih mengusap lembut bulu oranye kucing itu.
"Nyaw," sahut Gaida.
"Oh iya, kenapa tak ada yang mencarimu, ya? Apa kau benar-benar tak punya majikan, eum?" tanya Eric, lembut. Ia menyenter bergantian makanan dan wajah kucing itu.
"Nyaw ngaong meow," gerutu kucing.
"Hmm, sebenarnya aku bisa memeliharamu di sini atas izin ayah. Tapi, mungkin rumahmu akan dipisahkan dari rumah utama. Tapi, itu semua harus atas persetujuan Kak El juga," ungkap Eric.
Gaida dalam wujud kucing menatap tajam ke arah Eric. Sepertinya pemuda itu tak membiarkan Gaida menikmati makanannya dengan tenang, pikir Gaida.
"Baiklah, aku akan mengaturnya lagi. Kalau sampai beberapa hari tak ada laporan kucing hilang di sekitar kompleks sini, aku akan memeliharamu. Aku tinggal dulu ya, Puss?" pungkas Eric. Ia beranjak setelah meninggalkan keripik singkong rasa balado dan minuman juga di wadah yang dibawanya tadi.
Eric tak pernah memelihara kucing sebelumnya, jadi di rumahnya tak menyediakan makanan kucing. Oleh karena itu, ia memberi camilan itu saja pada Gaida.
**
Keesokan harinya sesuai janji, Eric membawa Gaida masuk ke rumahnya. Mata Gaida terbelalak saat diajak memasuki kamar Eric.
Bersambung ....