Bab 13 Majikan Baru Gaida
Bab 13 Majikan Baru Gaida
Eric yang memang penyuka kucing, begitu gemas melihat kucing berwarna oranye itu. Ia terus memberi makan kucing itu dengan snack yang ia beli tadi. Kucing itu makan begitu lahap. Eric benar-benar merasa sebagai penolong saat ini.
"Wah, pasti kau sangat kelaparan ya, Puss?
“Bersyukurlah, kau bertemu pemuda baik sepertiku. Kalau tidak, pasti kau sudah mati kelaparan, 'kan?" gumam Eric, membanggakan diri.
Gaida dalam wujud kucing menatap tajam pemuda yang sok menjadi pahlawan itu. 'Hanya memberiku snack beginian saja sudah merasa jadi pahlawan,' gerutu Gaida dalam hati. Namun, meski ia berkata seperti itu, tapi ia tetap memakan makanan dari tangan Eric.
Sekian menit Eric menunggu kucing yang ia temui tadi makan, kini saatnya ia pulang. Lagipula, Bibi Rukmini menyuruhnya segera pulang tadi. Eric menepuk pelan kepala kucing oranye itu.
"Oke, aku pulang dulu ya, Puss!" pamit Eric. Ia melangkahkan kakinya kembali, melewati jalan tikus agar cepat sampai ke rumahnya. Tanpa ia sadari, kucing oranye tadi telah mengekorinya di belakang.
Gaida terus mengendus-endus dan mengikuti bau pemuda yang memberinya makan tadi. Bau itu sudah pasti tidak akan Gaida lupakan, itu seperti bau-bau menyebalkan yang menguar dari tubuh pemuda tadi.
Gaida memandang pemuda tadi dari kejauhan. Gaida seperti pernah melihat sosok pemuda berkulit putih dan berkacamata bulat itu, tapi Gaida lupa itu di mana. Wajah pemuda itu begitu familiar. Kalau bukan teman sekampusnya, tapi salah satu fannya atau mungkin malah karyawan di agensinya, pikir Gaida.
'Ah, tidak penting juga dia siapa. Namun, saat ini aku benar-benar membutuhkan bantuannya. Bahkan, mamaku saja tak mengenaliku. Sejak aku berubah wujud jadi kucing, hanya pemuda itu yang berbuat sedikit kebaikan padaku,' gumam Gaida dalam hati.
Gaida masih memandang punggung pemuda yang berdiri di pagar berkarat, yang berada di ujung gang itu. Entah apa yang akan pemuda itu lakukan, Gaida tidak tahu.
Detik berikutnya, pemuda itu terlihat memanjat pagar besi dengan susah payah. Saat hendak melompat turun, kaus pemuda itu tersangkut dan punggungnya sedikit terluka karena tergores besi lancip, di ujung pagar besi itu. Gaida melihat semua aksi pemuda nekad itu. Ia menggelengkan kepala.
'Kheh! Banyak tingkah sekali itu bocah. Padahal jika memutar arah bisa sampai di seberang pagar itu tanpa terluka,' gerutu Gaida masih dalam hati. Karena selain ngaongan, ia tidak dapat mengeluarkan suara lain.
Sebelum pemuda itu berjalan menjauh, Gaida buru-buru berlari dan melompat dengan mudah ke atas tembok sempit di sisi kanan pagar besi. Setelah itu ia melompat turun ke sisi lain pagar besi tadi.
'Ada untungnya juga sekarang aku jadi kucing, jadi bisa melompat dengan mudah. Tentunya, tanpa adegan punggung nyangkut ke pagar besi seperti pemuda ceroboh tadi.' Gaida berucap dalam hati.
Setelah mengikuti pemuda tadi selama beberapa puluh menit berjalan, Gaida melihat pemuda itu berdiri di depan pagar bercat hitam yang menjulang tinggi. Gaida berjalan mendekati pemuda itu.
"Miaaww," panggil Gaida dengan suara mendayu, berharap pemuda di depannya akan merasa iba padanya. Gaida tak tahu harus pergi ke mana. Semoga pemuda itu berbaik hati mau menampung dia, harap Gaida.
Eric menoleh sejenak mendengan ngeongan kucing di belakangnya. Ia sedikit terlonjak mendapati kucing oranye itu ternyata mengikuti dia. Entah sejak kapan. Eric berjongkok di depan kucing oranye tadi.
"Kau mengikutiku, eum? Apa kau tidak punya majikan?" tanya Eric sembari mengusap bulu halus berwarna oranye itu.
"Miaw nyaw," ujar lembut Gaida. Ia sembari mengusap-usapkan kepalanya ke kaki pemuda yang tidak ia kenal itu.
"Kata orang, 'seekor kucing itu memilih seseorang untuk menjadi majikannya'. Apa saat ini, kau sedang memilihku sebagai majikan, heh?" ujar Eric, lirih. Ia masih mengusap lembut bulu kucing yang berada di kakinya.
"Nyaw miaw miaw," sahut Gaida yang berarti, "Aku juga sebenaranya terpaksa memilhmu, Bocah!”
Eric merasa bahwa kucing itu semakin manja terhadapnya. Bukan hanya mengosokkan kepala di kaki Eric, tapi kucing itu kini melompat ke dekapan Eric.
"Aku ingin sebenarnya membawamu pulang, Puss. Tapi, kakakku ada alergi dengan kucing. Kalau aku tetap memaksa membawamu ke dalam, mungkin kepalaku akan dipenggal olehnya," ungkap Eric. Ia jadi menginggat reaksi berlebihan Rafael setiap kali melihat kucing.
"Miaw~~" Kucing itu semakin mengeluarkan ngeongan mendayu-dayunya. Kucing itu juga menggosok-gosokkan telinga ke dada Eric yang masih mendekapnya.
"Ugh, manis sekali. Aku jadi tidak tega mengusirmu," ujar Eric sambil mengerucutkan bibirnya. Ia benar-benar dilema. Ia begitu ingin memelihara kucing itu, tapi di rumah masih ada Rafael yang kejamnya melebihi ibu panti asuhannya dulu. Bisa benar-benar dipenggal kepalanya jika membawa kucing ke dalam rumah, batin Eric.
"Miaww," ujar Gaida dalam wujud kucing, kembali. Ia menampilkan binaran dari matanya.
"Sumpah, jangan melihatku seperti itu, Puss! Aku benar-benar lemah jika kau tatap seperti itu," celetuk Eric. Ia sembari menoleh ke samping, menghindari tatapan dari kucing yang berada dalam lengannya.
"Miaww~~" Gaida mengeong kembali. Ia masih menggosok-gosokkan kepalanya ke lengan Eric.
Eric menyerah. Hatinya memang benar-benar lemah jika terus melihat kucing semenggemaskan itu. Ia memasukkan Gaida ke tas kresek belanjaannya tadi.
"Aku akan membawamu ke gudang di belakang rumah. Tapi, ingat! Jangan mengeong keras-keras! Nanti sore, aku akan mengunjungimu lagi untuk membawakan makanan. Setuju!" pungkas Eric sambil mengulurkan tangannya. Setelah itu, ia tersenyum geli.
"Hahaha, bagaimana bisa aku berpikir akan menjalin kesepakatan dengan seekor kucing," lanjutnya.
Namun, tanpa Eric duga, kucing tadi menepuk telapak tangan Eric dengan tangan mungil kucing itu. Eric benar-benar takjub dibuatnya.
"Jadi, ini tandanya kau mengerti ucapanku, Puss?" tanya Eric kembali. Ia memandang kucing yang masih di dalam tas kreseknya.
"Nyaw!" sahut kucing itu.
"Baiklah, kau akan aman jika menurut padaku. Kalau kau sampai ditemukan oleh kakak, bukan hanya nyawamu tapi nyawaku juga pasti akan melayang.
"Miaw! Nyaw nyaw ngeong!" Gaida memekik, menunjukkan bahwa ia sudah ingin keluar dari tas kresek warna merah itu.
Eric mengangguk seolah mengerti. Ia berjalan mengendap-endap menuju ke halaman belakang. Eric memasukkan kucing oranye tadi ke gudang. Setelah itu, ia masuk menuju rumah melalui pintu belakang dapur dengan mengendap-endap lagi. Eric menutup pintu belakang dengan perlahan.
"Hey! Siapa yang lancang masuk dapur itu?" Sebuah suara tiba-tiba terdengar, diikuti pekikkan nyaring yang refleks keluar dari mulut Eric.
"Huwaakh! Jangan memanggilku seperti itu lagi, Bibi! Aku bisa mati berdiri karena kaget!" desis Eric. Ia mengurut dadanya yang terasa berdegup sangat kencang saat ini.
"Hehehe, maaf, Den! Habisnya Den Eric masuknya lewat pintu dapur. Saya kira maling tadi," jelas Bibi Rukmini. Ia terlihat menyesal mendapati reaksi berlebihan anak majikannya itu.
Bibi Rukmini mengambil segelas air dan menyerahkan pada tuan mudanya itu. "Minum dulu, Den! Biar agak tenang," saran Bibi Rukmini.
Eric mengambil segelas air dari tangan bibi yang merawatnya sejak kecil itu, lalu meminumnya dalam sekali tenggak.
"Sudah tenang kan sekarang, Den?" tanya Bibi Rukmini, khawatir melihat napasnya tuan mudanya yang terlihat ngos-ngosan.
Eric mengangguk singkat. Ia meletakkan barang belanjaannya di meja dapur dan duduk sejenak.
"Bibi, aku ingin meminta sesuatu pada Bibi, boleh?" ujar Eric.
"Minta apa, Den?" sahut Bibi Rukmini.
Bersambung ....